Surat Terbuka 30 Negara Minta FCTC Ubah Pendekatan Pengendalian Tembakau
loading...
A
A
A
Kelima, membuat negosiasi FCTC lebih terbuka bagi para pemangku kepentingan yang memiliki pandangan pengurangan dampak buruk, termasuk konsumen, pakar kesehatan masyarakat, dan beberapa bisnis yang memiliki pengetahuan khusus yang tidak dimiliki dalam komunitas pengendalian tembakau pada umumnya.
Terakhir, memulai kajian independen terhadap pendekatan WHO dan FCTC terhadap kebijakan tembakau dalam konteks SDGs. Kajian tersebut dapat membahas interpretasi dan penggunaan sains, kualitas rekomendasi kebijakan, keterlibatan pemangku kepentingan, akuntabilitas, dan tata kelola.
Layaknya bentuk respons pandemi Covid-19, diperlukan semacam Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR), yang dilantik untuk mengevaluasi respons.
Para ahli juga percaya bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kebijakan tembakau mengoptimalkan potensi pengurangan dampak buruk tembakau. Mereka juga berharap komunitas akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan akan bersatu dalam mendukung agenda SDGs melalui pengurangan dampak buruk tembakau.
Bias Negatif WHO Terhadap Produk Tembakau Alternatif
Pada 2020, WHO menerbitkan laman tanya jawab mengenai produk vape yang mengklaim bahwa vape memiliki tingkat candu yang tinggi dan berbahaya bagi kesehatan, serta dapat menyebabkan gangguan paru. Hal ini dibantah oleh para ahli, salah satunya Profesor Peter Hajek, Queen Mary University, Inggris.
"Hampir semua fakta dalam pernyataan (di laman tanya jawab) tersebut salah. Tidak ada bukti bahwa vape memiliki tingkat kecanduan yang tinggi. Tidak ada bukti bahwa vape meningkatkan risiko penyakit jantung atau yang dapat memiliki efek pada orang di sekitarnya. Sementara, ada bukti yang jelas bahwa vape membantu perokok berhenti,” ungkapnya dalam forum daring Science Media Centre.
“WHO menjawab ‘tidak tahu’ ketika menanggapi pertanyaan mengenai tingkat risiko vape dibanding rokok konvensional. Padahal vape sudah jelas memiliki risiko yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa WHO salah mengartikan bukti ilmiah yang sudah ada,” timpal Profesor John Britton, University of Nottingham, Inggris.
Dampaknya untuk Indonesia
Indonesia sendiri tidak menandatangani FCTC karena peraturan pengendalian tembakaunya merujuk pada PP Nomor 109 Tahun 2012. Namun, seruan para ahli untuk mengadopsi pengurangan dampak buruk tembakau dalam upaya pengendalian tembakau tetap relevan untuk negara yang ingin mengurangi prevalensi perokok, termasuk dalam hal ini Indonesia.
Terakhir, memulai kajian independen terhadap pendekatan WHO dan FCTC terhadap kebijakan tembakau dalam konteks SDGs. Kajian tersebut dapat membahas interpretasi dan penggunaan sains, kualitas rekomendasi kebijakan, keterlibatan pemangku kepentingan, akuntabilitas, dan tata kelola.
Layaknya bentuk respons pandemi Covid-19, diperlukan semacam Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR), yang dilantik untuk mengevaluasi respons.
Para ahli juga percaya bahwa ini adalah saat yang tepat untuk kebijakan tembakau mengoptimalkan potensi pengurangan dampak buruk tembakau. Mereka juga berharap komunitas akademisi, praktisi, dan pengambil kebijakan akan bersatu dalam mendukung agenda SDGs melalui pengurangan dampak buruk tembakau.
Bias Negatif WHO Terhadap Produk Tembakau Alternatif
Pada 2020, WHO menerbitkan laman tanya jawab mengenai produk vape yang mengklaim bahwa vape memiliki tingkat candu yang tinggi dan berbahaya bagi kesehatan, serta dapat menyebabkan gangguan paru. Hal ini dibantah oleh para ahli, salah satunya Profesor Peter Hajek, Queen Mary University, Inggris.
"Hampir semua fakta dalam pernyataan (di laman tanya jawab) tersebut salah. Tidak ada bukti bahwa vape memiliki tingkat kecanduan yang tinggi. Tidak ada bukti bahwa vape meningkatkan risiko penyakit jantung atau yang dapat memiliki efek pada orang di sekitarnya. Sementara, ada bukti yang jelas bahwa vape membantu perokok berhenti,” ungkapnya dalam forum daring Science Media Centre.
“WHO menjawab ‘tidak tahu’ ketika menanggapi pertanyaan mengenai tingkat risiko vape dibanding rokok konvensional. Padahal vape sudah jelas memiliki risiko yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa WHO salah mengartikan bukti ilmiah yang sudah ada,” timpal Profesor John Britton, University of Nottingham, Inggris.
Dampaknya untuk Indonesia
Indonesia sendiri tidak menandatangani FCTC karena peraturan pengendalian tembakaunya merujuk pada PP Nomor 109 Tahun 2012. Namun, seruan para ahli untuk mengadopsi pengurangan dampak buruk tembakau dalam upaya pengendalian tembakau tetap relevan untuk negara yang ingin mengurangi prevalensi perokok, termasuk dalam hal ini Indonesia.