Pakar Hukum Internasional: Indonesia Tak Perlu Ikut-ikutan Ratifikasi FCTC
loading...
A
A
A
JAKARTA - Industri hasil tembakau (IHT), termasuk rokok , disebut sudah menjadi warisan di Tanah Air. Karena itu, meski ada persoalan kesehatan yang ditimbulkan, pakar hukum internasional Profesor Hikmahanto Juwana menegaskan pemerintah tak perlu meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) seperti yang didesak sejumlah pihak.
"IHT di Indonesia tidak bisa dilihat dari kesehatan semata, tetapi juga perindustrian, perdagangan, tenaga kerja, bidang UMKM, pertanian, dan masih banyak lagi," kata Hikmahanto dalam Diskusi "Bedah Proses Legislasi Industri Hasil Tembakau" di Radio Trijaya, Kamis (9/9/2021).
Menurutnya, cukai yang disumbangkan, kontribusi pada perekonomian nasional termasuk lapangan kerja, juga harus menjadi pertimbangan. "Kita enggak mau hanya jadi konsumen atau pangsa pasar tembakau. Banyak yang menyandarkan diri pada industri hasil tembakau ini," tegas Rektor Universitas Jendral Ahmad Yani tersebut.
Hikmahanto menambahkan, kebesaran sebuah negara tak lagi diukur berdasarkan kekuatan militernya, tetapi juga pada kemampuan penetrasi produk dan teknologinya terhadap negara lain. Dengan kata lain, kemampuan menjadikan berbagai negara sebagai konsumen.
"Zaman sekarang, ujungnya yang diperebutkan adalah pangsa pasar. Sudah tidak lagi memperebutkan wilayah atau pengaruh," ujarnya. Di luar itu, dia mengatakan, ketergantungan pada pasokan dari luar negeri dikhawatirkan akan meningkat jika pemerintah masuk dalam perjanjian internasional tata niaga FCTC tersebut.
"Saya tidak merokok, saya tahu ada konsekuensi kesehatan. Tetapi jangan karena tidak boleh ada masalah kesehatan industrinya lalu diberangus," tandasnya.
Hikmahanto juga menyebut kekhawatiran pada penyelundupan, produk ilegal, maupun barang lain seperti rokok elektrik.
Dia pun menyebut, pemerintah dengan kedaulatannya sebenarnya, telah menerbitkan PP 109/2012 yang memastikan kesehatan dalam IHT diperhatikan, serta memastikan tidak ada perokok di bawah umur.
PP tersebut dianggapnya sudah baik mengatur secara seimbang antara persoalan kesehatan, IHT, perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja
.
"Banyak negara yang ingin mengambil pangsa pasar Indonesia, sampai hari ini Amerika Serikat bukan peserta ratifikasi FCTC, tetapi kok Indonesia dipaksa-paksa ikut," tutupnya.
"IHT di Indonesia tidak bisa dilihat dari kesehatan semata, tetapi juga perindustrian, perdagangan, tenaga kerja, bidang UMKM, pertanian, dan masih banyak lagi," kata Hikmahanto dalam Diskusi "Bedah Proses Legislasi Industri Hasil Tembakau" di Radio Trijaya, Kamis (9/9/2021).
Menurutnya, cukai yang disumbangkan, kontribusi pada perekonomian nasional termasuk lapangan kerja, juga harus menjadi pertimbangan. "Kita enggak mau hanya jadi konsumen atau pangsa pasar tembakau. Banyak yang menyandarkan diri pada industri hasil tembakau ini," tegas Rektor Universitas Jendral Ahmad Yani tersebut.
Hikmahanto menambahkan, kebesaran sebuah negara tak lagi diukur berdasarkan kekuatan militernya, tetapi juga pada kemampuan penetrasi produk dan teknologinya terhadap negara lain. Dengan kata lain, kemampuan menjadikan berbagai negara sebagai konsumen.
"Zaman sekarang, ujungnya yang diperebutkan adalah pangsa pasar. Sudah tidak lagi memperebutkan wilayah atau pengaruh," ujarnya. Di luar itu, dia mengatakan, ketergantungan pada pasokan dari luar negeri dikhawatirkan akan meningkat jika pemerintah masuk dalam perjanjian internasional tata niaga FCTC tersebut.
"Saya tidak merokok, saya tahu ada konsekuensi kesehatan. Tetapi jangan karena tidak boleh ada masalah kesehatan industrinya lalu diberangus," tandasnya.
Hikmahanto juga menyebut kekhawatiran pada penyelundupan, produk ilegal, maupun barang lain seperti rokok elektrik.
Dia pun menyebut, pemerintah dengan kedaulatannya sebenarnya, telah menerbitkan PP 109/2012 yang memastikan kesehatan dalam IHT diperhatikan, serta memastikan tidak ada perokok di bawah umur.
PP tersebut dianggapnya sudah baik mengatur secara seimbang antara persoalan kesehatan, IHT, perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja
.
"Banyak negara yang ingin mengambil pangsa pasar Indonesia, sampai hari ini Amerika Serikat bukan peserta ratifikasi FCTC, tetapi kok Indonesia dipaksa-paksa ikut," tutupnya.
(fai)