Anak Buah Cerita Kronologi Menko Luhut Terlibat Bisnis PCR

Senin, 08 November 2021 - 17:26 WIB
loading...
Anak Buah Cerita Kronologi Menko Luhut Terlibat Bisnis PCR
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memberikan klarifikasi terkait dugaan keterlibatan Menko Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tes PCR. Simak cerita lengkapnya. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ( Kemenko Marves ) memberikan klarifikasi terkait dugaan keterlibatan Menko Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tes PCR . Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto menjelaskan, tujuan pembentukan PT Genomik Solidaritas Indonesia atau GS bukan untuk mencari keuntungan bagi para pemegang saham.

“Saya merasa harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal, sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini," kata Septian Hario Seto melalui pernyataan, Senin (8/11/2021).

Baca Juga: Fokus Pulihkan Ekonomi, Luhut dan Erick Thohir Jangan Terpengaruh Isu Politis PCR

Pernyataan resmi tersebut disampaikan oleh Jubir Luhut, Jodi Mahadi. Dalam pernyataannya, Septiam Hario menyebutkan Menko Luhut mengawali cerita bisnis bersama dirinya berawal dari pengalamannya kali pertama melakukan tes PCR.

Maret 2020 di mana awal pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, dirinya juga baru diangkat sebagai Komisaris BNI dan mendapatkan fasilitas untuk tes PCR dari BNI.

“Kejadian ini membuat saya berpikir, bila kapasitas tes PCR terbatas, maka orang harus menunggu berhari-hari sebelum mengetahui hasil tes PCR dan tentunya ini akan membuat negara ini keteteran dalam menghadapi pandemi Covid-19,” paparnya.

Menurutnya, kondisi ini akan mengakibatkan keterlambatan penanganan pasien, karena butuh waktu yang lama untuk mengetahui apakah seseorang terkena Covid-19 atau tidak. Akibatnya, tentu saja penularan akan tinggi dan bisa jatuh korban yang banyak.

"Tanpa berpikir panjang, saya lapor ke Pak Luhut situasi yang ada pada waktu itu. Saya sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR,” urainya.

Menko Luhut akhirnya memerintahkan dia untuk cari alat PCR ini. Pak Luhut menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di beberapa kampus.

“Soal uang, 'nanti kita sumbang saja To', perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini. Di sinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai,” tambahnya.

Dalam realisasinya, dirinya telah berkoordinasi dan mengontak Dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU. Baca Juga: Ada di Lingkaran Bisnis PCR, Luhut: Memberi, Tangan Kiri Tak Perlu Tahu

“Di sinilah kemudian dirinya mengenal dokter dan tenaga medis yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche," ungkapnya.

Pemesanan untuk alat PCR Roche dilakukan pada akhir Maret 2020. Dalam perjalanannya, dirinya kemudian bertemu dengan Budi Gunadi Sadikin, Wakil Menteri BUMN pada saat itu, yang kini sudah menjabat sebagai Menteri Kesehatan.

"Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi mencegah nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," jelasnya.

Pada akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan mulai didistribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang disebutkan di atas.

"Itupun berkat lobi sana-sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak direbut negara lain. Karena kita mendengar ada satu negara Timur Tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," paparnya.

Setelah alat datang, pada awal Mei reagennya baru datang. Masalah pun belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh Viral Transport Medium (VTM).

"Saya tanya ke mereka barang apa pula itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja, di mana kalau salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan," jelasnya.

"Long story short (Singkat Cerita) berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1.000 test per hari," tuturnya.

Dia mengatakan, masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah, imbuhnya, karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.

"Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," paparnya.

Dia menyebut, harga alat ekstraksi RNA-nya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3.

Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA-nya. Yang lebih menarik, lanjutnya, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system).

"Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," tuturnya.

Sebelum memutuskan beli, dia menyebutkan Menko Luhut telah meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya pun di luar dugaan kami cukup baik.

Ketika di awal, pihaknya menyampaikan kepada lab-lab ini bahwa timnya hanya akan mendukung mereka dengan alat PCR dan alat ekstraksi RNA, beserta reagen-reagennya untuk 10 ribu tes buat masing-masing lab.

"Ini berdasarkan kecukupan donasi yang Pak Luhut dan teman-temannya sumbangkan. Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Tiongkok yang saya sebutkan di atas, kita bisa men-support untuk lebih banyak reagen,”

Menko Luhut menyampaikan kerabatnya di China ingin menyumbang untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen.

“Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa men-support seterusnya karena donasi yang terbatas," paparnya.

Adapun alasanya menceritakan kronologi ini. Pertama, saya ingin menceritakan bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu.

“Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu, dan kemudian terjadilah kehebohan setelah liputan pemberitaan itu keluar. Tuduhannya adalah mengenai kebijakan kewajiban PCR bagi pesawat yang diberlakukan beberapa Minggu yang lalu hanya menguntungkan Pak Luhut dan Pak Erick secara pribadi,” pungkasnya.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2086 seconds (0.1#10.140)