Rentenir Kejam! Gara-gara Pinjaman Tak Sampai Sejuta, Seorang Janda dan Anak-anaknya Jadi Tunawisma
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang ibu muda tanpa suami terjebak rentenir alias lintah darat. Gara-gara pinjaman sebesar 50 poundstreling atau tak sampai Rp1 juta, tepatnya Rp948 ribu, Michelle, demikian nama dia, harus menjalani kehidupan yang penuh teror dan menjadi tunawisma.
Colletta Smith, BBC consumer affairs correspondent, mengisahkan cerita pilu yang dialami Michelle.
Michelle terbilang warga baru di sebuah wilayah di Inggris, tak disebutkan di kota mana. Gara-gara jam kerjanya dipotong, dia pun mengalami kondisi keuangan yang ketat. Kondisi itu membuatnya minder tiap kali mengantarkan anaknya ke taman bermain.
Di taman bermain itu, seperti kebanyak taman bermain lain, penuh dengan anak-anak dan para orang tua yang menemani. Nah di antara para orang tua itu, ada seorang ibu yang berusaha akrab dengannya.
Ibu itu dengan gigih mengobrol dengan Michelle setiap hari. Mengajaknya minum kopi. Menurut penuturan Michelle, ibu itu tergolong perempuan yang ramah.
Kemelut hidup Michelle bermula ketika ia ingin menyenangkan anaknya dengan membeli hadiah ulang tahun. Michelle ingin memberikan hadiah ulang tahun yang istimewa buat si anak, namun dia tak memiliki dana ekstra untuk itu.
Nah teman baru Michelle itu kemudian menawarkan bantuan. Sang teman mengatakan bahwa dia memahami bagaimana rasanya saat membutuhkan uang ekstra. Michelle pun boleh membayar pinjamannya bulan depan. "Itulah gunanya teman".
Sebulan kemudian, Michelle membayar kembali pinjaman itu. Ndilalahnya, pembayaran utang itu membuat pengeluaran yang lain terganggu sehingga dia masih membutuhkan "uang ekstra" kembali.
Untuk mengakalinya, mau tak mau, dengan jalan pintas Michelle melakukan pinjaman lagi. Namun kali ini, pinjaman itu berbeda. Jika sebelumnya tanpa bunga, pinjaman baru disertai bunga yang mencekik.
"Kali ini dia mengatakan pinjaman itu dengan bunga. Pinjaman yang pengembaliannya dua kali lipat," katanya kepada BBC, dikutip Jumat (10/12/2021).
Pinjaman yang besar itu harus dibayar lebih besar lagi. Ibaratnya, gali empang buat nutup lubang. Begitu seterusnya.
"Bulan berikutnya, uang keluar dari saku saya dua kali lipat. Itu adalah siklus. Saya perlu meminjam lebih banyak setiap bulan karena saya membayar lebih banyak pula," tutur Michelle.
Situasi itu keruan saja membuat Michelle stress, tertekan, dan malu. Dia pun tak kuasa menutupi kesedihannnya di malam hari, sembari berusaha agar persoalannya tak diketahui orang lain.
"Saya benar-benar malu. Tidak ada yang tahu, saya tidak ingin ada yang tahu. Saya menangis setiap malam," lirihnya.
Pinjaman tak sampai sejuta rupiah itu kemudian berubah menjadi puluhan juta yang harus dibayarkan secara tunai selama beberapa bulan. Pinjaman berbiak yang tanpa catatan.
Ketika Michelle mencoba bersikap tegas dengan melakukan pembelaan, teror pun dimulai. Dia dikirimi pesan ancaman, orang-orang melemparkan barang-barang ke rumahnya, membakar barang-barang di luar pintu depan, dan memecahkan jendela di malam hari. Sungguh biadab.
