Tambahan 3,2 Juta Ton Batu Bara bagi PLN Hanya Cukup untuk 20 Hari

Selasa, 04 Januari 2022 - 18:45 WIB
loading...
Tambahan 3,2 Juta Ton...
Tambahan pasokan batu bara sebesar 3,2 juta ton untuk pembangkit PLN dinilai belum ideal dan hanya cukup untuk 20 hari. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pasokan batu bara sebesar 3,2 juta ton yang diterima PT PLN (Persero) hanya mencukupi untuk 15-20 hari ke depan. Kendati belum ideal, pasokan tersebut dinilai masih dalam batas aman.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, idealnya PLN menerima pasokan batu bara sebesar 4-5 juta ton untuk cadangan selama 20 hari.



"Jadi PLN sudah dapat 3,2 juta ton, itu sebenarnya untuk batas aman PLN 15-20 hari. Paling tidak PLN butuh kira-kira 4-5 juta ton untuk cadangan untuk 20 hari. Tapi kalau sudah dapat 3,2 juta ton, harusnya kondisis sudah enggak kritis sih karena pasokan sudah memadai," ujar Fabby saat di hubungan MNC Portal Indonesia, Selasa (4/1/2022).

Pasokan batu bara yang diterima PLN berasal dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perseroan pun menegaskan bahwa pasokan tersebut diprioritaskan bagi pembangkit listrik dengan level Hari Operasi-nya (HOP) rendah.

Secara agregat, PLN membutuhkan 120 juta ton batu bara sepanjang 2022. Fabby, menghitung untuk mencapai target itu, setidaknya perseroan harus memenuhi 10 juta ton batu bara per bulan.

"Kalau kita lihat dari sisi produksi batubara, sebulan mencapai 40 juta ton, maka 25 persen (DMO) itu hanya disisihkan kira-kira 10 juta ton, ini sesuai dengan kebutuhan PLN bulanan," ungkapnya.



Meski sudah menerima 3,2 juta ton batu bara dari IUP dan IUPK, manajemen PLN mengakui masih terjadi krisis untuk bembangkit listrik saat ini. Fabby menilai, ketidakefektifan kewajiban pasokan sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.

Karena itu, Fabby menilai pemerintah perlu mengevaluasi pelaksanaan DMO selama sebulan atau tiga bulan sekali. Langkah itu untuk melihat komitmen produsen batubara terhadap kewajiban pasok sebesar 25 persen yang diatur dalam regulasi.

Produsen yang tidak memenuhi kewajiban DMO, lanjut dia, pada tiga bulan berikutnya tidak boleh melaksanakan ekspor batubara. Sebaliknya, perusahaan yang memenuhi kewajibannya, diizinkan melakukan ekspor.

Kendala pasok DMO didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan harga DMO. IUP dan PKP2B memilih mengekspor batu bara lantaran nilainya yang jauh lebih besar dibandingkan harga beli batu bara DMPO sebesar Rp70/ton.



Saat ini, sanksi kewajiban pasok diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan batubara. Dalam beleid tersebut, sanksi DMO kembali diperketat.

Sanksi yang dimaksud berupa larangan ekspor, kewajiban pembayaran atau denda, hingga dana kompensasi. Sanksi tersebut akan dikenakan, bila tidak memenuhi ketentuan DMO 25% bagi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan kepentingan sendiri, dan bahan baku atau bahan bakar industri.

Di lain sisi, Fabby menyarankan agar pemerintah merevisi regulasi DMO karena pangkal masalah krisis batu bara menurutnya terletak pada regulasi ini. Pasalnya, regulasi saat ini membuat disparitas harga antar DMO dan non DMO.

"Selain masalah teknis yang berkaitan dengan logistik, nilai kalor batu bara, dan produksi perusahaan itu kan ada faktor disparitas harga antar-DMO dan non-DMO yang tinggi sekali," kata Fabby.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2163 seconds (0.1#10.140)