Krisis Energi Jadi Kelemahan Kebijakan Prioritas Xi Jinping

Minggu, 03 Oktober 2021 - 22:18 WIB
loading...
Krisis Energi Jadi Kelemahan Kebijakan Prioritas Xi Jinping
China perlu melakukan langkah besar untuk mengatasi krisis energi. Foto/TheTelegraph.co.uk
A A A
JAKARTA - Krisis energi di China yang belakangan ini mencuat ke publik menunjukkan ada kelemahan kebijakan dari program prioritas Presiden Xi Jinping dalam mengatur urusan energi. Satu hal yang menjadi pokok persoalan adalah keamanan energi, yang mau tidak mau punya dampak terhadap sistem kelistrikan di masa depan.

China perlu melakukan langkah besar untuk membentuk kembali jaringan dan pasar tenaga listrik, membangun cadangan bahan bakar, serta menambahkan lebih banyak sumber energi terbarukan. Inilah yang menjadi benang merah penjelasan sekaligus resolusi kebijakan publik dari Studi Energi Program Penelitian Energi China dari Oxford Institute.



"Semuanya sudah tersedia dan akan ada dorongan besar jika situasi (krisis) telah mereda," kata Direktur Program Penelitian Energi China di Oxford Institute for Energy Studies, Michal Meidan, dilansir Bloomberg, Minggu (3/10/2021).

Berdasarkan kajian sejumlah analis, berikut 4 pilihan solusi yang mungkin bisa dieksplorasi Beijing:

1. Liberalisasi Pasar Listrik

Pemicu krisis energi di China saat ini merupakan imbas dari penutupan sejumlah pembangkit listrik. Pembelian batu bara di tengah meningkatnya harga komoditas, membuat perusahaan mengalami kerugian besar di pasar listrik yang punya regulasi ketat.

Aturan harga saat ini merupakan acuan yang hanya berlaku untuk tahun 2019. Apabila tolak-ukur energi listrik saat ini bisa diganti dengan model hibrida, maka akan jauh lebih fleksibel.

"Jika China bisa membebaskan pasar listrik, maka mungkin bisa menyediakan pasokan listrik yang cukup, tetapi memang kenaikan biaya listrik juga dapat melemahkan ekonomi lokal," kata Head of China Research BloombergNEF, Kou Nannan.

Kendati begitu, hambatan utama liberalisasi pasar listrik China berada di tingkat hilir, yakni pengguna, bahkan juga industri manufaktur.

Saat ini, Provinsi Hunan berencana menguji coba acuan harga energi yang berkaitan dengan penggunaan batu bara mulai Oktober bulan ini. Sedangkan Guangdong sudah menaikkan tarif (penggunaan energi batu bara).

2. Konektivitas Jaringan Listrik

Lebih banyak konektivitas jaringan listrik di sejumlah wilayah dapat mengurangi kekurangan pasokan di tingkat pedalaman.

Dua operator jaringan utama China yakni State Grid Corp of China telah menjangkau setidaknya 80% wilayah negeri. Sedangkan, China Southern Grid Corp hanya menjangkau lima provinsi di bagian selatan, kendati turut mempercepat pembangunan jaringan listrik di beberapa wilayah lain.

Oleh karena itu terjadilah pemutusan listrik di sejumlah provinsi, atau bahkan dalam beberapa kasus terjadi di wilayah yang sama (dalam jaringan listrik).

"Itulah mengapa ada satu wilayah di China dengan banyak pasokan listrik, sedangkan tempat lainnya tidak ada," kata Konsultan Energi Manajer Lantau Group, David Fishman.

David meyakini bahwa semakin banyak konektivitas jaringan, maka alokasi pasokan listrik bisa mengalir secara efisien. "Maka perlu investasi dalam membuat jaringan baru dengan tegangan yang tinggi di area lokal," tuturnya.

3. Go Green

Krisis energi di tingkat global saat ini menunjukkan adanya ketergantungan yang berlebih terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Pemerintah China saat ini dimungkinkan masih sangat berhati-hati dalam mempensiunkan energi batu bara.

Tetapi situasi krisis yang melanda Beijing--ketika China dipaksa berburu gas alam dan batu bara di tingkat global--membuka peluang lokal untuk memanfaatkan tenaga surya dan hidro.

China perlu menambah pasokan energi terbarukan dalam jumlah besar. Investasi infrastruktur EBT perlu digalakkan seperti pompa hidro atau baterai ukuran besar untuk mengelola alternatif energi bersih ini.

"Beberapa bulan terakhir ini menunjukkan adanya kekhawatiran dari China dan sejumlah negara lain terhadap harga bahan bakar fosil, dan memperkuat peralihan ke sumber energi bebas emisi," kata Analis Centre for Research on Clean Energy, Lauri Myllyvirta.

4. Alokasi Persediaan

Kendati sudah ada upaya untuk memacu produksi energi terbarukan, penggunaan batu bara tidak akan hilang dalam waktu dekat. Krisis bulan September menunjukkan adanya masalah serius dalam pengelolaan persediaan dan cadangan bahan bakar, kata David Fishman, melanjutkan.

Hal yang menjadi potensi risiko saat ini adalah persediaan daya listrik yang hampir habis di tengah melonjaknya harga komoditas energi jelang memasuki musim dingin.



Salah satu cara untuk menutupi kekurangan tersebut adalah dengan membangun dan mengisi fasilitas penyimpanan batu bara sebagai cadangan, yang juga dilakukan sejumlah negara di seluruh dunia.

Langkah ini bisa berguna bagi kebutuhan di masa mendatang. Artinya, pembelian batu bara harus dipergunakan untuk cadangan, bukan hanya pemakaian.

Seperti diketahui pemerintah China menargetkan adanya peningkatan stok persediaan batu bara menjadi 600 juta ton atau sekitar 15% dari konsumsi tahunan.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2421 seconds (0.1#10.140)