Masa Depan Globalisasi Pascapandemi

Rabu, 12 Januari 2022 - 12:13 WIB
loading...
A A A
Namun sejak krisis keuangan global di tahun 2008-2009, rasio ini anjlok menjadi 52,4 persen di tahun 2009. Pandemi Covid-19 dan perang dagang AS-China sebelumnya, juga menekan rasio ini. Di tahun 2020, rasio perdagangan internasional terhadap PDB global turun menjadi 51,5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan periode krisis keuangan global.

Pandemik Covid-19 tampaknya memperburuk tren globalisasi. DHL Global Connected Index terbaru melaporkan bahwa pergerakan manusia di era pandemik, yang ditandai oleh perjalanan internasional per kapita, di tahun 2020 jatuh ke tingkat yang setara pada era 1970an. Satu-satunya indikator globalisasi yang masih kuat hanyalah indeks informasi, yang disebabkan karena kenaikan drastis penggunaan internet akibat Covid-19.

Namun di sisi lain ada indikasi arus balik dari tren deglobalisasi ini. Memasuki tahun 2021 kita melihat adanya kenaikan drastis aliran perdagangan global. Temuan menunjukkan bahwa jalur perdagangan tersibuk di dunia tetap menjadi jalur timur transpasifik antara Asia dan wilayah Amerika Utara. Bahkan ditengah disrupsi rantai suplai, Port of Los Angeles—salah satu pelabuhan tersibuk di AS—mencatat kenaikan drastis di bulan September 2021 (Greene 2021).

Persoalan Global Butuh Kerja Sama Global
Selain pandemi Covid-19, kita juga menghadapi persoalan global yang seharusnya menguatkan kerja sama global. Perubahan iklim, ancaman eksistensial yang nyata, sangat membutuhkan solusi dan kerja sama yang bersifat global.

Laporan terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah sangat jelas menunjukkan bahwa tanpa aksi serius untuk mengatasi perubahan iklim, suhu global dunia akan meningkat lebih dari 2°C di tahun 2100 dibandingkan dengan era sebelum revolusi industri. Bila ini terjadi maka manusia telah kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari bencana global.

Temun IPCC ini juga menjadi latar belakang pentingnya pertemuan tingkat tinggi Conference of Parties ke 26 (COP26) ke-26 di Glasgow, Inggris. Pertemuan KTT COP26 di Glasgow telah menyepakati empat tujuan besar yang mencakup antara lain Mitigasi, Adaptasi, Mobilisasi keuangan global, dan Kolaborasi antarnegara untuk mencapai target yang ambisius.

Bagi sejumlah pihak, komitmen negara-negara maju di COP26 ini untuk menurunkan emisi dan juga membantu negara-negara berkembang menurunkan emisi masih dinilai belum cukup. Professor Jeffrey Sachs dari Universitas Columbia dengan cukup keras menilai bahwa keputusan COP26 masih jauh dari hal yang diperlukan untuk menyelamatkan bumi dari petaka perubahan iklim (Jeffrey Sachs, Fixing the Climate Finance 2021).

Salah satu penyebabnya adalah soal mobilisasi sumber dana untuk penurunan emisi. Ini menjadi menjadi episentrum ketidaksepakatan banyak negara. Negara-negara berkembang melihat bahwa negara-negara maju, yang juga penyumbang emisi terbesar secara akumulatif, tidak menepati janji dalam memobilisasi dana sebesar US$ 100 miliar per tahun untuk menghadapi perubahan iklim pada tahun 2020 lalu.

Indonesia sendiri melalui Nationally Determined Contribution (NDC)—kontribusi pengurangan emisi—sekitar 29 persen dengan upaya nasional hingga 41 persen dari emisi yang dihasilkan pada skenario business as usual (BaU) pada 2030. Namun demikian, Indonesia membutuhkan setidaknya total pembiayaan sebesar Rp3.779 triliun dari 2020 hingga 2030, atau setara dengan Rp346 triliun per tahun (Kementerian Keuangan 2021).

Dari total pendanaan di atas, Indonesia sendiri menghadapi gap pembiayaan yang besar. Untuk itu kerja sama global yang lebih kuat untuk memobilisasi pembiayaan internasional sangat penting. Indonesia sendiri, sebagai perwakilan negara berkembang, harus menyuarakan kebutuhan ini di forum internasional.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0957 seconds (0.1#10.140)