Teror yang dialami Michelle kian menggila di dunia online. Berbagai fitnah terhadap Michelle diposting agar diketahui banyak orang, termasuk orang-orang di kantornya. Michelle pun cemas bukan kepalang bakal kehilangan pekerjaan gara-gara fitnah itu.
"Saya dipermalukan, benar-benar dipermalukan, dan saya takut seseorang di tempat kerja akan melihatnya. Saya berpikir apakah saya akan kehilangan pekerjaan karena seseorang melihatnya? Ini akan memengaruhi saya di masa depan," urai Michelle.
Michelle ketakutan, depresi dan keluarganya berada dalam posisi yang sangat rentan. Tahun lalu rumahnya dibobol dan digeledah. Barang-barangnya dikencingi, tempat tidur anak-anak dan karpet juga dikencingi.
"Ada barang-barang yang diambil yang tidak akan pernah saya dapatkan kembali" kata Michelle.
Saat itulah Michelle memutuskan keluar dari tempat tinggalnya. Dia membawa anak-anak dan beberapa barang yang masih tersisa. Mereka berjalan keluar rumah, dan tidak pernah kembali lagi.
Keluarga Michelle pun menjadi tunawisma Natal lalu. Mereka memang diberi akomodasi sementara, tetapi mereka tidak punya apa-apa. Tidak ada meja, tidak ada hadiah, tidak ada pohon Natal, tidak ada apa-apa.
"Yang paling sulit adalah mengetahui bahwa ini adalah Natal dan saya telah membuat anak-anak kehilangan tempat tinggal. Ibu mana yang membuat anak-anaknya kehilangan tempat tinggal? Saya melakukannya. Saya membuat pilihan itu," kata Michelle sembari terisak.
Untungnya di Inggris sana ada lembaga yang memang berperan membantu orang-orang yang terjebak rentenir. Michelle kemudian menelepon layanan hotline Stop Loan Sharks. Sejak itu kehidupan telah berbalik untuk Michelle.
Badan amal itu memperingatkan orang untuk tidak menggunakan rentenir Natal. Sebab, mereka bisa terjerumus dalam lembah utang yang dalam.
Para rentenir tidak selalu laki-laki kekar besar dengan kepala gundul. Mereka bisa berwujud seorang ibu yang ramah saat di taman bermain.
Colletta Smith, BBC consumer affairs correspondent, mengisahkan cerita pilu yang dialami Michelle.
Michelle terbilang warga baru di sebuah wilayah di Inggris, tak disebutkan di kota mana. Gara-gara jam kerjanya dipotong, dia pun mengalami kondisi keuangan yang ketat. Kondisi itu membuatnya minder tiap kali mengantarkan anaknya ke taman bermain.
Di taman bermain itu, seperti kebanyak taman bermain lain, penuh dengan anak-anak dan para orang tua yang menemani. Nah di antara para orang tua itu, ada seorang ibu yang berusaha akrab dengannya.
Ibu itu dengan gigih mengobrol dengan Michelle setiap hari. Mengajaknya minum kopi. Menurut penuturan Michelle, ibu itu tergolong perempuan yang ramah.
Kemelut hidup Michelle bermula ketika ia ingin menyenangkan anaknya dengan membeli hadiah ulang tahun. Michelle ingin memberikan hadiah ulang tahun yang istimewa buat si anak, namun dia tak memiliki dana ekstra untuk itu.
Nah teman baru Michelle itu kemudian menawarkan bantuan. Sang teman mengatakan bahwa dia memahami bagaimana rasanya saat membutuhkan uang ekstra. Michelle pun boleh membayar pinjamannya bulan depan. "Itulah gunanya teman".
Sebulan kemudian, Michelle membayar kembali pinjaman itu. Ndilalahnya, pembayaran utang itu membuat pengeluaran yang lain terganggu sehingga dia masih membutuhkan "uang ekstra" kembali.
