Bahaya! Ternyata Ini Penyebab PLN Kritis Batu Bara
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT PLN (Persero) masih mengalami krisis pasokan batu bara kendati baru saja menerima pasokan sebesar 3,2 juta ton dari pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Perseroan sendiri tengah mengarahkan semua sumber daya untuk menjalin koordinasi dengan Kementerian ESDM, dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan krisis rantai pasok batubara. Langkah itu sekaligus mengamankan pasokan batubara hingga mencapai minimal 20 HOP.
Institute for Essential Services Reform (IESR) pun membeberkan faktor fundamental krisis batubara yang terjadi di PLN. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
"Ya faktor fundamentalnya adalah pelaku usaha tambang yang berkewajiban memasuk 25% produksi sebagai DMO itu gak memasok. Jadi, faktor fundamentalnya adalah terjadi pelanggaran dari pelaku usaha penambang batubara yang berkewajiban memasok 25 persen dari produksi sebagai DMO itu mereka tidak memasok," ujar Fabby saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (4/1/2022).
Menurutnya, tidak maksimalnya DMO yang dipasok perusahaan batubara menyebabkan pasokan batubara untuk pembangkit PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu.
Kendala pasokan batu bara sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO itu sendiri. Artinya, produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memilih mengekspor batubara lantara nilai keekonomian jauh lebih besar dibandingkan harga supply batubara kepada PLN yang dipandang kecil.
"Pertanyaannya, kenapa pemegang IUP atau PKP2B itu tidak memasok DMO? Nah, dasarnya mereka mementingkan ekspor yang harganya lebih tinggi daripada harga DMO yang lebih rendah," ungkap Fabby.
Tak hanya itu, faktor utama terjadinya krisis Jenis bahan bakar lokomotif uap itu juga didorong oleh realisasi DMO di internal BUMN di sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Fabby memandang, DMO lebih mudah didiskusikan daripada dilaksanakan.
Dalam hitungannya, produsen batubara tidak semuanya memproduksi batubara yang sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN. Sebagian besar pembangkit batubara PLN menggunakan kalori rendah atau di level 4.200. Sementara, ada sejumlah produsen yang tidak memproduksi kalori rendah atau memproduksi kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan pembangkit PLN.
"Lalu juga, kalau kita lihat pemegang IUP itu ada ribuan, izin usaha pertambangan. Kan tidak semua produksi batubaranya itu angkanya jutaan ton, ada yang hanya beberapa ribu ton dalam 1 bulan. Nah, kalau itu hanya 25% dan dialokasikan, itu kalau disuruh kirim sendiri yah mahal lho karena dia kecil volume produksinya," tuturnya.
Perkara itu, menyebabkan persoalan logistik di internal produsen. Menurut dia, kendala logistik membuat produsen batubara sulit merealisasikan DMO 25%. Meski begitu, pelaksanaan DMO yang memperhatikan loading facility atau pengumpulan bisa mendorong realisasi DMO.
"Di sisi PLN, memang PLN tidak menyediakan loading facility, sementara karakteristil setiap pembagkit juga berbeda-beda kan, nah ini secara detail harus diatur dan disiapkan oleh pemerintah atau PLN yang harus memikirkan itu juga," ungkap dia.
Perseroan sendiri tengah mengarahkan semua sumber daya untuk menjalin koordinasi dengan Kementerian ESDM, dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan krisis rantai pasok batubara. Langkah itu sekaligus mengamankan pasokan batubara hingga mencapai minimal 20 HOP.
Institute for Essential Services Reform (IESR) pun membeberkan faktor fundamental krisis batubara yang terjadi di PLN. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
"Ya faktor fundamentalnya adalah pelaku usaha tambang yang berkewajiban memasuk 25% produksi sebagai DMO itu gak memasok. Jadi, faktor fundamentalnya adalah terjadi pelanggaran dari pelaku usaha penambang batubara yang berkewajiban memasok 25 persen dari produksi sebagai DMO itu mereka tidak memasok," ujar Fabby saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (4/1/2022).
Menurutnya, tidak maksimalnya DMO yang dipasok perusahaan batubara menyebabkan pasokan batubara untuk pembangkit PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu.
Kendala pasokan batu bara sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO itu sendiri. Artinya, produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memilih mengekspor batubara lantara nilai keekonomian jauh lebih besar dibandingkan harga supply batubara kepada PLN yang dipandang kecil.
"Pertanyaannya, kenapa pemegang IUP atau PKP2B itu tidak memasok DMO? Nah, dasarnya mereka mementingkan ekspor yang harganya lebih tinggi daripada harga DMO yang lebih rendah," ungkap Fabby.
Tak hanya itu, faktor utama terjadinya krisis Jenis bahan bakar lokomotif uap itu juga didorong oleh realisasi DMO di internal BUMN di sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Fabby memandang, DMO lebih mudah didiskusikan daripada dilaksanakan.
Dalam hitungannya, produsen batubara tidak semuanya memproduksi batubara yang sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN. Sebagian besar pembangkit batubara PLN menggunakan kalori rendah atau di level 4.200. Sementara, ada sejumlah produsen yang tidak memproduksi kalori rendah atau memproduksi kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan pembangkit PLN.
"Lalu juga, kalau kita lihat pemegang IUP itu ada ribuan, izin usaha pertambangan. Kan tidak semua produksi batubaranya itu angkanya jutaan ton, ada yang hanya beberapa ribu ton dalam 1 bulan. Nah, kalau itu hanya 25% dan dialokasikan, itu kalau disuruh kirim sendiri yah mahal lho karena dia kecil volume produksinya," tuturnya.
Perkara itu, menyebabkan persoalan logistik di internal produsen. Menurut dia, kendala logistik membuat produsen batubara sulit merealisasikan DMO 25%. Meski begitu, pelaksanaan DMO yang memperhatikan loading facility atau pengumpulan bisa mendorong realisasi DMO.
"Di sisi PLN, memang PLN tidak menyediakan loading facility, sementara karakteristil setiap pembagkit juga berbeda-beda kan, nah ini secara detail harus diatur dan disiapkan oleh pemerintah atau PLN yang harus memikirkan itu juga," ungkap dia.
(nng)