Kisruh Batubara Momentum Perbaikan Tata Kelola Energi di Masa Transisi

Senin, 10 Januari 2022 - 07:56 WIB
loading...
A A A
Kembali ke persoalan pasokan listrik seperti disampaikan di awal tadi, kondisi ini bisa menggambarkan bahwa transisi energi kian dekat. Coba bayangkan, apabila sebelumnya di negeri ini sudah terbangun sistem pasokan energi bersih yang tidak mengandalkan batu bara atau minyak bumi, mungkin kita tidak terlalu khawatir akan kelangkaan batubara karena sudah ada sumber energi lain yang siap menyuplai.

Tapi, alih-alih mempercepat transisi energi, ketersediaan sumber daya alam termasuk batu bara semestinya tetap menjadi pertimbangan tersendiri. Dengan status sebagai eksportir terbesar batu bara ke pasar global, di mana setiap tahunnya mengekspor hampir 500 juta metrik ton, Indonesia tidak semestinya mengalami krisis energi.

Artinya, pertimbangan ketahanan energi semestinya menjadikan kita raksasa komoditas strategis tanpa mengesampaingkan kepentingan nasional. Lagi-lagi hal ini sangat berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. Apalagi dalam UUD 1945 pasal 33 disebutkan bahwa kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.

Maka, isu krisis pasokan batu bara ke pembangkit listrik dan pengguna lain di sejumlah industri seharusnya menjadi cermin bagaimana pengelolaan energi agar tetap berkelanjutan.

Sedikit berbeda dengan minyak bumi, kendati masa transisi energi memungkinkan bahan bakar fosil ini ditinggalkan secara perlahan, namun kenyataannya minyak bumi masih tetap dibutuhkan, bahkan untuk beberapa dekade ke depan. Hal ini terlihat berbagai kebijakan pemerintah yang masih memberikan karpet merah bagi pengembangan sektor minyak dan gas (migas).

Bahkan, di tengah isu transisi energi, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada 2030. Hal ini mengindikasikan bahwa paling tidak selama satu dekad ke depan, industri migas akan terus bergeliat seiring dengan bertambahnya konsumsi minyak untuk transportasi, industri maupun sektor lainnya. Target tersebut, kendati terlihat berat namun bukan mustahil dicapai.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pada akhir tahun lalu menegaskan bahwa pemerintah tidak akan meninggalkan industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di tengah upaya transisi energi dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang masif dilakukan.

Menurut dia, industri hulu migas yang berperan dalam mencari cadangan, menproduksi dan mengamankan pasokan migas tetap menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia. Kendati demikian, kata dia, di masa transisi energi ini Indonesia juga mendukung pendukung program karbon rendah dan berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada 2060 atau lebih cepat

“Kami juga terus berupaya meningkatkan pengembangan dan penggunaan energi terbarukan,” kata Arifin pada sebuah konferensi di Bali, Desember lalu.

Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengungkapkan, posisi energi Indonesia memang masih didominasi energi fosil. Saat ini EBT memang mulai berkontribusi seiring dengan dukungan terhadap pengurangan dampak perubahan iklim.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1975 seconds (0.1#10.140)