Untuk mengakalinya, mau tak mau, dengan jalan pintas Michelle melakukan pinjaman lagi. Namun kali ini, pinjaman itu berbeda. Jika sebelumnya tanpa bunga, pinjaman baru disertai bunga yang mencekik.
"Kali ini dia mengatakan pinjaman itu dengan bunga. Pinjaman yang pengembaliannya dua kali lipat," katanya kepada BBC, dikutip Jumat (10/12/2021).
Pinjaman yang besar itu harus dibayar lebih besar lagi. Ibaratnya, gali empang buat nutup lubang. Begitu seterusnya.
"Bulan berikutnya, uang keluar dari saku saya dua kali lipat. Itu adalah siklus. Saya perlu meminjam lebih banyak setiap bulan karena saya membayar lebih banyak pula," tutur Michelle.
Situasi itu keruan saja membuat Michelle stress, tertekan, dan malu. Dia pun tak kuasa menutupi kesedihannnya di malam hari, sembari berusaha agar persoalannya tak diketahui orang lain.
"Saya benar-benar malu. Tidak ada yang tahu, saya tidak ingin ada yang tahu. Saya menangis setiap malam," lirihnya.
Pinjaman tak sampai sejuta rupiah itu kemudian berubah menjadi puluhan juta yang harus dibayarkan secara tunai selama beberapa bulan. Pinjaman berbiak yang tanpa catatan.
Ketika Michelle mencoba bersikap tegas dengan melakukan pembelaan, teror pun dimulai. Dia dikirimi pesan ancaman, orang-orang melemparkan barang-barang ke rumahnya, membakar barang-barang di luar pintu depan, dan memecahkan jendela di malam hari. Sungguh biadab.
Teror yang dialami Michelle kian menggila di dunia online. Berbagai fitnah terhadap Michelle diposting agar diketahui banyak orang, termasuk orang-orang di kantornya. Michelle pun cemas bukan kepalang bakal kehilangan pekerjaan gara-gara fitnah itu.
"Saya dipermalukan, benar-benar dipermalukan, dan saya takut seseorang di tempat kerja akan melihatnya. Saya berpikir apakah saya akan kehilangan pekerjaan karena seseorang melihatnya? Ini akan memengaruhi saya di masa depan," urai Michelle.
Michelle ketakutan, depresi dan keluarganya berada dalam posisi yang sangat rentan. Tahun lalu rumahnya dibobol dan digeledah. Barang-barangnya dikencingi, tempat tidur anak-anak dan karpet juga dikencingi.
"Ada barang-barang yang diambil yang tidak akan pernah saya dapatkan kembali" kata Michelle.
Saat itulah Michelle memutuskan keluar dari tempat tinggalnya. Dia membawa anak-anak dan beberapa barang yang masih tersisa. Mereka berjalan keluar rumah, dan tidak pernah kembali lagi.
Keluarga Michelle pun menjadi tunawisma Natal lalu. Mereka memang diberi akomodasi sementara, tetapi mereka tidak punya apa-apa. Tidak ada meja, tidak ada hadiah, tidak ada pohon Natal, tidak ada apa-apa.
"Yang paling sulit adalah mengetahui bahwa ini adalah Natal dan saya telah membuat anak-anak kehilangan tempat tinggal. Ibu mana yang membuat anak-anaknya kehilangan tempat tinggal? Saya melakukannya. Saya membuat pilihan itu," kata Michelle sembari terisak.
Untungnya di Inggris sana ada lembaga yang memang berperan membantu orang-orang yang terjebak rentenir. Michelle kemudian menelepon layanan hotline Stop Loan Sharks. Sejak itu kehidupan telah berbalik untuk Michelle.
Badan amal itu memperingatkan orang untuk tidak menggunakan rentenir Natal. Sebab, mereka bisa terjerumus dalam lembah utang yang dalam.
Para rentenir tidak selalu laki-laki kekar besar dengan kepala gundul. Mereka bisa berwujud seorang ibu yang ramah saat di taman bermain.
(uka)