Masa Depan Globalisasi Pascapandemi
loading...
A
A
A
Oleh
Teguh Yudo Wicaksono
Head of Mandiri Institute.
Tahun 2020 tampaknya menjadi salah satu masa kelam bagi globalisasi. Sepanjang sejarah, globalisasi sudah menjadi narasi besar tentang kita dan segala bentuk pencapaian manusia. Ia digambarkan sebagai proses integrasi aktivitas ekonomi dan kultur lintas batas. Efek dari globalisasi tidak saja terasa dari perubahan kondisi kesejahteraan dan ekonomi, tetapi juga perubahan kultur dan sistem politik.
Melalui keterbukaan arus perdagangan dan gagasan paska perang dunia kedua, kita menjadi saksi kenaikan dramatis kesejahteraan dan perdamaian terpanjang dalam sejarah manusia modern. Pada 1980-1990-an, kebijakan perdagangan yang lebih terbuka menjadi kunci pertumbuhan tinggi Indonesia. China, dengan pertumbuhan dramatis sejak akhir 1990-an, juga menjadi contoh nyata dari manfaat globalisasi.
Namun dalam dua tahun belakangan ini semua seolah bergerak mundur. Ketika Covid-19 mulai merebak, hampir seluruh negara menutup pintu bagi mobilitas manusia. Ini mungkin salah satu orkestrasi kebijakan tertutup terbesar yang pernah ada. Selain itu, banyak negara justru mencari sekoci invidual ketika persoalan pandemik menjadi global. Misalnya saja, banyak negara menutup ekspor pasokan perlindungan pribadi seperti masker dan lainnya dengan alasan mengamankan permintaan domestik.
Memasuki 2021, sains memberikan harapan bahwa kita akan menang atas Covid-19. Namun di sisi lain, temuan vaksin malah membuka tabir ketimpangan antarnegara. Negara-negara produsen vaksin, sebagian besar negara maju, memilih untuk memupuk stok lebih vaksin di atas kebutuhannya. Sementara penduduk negara-negara berkembang dan miskin masih dalam antre panjang untuk mendapatkan vaksin dosis pertama.
Kita seolah lupa bahwa cerita di balik vaksin Covid-19, yang hadir dalam hitungan singkat relatif dengan vaksin sebelumnya, juga cerita sukses globalisasi. BioNTech—perusahaan yang berbasis di Jerman dan berada di balik vaksin BiNTech-Pfizer yang didirikan oleh ilmuan Jerman asal Turki, Dr Ugur Sahin dan Dr Ozlem Tureci. Keduanya merupakan teman baik Albert Bourla, Chief Executive Pfizer yang berasal dari Turki. Pfizer sendiri merupakan perusahaan farmasi besar AS. Tanpa mobilitas manusia dan gagasan lintas batas negara, sebagai bentuk globalisasi, sulit membayangkan vaksin Covid-19 akan ditemukan dalam waktu singkat.
Tetapi memang harus diakui bahwa globalisasi memberikan manfaat yang tidak merata. Ada pihak yang dirugikan akibat dari perdagangan yang lebih terbuka, dan telah lama kelompok ini merasa terpinggirkan dari arus globalisasi. Sebagian besar rasa ketidakpuasan atas globalisasi berasal dari negara-negara berkembang. Namun hal yang menarik, ketidakpuasan terhadap globalisasi kini juga disuarakan oleh kelas menengah negara-negara maju seperti AS, yang selama ini justru menikmati manfaat dari globalisasi.
Profesor Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel ekonomi dalam bukunya “Globalization and its Discontents Revisted: Anti-Globalization in the Era of Trump” (2017), menulis bahwa penentang globalisasi kini juga berasal dari kelas bawah dan menengah negara-negara maju, kelompok yang sempat diuntungkan dari globalisasi. Presiden Trump kemudian menggunakan rasa tidak puas ini dan mengaplikasikannya untuk komoditas politik. Bahkan kebijakan bertransformasi menjadi kebijakan luar negeri AS. Di bawah administrasi Presiden Trump, AS terlibat dalam perang dagang dengan China.
Dengan meluasanya ketidakpuasan atas globalisasi hingga ke negara-negara maju, muncul pertanyaan apakah memang tren globalisasi akan berakhir? Dan apakah memang pandemi telah mempercepat laju deglobalisasi?
Sepanjang sejarah, globalisasi tidak selalu linear dan tentunya mengalami pasang surut. Tren belakangan memang menunjukkan surutnya globalisasi. Contohnya, bila kita lihat dari rasio antara perdagangan internasional—ekspor dan impor—terhadap produk domestik bruto global, ada tren penurunan atas rasio ini. Rasio perdagangan internasional terhadap PDB global mencapai puncak tertinggi di tahun 2008, yang mencapai 60,9 persen di tahun 2008—tertinggi sepanjang masa sejak perang dunia kedua (World Bank 2020).
