Luar Biasa, Nilai Transaksi Social Commerce RI Tembus Rp42 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembatasan aktivitas mengubah kebiasaan berbelanja lewat online . Salah satu bisnis yang mampu mencetak pasar di tengah pandemi adalah e-commerce dan sosial commerce .
Digitalpreneuer Diatce G. Harahap menyebutkan nilai transaksi bruto atau gross merchandise value (GMV) e-commerce di Indonesia tahun lalu mencapai USD8 miliar dan USD3 miliar atau sekitar Rp42 triliun dari transaksi social commerce dengan potensi pembeli mencapai 30 juta orang.
"Transaksi social commerce ini dari menjual dan membeli barang melalui platform media sosial, seperti Whatsapp, Facebook, Instagram dan lain-lain," kata dia dikutip dari keterangannya, Kamis (9/9/2021).
Menurut dia ruang digital dan media sosial harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendorong pasar belanja online di dalam negeri. Ia menyampaikan potensi besar sosial commerce bisa dilakukan lewat Whatsapp. Tercatat, pada Januari tahun lalu 83% masyarakat Indonesia menggunakan Whatsapp.
Namun demikian sosial commerce memiliki kelemahan. Adapun kelemahan dari social commerce adalah tidak transparan, tidak ada garansi, sulit mengukur kredibilitasnya, tidak efisien dan serba manual. Namun disisi lain social commerce lebih instan, tidak perlu mengunduh aplikasi, lebih personal dan pendaftaran akunnya gratis.
Berdasarkan survei alasan merchant berjualan di media sosial adalah karena kemudahan dalam memasarkan produknya dan dapat memanfaatkan jaringan dan juga kerabat. Beberapa problem yang sering terjadi di social commerce seperti keterlambatan respons dalam membalas chatingan yang membuat kustomer kecewa dan kustomer yang sudah banyak bertanya tetapi tidak membeli.
"Di masa pandemi ini memang banyak terjadi ketidakpastian, namun dengan memanfaatkan sosial media untuk melakukan marketing, kita dapat bertahan dan dapat menjadi titik awal dari kesuksesan kita," kata dia.
Sementara, Anggota Komisi 1 DPR Dave Akbarshah menyampaikan tren jual beli online semakin berkembang pesat, di mana sosial media sudah menjadi tren baik di kalangan milenial maupun orangtua. Namun yang perlu dibenahi ialah jaminan kemanan dan kepastian perlindungan data konsumen.
"Digitalisasi butuh kepastian UU agar data pribadi lebih aman. Landasan konseptual perlunya UU Data Pribadi yaitu mengenai hak asasi, kebebasan dan tanggungjawab serta kedaulatan data," tandasnya.
Ada beberapa hal mengapa UU Data Pribadi sangat diperlukan, yaitu data pribadi rawan bocor, fenomena digital marketing, penyalahgunaan data, hak pemilik data, dan perlindungan dan kepastian hukum. Jenis kebocoran data yang sering terjadi seperti data kependudukan (KTP), data konsumen, dan data digital.
Sejumlah RUU yang berkaitan dengan digitalisasi, yaitu RUU Ketahabab dan Keamanan Siber, RUU Penyiaran, dan RUU PDP. RUU PDP nantinya akan menjamin hak pemilik data. Bersamaan dengan RUU ini juga perlu didorong adanya literasi digital di masyarakat. "Prinsip keselamatan data dan kedaulatan data secara nasional itu lebih utama," tandas dia.
Digitalpreneuer Diatce G. Harahap menyebutkan nilai transaksi bruto atau gross merchandise value (GMV) e-commerce di Indonesia tahun lalu mencapai USD8 miliar dan USD3 miliar atau sekitar Rp42 triliun dari transaksi social commerce dengan potensi pembeli mencapai 30 juta orang.
"Transaksi social commerce ini dari menjual dan membeli barang melalui platform media sosial, seperti Whatsapp, Facebook, Instagram dan lain-lain," kata dia dikutip dari keterangannya, Kamis (9/9/2021).
Menurut dia ruang digital dan media sosial harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendorong pasar belanja online di dalam negeri. Ia menyampaikan potensi besar sosial commerce bisa dilakukan lewat Whatsapp. Tercatat, pada Januari tahun lalu 83% masyarakat Indonesia menggunakan Whatsapp.
Namun demikian sosial commerce memiliki kelemahan. Adapun kelemahan dari social commerce adalah tidak transparan, tidak ada garansi, sulit mengukur kredibilitasnya, tidak efisien dan serba manual. Namun disisi lain social commerce lebih instan, tidak perlu mengunduh aplikasi, lebih personal dan pendaftaran akunnya gratis.
Berdasarkan survei alasan merchant berjualan di media sosial adalah karena kemudahan dalam memasarkan produknya dan dapat memanfaatkan jaringan dan juga kerabat. Beberapa problem yang sering terjadi di social commerce seperti keterlambatan respons dalam membalas chatingan yang membuat kustomer kecewa dan kustomer yang sudah banyak bertanya tetapi tidak membeli.
"Di masa pandemi ini memang banyak terjadi ketidakpastian, namun dengan memanfaatkan sosial media untuk melakukan marketing, kita dapat bertahan dan dapat menjadi titik awal dari kesuksesan kita," kata dia.
Sementara, Anggota Komisi 1 DPR Dave Akbarshah menyampaikan tren jual beli online semakin berkembang pesat, di mana sosial media sudah menjadi tren baik di kalangan milenial maupun orangtua. Namun yang perlu dibenahi ialah jaminan kemanan dan kepastian perlindungan data konsumen.
"Digitalisasi butuh kepastian UU agar data pribadi lebih aman. Landasan konseptual perlunya UU Data Pribadi yaitu mengenai hak asasi, kebebasan dan tanggungjawab serta kedaulatan data," tandasnya.
Ada beberapa hal mengapa UU Data Pribadi sangat diperlukan, yaitu data pribadi rawan bocor, fenomena digital marketing, penyalahgunaan data, hak pemilik data, dan perlindungan dan kepastian hukum. Jenis kebocoran data yang sering terjadi seperti data kependudukan (KTP), data konsumen, dan data digital.
Sejumlah RUU yang berkaitan dengan digitalisasi, yaitu RUU Ketahabab dan Keamanan Siber, RUU Penyiaran, dan RUU PDP. RUU PDP nantinya akan menjamin hak pemilik data. Bersamaan dengan RUU ini juga perlu didorong adanya literasi digital di masyarakat. "Prinsip keselamatan data dan kedaulatan data secara nasional itu lebih utama," tandas dia.
(nng)