Dapat Diskon Harga Sewa Pesawat Rp2,8 Triliun, Garuda Tetap Tak Mampu Bayar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra buka-bukaan, perihal hasil negosiasi pihaknya dengan lesor atau perusahaan penyewa pesawat. Hasilnya, emiten berhasil memperoleh penurunan harga sewa pesawat lebih dari USD200 juta atau setara Rp2,8 triliun per tahunnya.
Kesepakatan itu disetujui kedua pihak sejak 2020 lalu. Malangnya, manajemen Garuda Indonesia justru enggan membayar biaya sewa tersebut. Irfan beralasan, income perusahaan tidak memungkinkan manajemen harus membayar kewajibannya. Perkara ini yang menyebabkan masalah utang maskapai penerbangan pelat merah itu menjadi berkepanjangan.
"Kita negosiasi tahun lalu dengan asumsi waktu itu pandemi ini akan cepat selesai, kita mendapatkan penurunan biaya sewa dari semua lessor sebesar in total lebih dari USD200 juta per tahun. Cuman itu kita tidak bisa eksekusi karena apa? Karena jumlah trafik tidak sampai ke kondisi sebelum pandemi," ungkap Dirut Garuda Irfan Setiaputra , Jumat (12/11/2021).
Dia mengakui, proses restrukturisasi utang Garuda bakal berkepanjangan. Pasalnya, pemegang saham dan manajemen harus menghadapi 800 kreditur perusahaan yang berbeda-beda cara penanganannya.
Kelangsungan bisnis Garuda Indonesia memang berada dalam genggaman kreditur hingga lessor asing. Dua per tiga pengaruhi kreditur global mampu menentukan nasib emiten ke depannya. Pengaruh itu, khususnya berlaku saat proses restrukturisasi utang dilakukan. Adapun total utang Garuda mencapai Rp139 triliun.
Berbeda dengan kreditur, Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, justru mengakui pengaruh pemerintah atau pemegang saham dalam proses restrukturisasi hanya mencapai sepertiga saja. Dengan begitu, dominasi berada di tangan kreditur.
"Kita ini sekarang sepertiga Pak pengaruhnya untuk proses ini (restrukturisasi), dua per tiganya ada di kreditur karena krediturlah lebih punya hak untuk sekarang menentukan kelangsungan Garuda Indonesia ke depannya," ujar Kartika.
Lihat Juga: Garuda Indonesia Travel Festival 2024 Hadirkan Ragam Pilihan Tiket Penerbangan Terjangkau
Kesepakatan itu disetujui kedua pihak sejak 2020 lalu. Malangnya, manajemen Garuda Indonesia justru enggan membayar biaya sewa tersebut. Irfan beralasan, income perusahaan tidak memungkinkan manajemen harus membayar kewajibannya. Perkara ini yang menyebabkan masalah utang maskapai penerbangan pelat merah itu menjadi berkepanjangan.
"Kita negosiasi tahun lalu dengan asumsi waktu itu pandemi ini akan cepat selesai, kita mendapatkan penurunan biaya sewa dari semua lessor sebesar in total lebih dari USD200 juta per tahun. Cuman itu kita tidak bisa eksekusi karena apa? Karena jumlah trafik tidak sampai ke kondisi sebelum pandemi," ungkap Dirut Garuda Irfan Setiaputra , Jumat (12/11/2021).
Dia mengakui, proses restrukturisasi utang Garuda bakal berkepanjangan. Pasalnya, pemegang saham dan manajemen harus menghadapi 800 kreditur perusahaan yang berbeda-beda cara penanganannya.
Kelangsungan bisnis Garuda Indonesia memang berada dalam genggaman kreditur hingga lessor asing. Dua per tiga pengaruhi kreditur global mampu menentukan nasib emiten ke depannya. Pengaruh itu, khususnya berlaku saat proses restrukturisasi utang dilakukan. Adapun total utang Garuda mencapai Rp139 triliun.
Berbeda dengan kreditur, Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, justru mengakui pengaruh pemerintah atau pemegang saham dalam proses restrukturisasi hanya mencapai sepertiga saja. Dengan begitu, dominasi berada di tangan kreditur.
"Kita ini sekarang sepertiga Pak pengaruhnya untuk proses ini (restrukturisasi), dua per tiganya ada di kreditur karena krediturlah lebih punya hak untuk sekarang menentukan kelangsungan Garuda Indonesia ke depannya," ujar Kartika.
Lihat Juga: Garuda Indonesia Travel Festival 2024 Hadirkan Ragam Pilihan Tiket Penerbangan Terjangkau
(akr)