Tepis Stigma Mahalnya Tes DNA, Startup Bioteknologi Ini Tawarkan Tarif Rp2,7 Juta

Rabu, 03 November 2021 - 21:46 WIB
loading...
Tepis Stigma Mahalnya...
Pendiri dan CEO PT Asa Ren Global Nusantara Aloysius Liang. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Stigma mahalnya tarif tes DNA berusaha ditepis oleh perusahaan startup bioteknologi lokal, Asaren, yang menawarkan tarif tes Rp2,7 juta. Meski saat ini tes DNA sebagai langkah preventif masih kurang populer di Tanah Air, startup yang baru berumur dua tahun itu optimistis ke depan dapat menjangkau 2% populasi Indonesia.

Tes DNA saat ini menjadi salah satu terobosan signifikan dalam dunia kesehatan modern. Melalui tes ini, setiap orang bisa mendapatkan informasi sangat detail terkait dirinya, mulai dari gen, garis keturunan, kepribadian, bakat hingga risiko penyakit.

Ketika seseorang mengalami kelainan genetik atau DNA, misalnya karena penyakit turunan atau karena faktor lainnya, akibatnya bisa fatal. Oleh karena itu, tes DNA penting dilakukan untuk mengetahui struktur genetik di dalam tubuh seseorang dan mendeteksi kelainan genetik.

Sayangnya, banyak yang enggan melakukan tes ini lantaran biayanya yang mahal. Di Indonesia, rata-rata biaya tes DNA dibanderol mulai Rp6 juta hingga puluhan juta.



PT Asa Ren Global Nusantara (Asaren), perusahaan startup bioteknologi yang bisnis intinya bergerak di bidang pengetesan DNA, berupaya mematahkan stigma mahalnya tes DNA dengan menawarkan tarif terjangkau yaitu Rp2,7 juta untuk 21 kategori.

"Biaya tes DNA umumnya sangat mahal. Kami berusaha mempersingkat prosesnya menjadi lebih sederhana dan lebih efisien karena semuanya dilakukan di Indonesia," ungkap pendiri dan CEO PT Asa Ren Global Nusantara Aloysius Liang saat berbincang dengan SINDOnews, dikutip Rabu (3/11/2021).

Dia menjelaskan, Asaren memiliki peralatan, tenaga ahli serta laboratorium yang semuanya berada di Jakarta sehingga sampel untuk tes DNA tidak harus dikirim ke luar negeri.

Sebagai informasi, beberapa penyedia layanan tes DNA ada yang harus mengirim sampel ke Jepang, Hong Kong, bahkan Kanada dan Amerika Serikat (AS). Tak ayal, biayanya pun tidak murah.

"Kami yang pertama di Indonesia yang punya lab sendiri serta pemrosesan dan penyimpanan data sendiri. Jadi, semua proses dilakukan di Indonesia, mulai dari sampelnya kami tidak kirim ke luar negeri," ucap pria kelahiran Singapura.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2336 seconds (0.1#10.140)