Kepastian Tarif Cukai Dibutuhkan Demi Menjaga Industri Hasil Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat hukum tata negara UIN Kalijaga, Yogyakarta, Gugun el Guyanie berpendapat di tengah strategisnya peran industri hasil tembakau (IHT) , selalu dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan. Menurutnya dikhawatirkan, kebijakan cukai berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Hal ini berdampak pada sektor hulu hilir.
"Besarnya potensi kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif. Terlihat CHT justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan, daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok ," tegas Gugun el Guyani di Jakarta, Kamis (21/10/2021).
Demikian halnya dengan desakan kebijakan cukai hampir setiap tahun lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Gelombang penolakan kenaikan cukai kerap dilakukan oleh para stakeholders pertembakauan. Mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, serikat pekerja, akademisi, organisasi masyarakat sipil, termasuk pelaku industri hasil tembakau nasional.
"Sayangnya, suara penolakan kenaikan cukai oleh mereka diabaikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan RI," ujarnya.
Menurut Gugun, pengaturan cukai menunjukkan bahwa Undang Undang Cukai ditafsirkan secara leluasa oleh rezim kementerian keuangan melalui PMK. "Idealnya ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksana dari UU Cukai, agar kebijakan cukai tidak dimonopoli oleh rezim Kementerian Keuangan," tegas Gugun.
Dikatakan Gugun, berbicara industri hasil tembakau (IHT), ada domain Kementerian Pertanian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Keungan, Kementerian Kesehatan, dan masih banyak lagi.
Sehingga, lanjut Gugun, harus melibatkan kementeria/lembaga terkait untuk melakukan harmonisasi pembuatan kebijakan. "Namun faktanya, politik hukumnya sektoral, dikendalikan oleh Kementerian Keuangan, dan rezim kesehatan yang sangat anti rokok!," cetus Gugun.
Gugun juga menyoroti komitmen pemerintah untuk membuat roadmap industri hasil tembakau. Sebab menurutnya, akar masalahnya adalah tiadanya roadmap yang tegas mengenai keberadaan IHT nasional.
Karena itu, sambung Gugun, penyusunan roadmap IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah.
"Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung," katanya.
Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat.
"IHT merupakan industri strategis nasional yang memiliki keterkaitan sektor yang luas mulai hulu hingga hilir. IHT memiliki kontribusi yang sangat besar dan berdampak luas baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya terhadap pembangunan bangsa selama ini," tukasnya.
"Besarnya potensi kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif. Terlihat CHT justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan, daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok ," tegas Gugun el Guyani di Jakarta, Kamis (21/10/2021).
Demikian halnya dengan desakan kebijakan cukai hampir setiap tahun lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Gelombang penolakan kenaikan cukai kerap dilakukan oleh para stakeholders pertembakauan. Mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, serikat pekerja, akademisi, organisasi masyarakat sipil, termasuk pelaku industri hasil tembakau nasional.
"Sayangnya, suara penolakan kenaikan cukai oleh mereka diabaikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan RI," ujarnya.
Menurut Gugun, pengaturan cukai menunjukkan bahwa Undang Undang Cukai ditafsirkan secara leluasa oleh rezim kementerian keuangan melalui PMK. "Idealnya ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksana dari UU Cukai, agar kebijakan cukai tidak dimonopoli oleh rezim Kementerian Keuangan," tegas Gugun.
Dikatakan Gugun, berbicara industri hasil tembakau (IHT), ada domain Kementerian Pertanian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, Kementerian Keungan, Kementerian Kesehatan, dan masih banyak lagi.
Sehingga, lanjut Gugun, harus melibatkan kementeria/lembaga terkait untuk melakukan harmonisasi pembuatan kebijakan. "Namun faktanya, politik hukumnya sektoral, dikendalikan oleh Kementerian Keuangan, dan rezim kesehatan yang sangat anti rokok!," cetus Gugun.
Gugun juga menyoroti komitmen pemerintah untuk membuat roadmap industri hasil tembakau. Sebab menurutnya, akar masalahnya adalah tiadanya roadmap yang tegas mengenai keberadaan IHT nasional.
Karena itu, sambung Gugun, penyusunan roadmap IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah.
"Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung," katanya.
Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat.
"IHT merupakan industri strategis nasional yang memiliki keterkaitan sektor yang luas mulai hulu hingga hilir. IHT memiliki kontribusi yang sangat besar dan berdampak luas baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya terhadap pembangunan bangsa selama ini," tukasnya.
(akr)