Kaleidoskop 2021: 5 BUMN dengan Utang Paling Besar

Jum'at, 31 Desember 2021 - 19:52 WIB
loading...
Kaleidoskop 2021: 5...
Tahun 2021 sebentar lagi akan usai, dimana sepanjang tahun ini ada beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kedapatan terlilit utang jumbo. Intip daftarnya yang terbagi dalam beberapa sektor industri. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Tahun 2021 sebentar lagi akan usai, dimana sepanjang tahun ini ada beberapa Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) yang kedapatan terlilit utang jumbo. Menilik dari awal tahun 2021, utang BUMN yang totalnya mencapai ribuan triliun menjadi sorotan. Dimana tercatat hingga September 2020, utang pelat merah saat itu di angka Rp1.682 triliun.

Pada awal tahun, perusahaan konstruksi pelat milik negara atau yang biasa disebut BUMN Karya menjadi perhatian. Pasalnya, BUMN Karya menjadi salah satu dari tiga perusahaan negara yang memiliki utang besar.



Saat membuka 2021, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) tercatat Per September 2020, total liabilitas atau utang yang harus dibayarkan WSKT sebesar Rp91,86 triliun, terdiri dari utang jangka pendek Rp38,79 triliun dan utang jangka panjang Rp53,07 triliun. Untuk mengurangi utang, manajemen WSKT berencana menjual sembilan ruas tol yang tersebar di Jabodetabek hingga Sumatera.

Lalu ada PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN III, dimana utang perseroan mencapai Rp45,3 triliun di awal tahun lalu. Disusul PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Sejak 2020, KAI memiliki utang sebesar Rp15,5 triliun.

Kemudian ada PT Garuda Indonesia (Persero) mencatat total utang perusahan per 1 Juli 2020 mencapai USD2,21 miliar atau setara Rp32 triliun (Rp14.450 per dolar AS). Kini mendekati detik-detik pergantian tahun, sejumlah BUMN masih mencatatkan utang dengan nilai triliunan rupiah. Perusahaan negara tersebut terbagi dalam beberapa sektor industri.

1. PT PLN (Persero)

Saat ini PLN tengah menanggung utang senilai Rp500 triliun. Perseroan pun dituntut melakukan efisiensi berupa refocusing anggaran. Menteri BUMN Erick Thohir mencatat, refocusing diperlukan untuk mendukung sejumlah program perusahaan, misalnya, transisi fosil menjadi EBT hingga program transmisi kelistrikan.

Erick menyebut, pinjaman tersebut merupakan utang lancar (current liabilities). Meski begitu, pemegang saham meminta manajemen untuk menekan capital expenditure (capex) atau belanja modal sebesar 24 persen.

"Saya rasa begini, saya rasa uutang lancar itu bukan utang jelek, karena itu saya pastikan ketika saya jadi menteri BUMN, saya duduk dengan direksi PLN bahwa Rp500 triliun ini kita pastikan ada tadi, yang namanya balance. Karena itu saya sudah meminta direksi untuk menekan capex PLN 24 persen itu adalah saving Rp 24 triliun," ujar Erick pada pertengahan tahun 2021.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2123 seconds (0.1#10.140)