Inflasi AS Sentuh Level Tertinggi, Wall Street Dibuka Gontai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tiga indeks acuan Wall Street dibuka lebih rendah pada perdagangan Rabu malam (10/11/2021) setelah data menunjukkan tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) mencapai level tertinggi sejak 30 tahun terakhir. Hal ini bakal memberikan tekanan baru bagi Bank Sentral AS atau The Fed dalam memperketat kebijakan moneternya.
Pukul 21:40 WIB, Dow Jones Industrial Average (DJI) turun 53 poin, atau -0,2%, di level 36.267. S&P 500 turun -0,3% dan Nasdaq Composite anjlok -0,37%, terbebani oleh penurunan emiten teknologi yang sensitif atas isu inflasi.
Namun, koreksi yang terjadi kemungkinan merupakan bentuk aksi profit taking semata mengingat ketiga indeks tersebut telah mencapai rekor tertingginya dalam seminggu terakhir menyusul sinyal dari The Fed mengindikasikan tidak perlu menaikkan suku bunga untuk satu tahun ke depan.
Sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja mencatat bahwa indeks harga konsumen/consumer price index naik 0,9% pada bulan Oktober dan menguat 6,2% pada tahun ini. Ini merupakan peningkatan tertingginya dalam lebih dari 30 tahun.
CPI merupakan salah satu statistik yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi periode inflasi atau deflasi. CPI mengukur rata-rata perubahan harga dari waktu ke waktu saat konsumen membayar sekeranjang barang dan jasa, yang biasa dikenal sebagai inflasi.
"CPI core bulan Oktober hanyalah pemanis sekejap, beberapa bulan ke depan akan menjadi mengerikan," kata Analis Ekonomi Makro Pantheon Ian Shepherdson, dilansir Reuters, Rabu (10/11/2021).
Selain kekhawatiran atas inflasi, bursa AS juga mendapat sentimen dari kompetitor utama ekonomi AS yakni China. Belakangan, muncul sebuah kabar bahwa partai penguasa yaitu Partai Komunis China memulai pertemuan yang menurut para analis bakal semakin membuka peluang bagi Xi Jinping memerintah sebagai presiden selama sisa hidupnya.
Adapun sidang pleno dikabarkan berlangsung secara tertutup dan menyatukan sekitar 400 petinggi partai yang bakal berakhir hingga Kamis depan (11/11/2021). Terakhir, adanya sentimen dari pasar komoditas saat harga minyak kembali menguat menyusul data perdagangan di China.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Pukul 21:40 WIB, Dow Jones Industrial Average (DJI) turun 53 poin, atau -0,2%, di level 36.267. S&P 500 turun -0,3% dan Nasdaq Composite anjlok -0,37%, terbebani oleh penurunan emiten teknologi yang sensitif atas isu inflasi.
Namun, koreksi yang terjadi kemungkinan merupakan bentuk aksi profit taking semata mengingat ketiga indeks tersebut telah mencapai rekor tertingginya dalam seminggu terakhir menyusul sinyal dari The Fed mengindikasikan tidak perlu menaikkan suku bunga untuk satu tahun ke depan.
Sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja mencatat bahwa indeks harga konsumen/consumer price index naik 0,9% pada bulan Oktober dan menguat 6,2% pada tahun ini. Ini merupakan peningkatan tertingginya dalam lebih dari 30 tahun.
CPI merupakan salah satu statistik yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi periode inflasi atau deflasi. CPI mengukur rata-rata perubahan harga dari waktu ke waktu saat konsumen membayar sekeranjang barang dan jasa, yang biasa dikenal sebagai inflasi.
"CPI core bulan Oktober hanyalah pemanis sekejap, beberapa bulan ke depan akan menjadi mengerikan," kata Analis Ekonomi Makro Pantheon Ian Shepherdson, dilansir Reuters, Rabu (10/11/2021).
Selain kekhawatiran atas inflasi, bursa AS juga mendapat sentimen dari kompetitor utama ekonomi AS yakni China. Belakangan, muncul sebuah kabar bahwa partai penguasa yaitu Partai Komunis China memulai pertemuan yang menurut para analis bakal semakin membuka peluang bagi Xi Jinping memerintah sebagai presiden selama sisa hidupnya.
Adapun sidang pleno dikabarkan berlangsung secara tertutup dan menyatukan sekitar 400 petinggi partai yang bakal berakhir hingga Kamis depan (11/11/2021). Terakhir, adanya sentimen dari pasar komoditas saat harga minyak kembali menguat menyusul data perdagangan di China.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(ind)