Restrukturisasi Utang Garuda Indonesia Kompleks, Ini Penjelasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, senilai USD9,8 miliar atau setara Rp 139 triliun menjadi opsi alternatif penyelamatan pemerintah. Meski begitu, restrukturisasi utang Garuda Indonesia ditegaskan tidak semudah BUMN lainnya.
Wakil Menteri atau Wamen BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo menyebut, restrukturisasi utang emiten dengan kode saham GIAA tercatat kompleksitas. Hal itu berbeda dengan restrukturisasi utang PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, atau KS, hingga PT Waskita Karya (Persero).
Menurutnya, restrukturisasi utang ketiga perusahaan pelat merah itu cukup mudah. Pasalnya, kreditur ketiga BUMN itu merupakan kreditur lokal yang masih bisa diajak negosiasi.
"Ini beda sekali dibandingkan dengan restrukturisasi PTPN yang relatif bisa kita kerjakan secara nasional dan krediturnya semua ada di lokal sehingga terkontrol di dalam negeri," ujar Kartika, dikutip Rabu (10/11/2021).
Sementara, kreditur Garuda Indonesia 70% merupakan kreditur asing. Karena itu, dalam proses restrukturisasi utang emiten pihaknya tidak menggunakan sistem out of court atau negosiasi satu per satu.
Di lain sisi, Kementerian BUMN menginginkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati segera mencairkan dana Investasi Pemerintah-Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) untuk Garuda Indonesia senilai Rp 7,5.
Dana IP-PEN Garuda digunakan pemegang saham untuk memberikan jaminan kepada kreditur selama proses restrukturisasi utang emiten itu. Tiko menyebut, langkah itu sekaligus menegaskan bahwa proses restrukturisasi utang Garuda Indonesia mendapat dukungan penuh dari negara.
Dalam restrukturisasi, manajemen membutuhkan dana sebesar USD 90 juta atau setara Rp 1,28 triliun untuk memberikan jaminan kepada kreditur. Dana itu bisa diperoleh dari pencairan IP-PEN.
"Ini tentunya kami mohon dukungan, harapannya USD 90 juta untuk proses hukum (restrukturisasi). Karena di awal ada semacam token dari pemerintah untuk menunjukkan komitmen menyelesaikan permasalahan," katanya.
Kemudian, sisanya dana bisa dicairkan setelah proses restrukturisasi disepakati antara pemegang saham dan kreditur.
"Jadi kondisional, kalau mereka sepakat turunkan utangnya, mengurangi biaya leasing-nya, baru pemerintah komitmen tambah modal baru, Ini nanti kondisional tergantung negosiasi. Kita butuh token untuk menjaga Garuda Indonesia bisa terbang," tuturnya.
Wakil Menteri atau Wamen BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo menyebut, restrukturisasi utang emiten dengan kode saham GIAA tercatat kompleksitas. Hal itu berbeda dengan restrukturisasi utang PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, atau KS, hingga PT Waskita Karya (Persero).
Menurutnya, restrukturisasi utang ketiga perusahaan pelat merah itu cukup mudah. Pasalnya, kreditur ketiga BUMN itu merupakan kreditur lokal yang masih bisa diajak negosiasi.
"Ini beda sekali dibandingkan dengan restrukturisasi PTPN yang relatif bisa kita kerjakan secara nasional dan krediturnya semua ada di lokal sehingga terkontrol di dalam negeri," ujar Kartika, dikutip Rabu (10/11/2021).
Sementara, kreditur Garuda Indonesia 70% merupakan kreditur asing. Karena itu, dalam proses restrukturisasi utang emiten pihaknya tidak menggunakan sistem out of court atau negosiasi satu per satu.
Di lain sisi, Kementerian BUMN menginginkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati segera mencairkan dana Investasi Pemerintah-Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) untuk Garuda Indonesia senilai Rp 7,5.
Dana IP-PEN Garuda digunakan pemegang saham untuk memberikan jaminan kepada kreditur selama proses restrukturisasi utang emiten itu. Tiko menyebut, langkah itu sekaligus menegaskan bahwa proses restrukturisasi utang Garuda Indonesia mendapat dukungan penuh dari negara.
Dalam restrukturisasi, manajemen membutuhkan dana sebesar USD 90 juta atau setara Rp 1,28 triliun untuk memberikan jaminan kepada kreditur. Dana itu bisa diperoleh dari pencairan IP-PEN.
"Ini tentunya kami mohon dukungan, harapannya USD 90 juta untuk proses hukum (restrukturisasi). Karena di awal ada semacam token dari pemerintah untuk menunjukkan komitmen menyelesaikan permasalahan," katanya.
Kemudian, sisanya dana bisa dicairkan setelah proses restrukturisasi disepakati antara pemegang saham dan kreditur.
"Jadi kondisional, kalau mereka sepakat turunkan utangnya, mengurangi biaya leasing-nya, baru pemerintah komitmen tambah modal baru, Ini nanti kondisional tergantung negosiasi. Kita butuh token untuk menjaga Garuda Indonesia bisa terbang," tuturnya.
(akr)