Analis: Penguatan Rupiah Hanya Mengikuti Tren Dunia

Selasa, 09 Juni 2020 - 05:37 WIB
loading...
Analis: Penguatan Rupiah Hanya Mengikuti Tren Dunia
Penguatan rupiah terhadap dolar AS dinilai hanya mengikuti tren dunia. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Analis ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) Gede Sandra mengatakan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) belakangan ini, hanya mengikuti tren dunia, dan tidak ada yang istimewa.

"Karena faktanya selama satu bulan terakhir terjadi pelemahan mata uang dolar AS terhadap mata uang kunci dunia, seperti euro, poundsterling Inggris, dolar Australia, dan yen Jepang," ungkap Gede Sandra di Jakarta, Senin (8/6/2020).

Menurut Gede, semakin panasnya situasi politik dalam negeri Amerika Serikat yang dipicu masalah rasial dalam satu bulan terakhir juga menyebabkan USD ikut melemah terhadap mata-mata uang negara tetangga kita di ASEAN, di luar Singapura. Sebut saja terhadap ringgit Malaysia (MYR), baht Thailand (THB), dan bahkan peso Filipina (PHP).

"Selain itu, yang menyebabkan rupiah perkasa belakangan adalah karena 'doping' pinjaman dalam mata uang dolar AS, yang dilakukan selama dua bulan terakhir oleh Kementerian Keuangan dan BUMN-BUMN," sambung Gede.

Seperti diketahui, realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) hingga Mei 2020 oleh Kemenkeu sebesar Rp420,8 triliun. Ini termasuk Global Bond yang diterbitkan Kemenkeu pada April 2020 sebesar USD4,3 miliar. Pada Mei 2020, empat BUMN dikabarkan sudah dan sedang mempersiapkan penerbitan global bond dengan nilai mencapai USD5,6 miliar. Jadi total Global Bond yang diterbitkan oleh Kemenkeu dan BUMN mencapai USD10,9 miliar (Rp162 triliun kurs April 2020 Rp14.900 per USD).

"Penerbitan SBN dengan bunga tinggi ini, 1,5%-2% di atas Filipina dan Vietnam, sangat tidak wajar! Akan menjadi bom waktu di masa depan, karena beban bunga akan semakin besar sehingga membebani APBN di masa-masa mendatang," tutur Gede.



Selain itu, yang juga signifikan adalah support dari Bank Indonesia yang dilakukan untuk menahan nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, bank sentral telah membeli SBN yang dilepas asing di pasar sekunder sebesar Rp166,2 triliun pada April 2020. Ini adalah bagian dari total stimulus BI sebesar Rp503 triliun untuk menjaga kestabilan sistem keuangan di tengah resesi akibat pandemi corona.

"Tapi di balik semua itu, indikator eksternal ekonomi yang lebih fundamental dalam menyangga mata uang, yaitu neraca perdagangan, transaksi berjalan, dan neraca pembayaran, tetap mengalami defisit," tukas Gede.

Bulan April 2020, BPS mencatat ekspor Indonesia sebesar USD12,19 miliar. Nilai ini anjlok 13,3% dibandingkan Maret 2020, dan anjlok 7% bila dibandingkan April 2019. Sementara impor bulan April sebesar USD12,54 miliar. Nilai ini turun 6,1% bila dibandingkan bulan lalu. Secara total pada April 2020, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar USD350 juta.

Adapun indikator eksternal seperti transaksi berjalan pada kuartal I 2020 (Januari-Maret) tercatat masih defisit USD3,9 miliar. Sementara neraca pembayaran (balance of payment/BOP) pada periode yang sama juga mengalami defisit USD8,5 miliar (sangat buruk bila dibandingkan periode yang sama tahun 2019, ketika BOP meraih surplus USD2,4 miliar).

"Kesimpulannya penguatan tupiah saat ini hanya akan sementara. Karena penguatannya yang mengikuti tren pelemahan dolar AS dan ditunjang doping dari Kemenkeu, BUMN, dan BI hanyalah artifisial belaka. Saat pasar menyadari fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, yang kondisinya akan tetap begini hingga akhir 2020, maka situasi akan berbalik," pungkas Gede.
(bon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2138 seconds (0.1#10.140)