Teguh Yudo Wicaksono
Head of Mandiri Institute.
Tahun 2020 tampaknya menjadi salah satu masa kelam bagi globalisasi. Sepanjang sejarah, globalisasi sudah menjadi narasi besar tentang kita dan segala bentuk pencapaian manusia. Ia digambarkan sebagai proses integrasi aktivitas ekonomi dan kultur lintas batas. Efek dari globalisasi tidak saja terasa dari perubahan kondisi kesejahteraan dan ekonomi, tetapi juga perubahan kultur dan sistem politik.
Melalui keterbukaan arus perdagangan dan gagasan paska perang dunia kedua, kita menjadi saksi kenaikan dramatis kesejahteraan dan perdamaian terpanjang dalam sejarah manusia modern. Pada 1980-1990-an, kebijakan perdagangan yang lebih terbuka menjadi kunci pertumbuhan tinggi Indonesia. China, dengan pertumbuhan dramatis sejak akhir 1990-an, juga menjadi contoh nyata dari manfaat globalisasi.
Namun dalam dua tahun belakangan ini semua seolah bergerak mundur. Ketika Covid-19 mulai merebak, hampir seluruh negara menutup pintu bagi mobilitas manusia. Ini mungkin salah satu orkestrasi kebijakan tertutup terbesar yang pernah ada. Selain itu, banyak negara justru mencari sekoci invidual ketika persoalan pandemik menjadi global. Misalnya saja, banyak negara menutup ekspor pasokan perlindungan pribadi seperti masker dan lainnya dengan alasan mengamankan permintaan domestik.
Memasuki 2021, sains memberikan harapan bahwa kita akan menang atas Covid-19. Namun di sisi lain, temuan vaksin malah membuka tabir ketimpangan antarnegara. Negara-negara produsen vaksin, sebagian besar negara maju, memilih untuk memupuk stok lebih vaksin di atas kebutuhannya. Sementara penduduk negara-negara berkembang dan miskin masih dalam antre panjang untuk mendapatkan vaksin dosis pertama.
Kita seolah lupa bahwa cerita di balik vaksin Covid-19, yang hadir dalam hitungan singkat relatif dengan vaksin sebelumnya, juga cerita sukses globalisasi. BioNTech—perusahaan yang berbasis di Jerman dan berada di balik vaksin BiNTech-Pfizer yang didirikan oleh ilmuan Jerman asal Turki, Dr Ugur Sahin dan Dr Ozlem Tureci. Keduanya merupakan teman baik Albert Bourla, Chief Executive Pfizer yang berasal dari Turki. Pfizer sendiri merupakan perusahaan farmasi besar AS. Tanpa mobilitas manusia dan gagasan lintas batas negara, sebagai bentuk globalisasi, sulit membayangkan vaksin Covid-19 akan ditemukan dalam waktu singkat.
Tetapi memang harus diakui bahwa globalisasi memberikan manfaat yang tidak merata. Ada pihak yang dirugikan akibat dari perdagangan yang lebih terbuka, dan telah lama kelompok ini merasa terpinggirkan dari arus globalisasi. Sebagian besar rasa ketidakpuasan atas globalisasi berasal dari negara-negara berkembang. Namun hal yang menarik, ketidakpuasan terhadap globalisasi kini juga disuarakan oleh kelas menengah negara-negara maju seperti AS, yang selama ini justru menikmati manfaat dari globalisasi.
Profesor Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel ekonomi dalam bukunya “Globalization and its Discontents Revisted: Anti-Globalization in the Era of Trump” (2017), menulis bahwa penentang globalisasi kini juga berasal dari kelas bawah dan menengah negara-negara maju, kelompok yang sempat diuntungkan dari globalisasi. Presiden Trump kemudian menggunakan rasa tidak puas ini dan mengaplikasikannya untuk komoditas politik. Bahkan kebijakan bertransformasi menjadi kebijakan luar negeri AS. Di bawah administrasi Presiden Trump, AS terlibat dalam perang dagang dengan China.
Dengan meluasanya ketidakpuasan atas globalisasi hingga ke negara-negara maju, muncul pertanyaan apakah memang tren globalisasi akan berakhir? Dan apakah memang pandemi telah mempercepat laju deglobalisasi?
Sepanjang sejarah, globalisasi tidak selalu linear dan tentunya mengalami pasang surut. Tren belakangan memang menunjukkan surutnya globalisasi. Contohnya, bila kita lihat dari rasio antara perdagangan internasional—ekspor dan impor—terhadap produk domestik bruto global, ada tren penurunan atas rasio ini. Rasio perdagangan internasional terhadap PDB global mencapai puncak tertinggi di tahun 2008, yang mencapai 60,9 persen di tahun 2008—tertinggi sepanjang masa sejak perang dunia kedua (World Bank 2020).