Soal Harga DMO Batu Bara USD70, Drijen ESDM: PLN Itu Bisnis Subsidi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menetapkan harga jual batu bara domestic market obligation (DMO) untuk pembangkit listrik sebesar USD70 per ton. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, harga USD70 per ton merupakan keputusan sidang kabinet.
Saat ini memang pada beberapa usulan yang dinamis terkait harga batu bara untuk DMO. Munculnya usulan karena adanya disparitas antara harga jual batu bara DMO dengan harga batu bara di pasaran global.
Menurut Ridwan, ada pendapat dari DPR yang menyebutkan bahwa harga USD70 per ton bagi PLN merupakan harga yang pantas. DPR menilai rakyat Indonesia berhak mendapatkan harga yang lebih murah daripada batu bara dijual ke luar negeri.
Ada pula yang menyatakan penetapan harga USD70 per ton ini menimbulkan gangguan terhadap bisnis batu bara karena harga yang ditetapkan berbeda dengan harga pasar.
"Harus kita pahami juga bahwa bisnis PLN itu memang bisnis subsidi. Bisnis yang tidak sama dengan mekanisme pasar. Jadi tidak sepenuhnya tepat jika ini dianggap disrupsi untuk pasar," ujarnya dalam IDX Channel Special Dialogue, Kamis (27/1/2022).
Ridwan melanjutkan, ada juga usulan agar harga batu bara DMO dibeli PLN dengan harga pasar. Selisih harga USD70 per ton dengan harga pasar akan ditanggung bersama oleh pengusaha berupa iuran badan layanan umum pungutan batu bara. Hal itu menjadi sebuah pendapat yang saat ini sedang digodok.
"Saya bicara terbuka dengan PLN. Harga USD70 saja PLN bayarnya lama. Apalagi PLN membayar harga USD150 misalnya, akan lebih lama lagi. Apakah para pengusaha mau?" tuturnya.
Di sisi lain, untuk melakukan iuran pungutan batu bara harus ada dasar hukum. "Sepengetahuan kami untuk memungut iuran dari masyarakat itu harus berdasarkan undang-undang. Sekarang kita belum punya undang-undang untuk memungut iuran dari pengusaha batu bara. Itu juga sebuah aspek legal yang harus kita antisipasi," jelas Ridwan.
Menurut dia, harga DMO batu bara ini bukan masalah besar yang harus dicari solusinya. Sebab, pengusaha boleh memproduksi 100%, tetapi 25% dijual ke dalam negeri dengan harga tersebut.
"Ini soal kepatuhan saja. Jadi kalau mau mencari jalan sederhana pun tidak sederhana. Setiap bulan kami pantau. Kalau perusahaan sudah memenuhi kewajibannya, silakan ekspor. Kalau belum tunggu dulu," jelasnya.
Saat ini memang pada beberapa usulan yang dinamis terkait harga batu bara untuk DMO. Munculnya usulan karena adanya disparitas antara harga jual batu bara DMO dengan harga batu bara di pasaran global.
Menurut Ridwan, ada pendapat dari DPR yang menyebutkan bahwa harga USD70 per ton bagi PLN merupakan harga yang pantas. DPR menilai rakyat Indonesia berhak mendapatkan harga yang lebih murah daripada batu bara dijual ke luar negeri.
Ada pula yang menyatakan penetapan harga USD70 per ton ini menimbulkan gangguan terhadap bisnis batu bara karena harga yang ditetapkan berbeda dengan harga pasar.
"Harus kita pahami juga bahwa bisnis PLN itu memang bisnis subsidi. Bisnis yang tidak sama dengan mekanisme pasar. Jadi tidak sepenuhnya tepat jika ini dianggap disrupsi untuk pasar," ujarnya dalam IDX Channel Special Dialogue, Kamis (27/1/2022).
Ridwan melanjutkan, ada juga usulan agar harga batu bara DMO dibeli PLN dengan harga pasar. Selisih harga USD70 per ton dengan harga pasar akan ditanggung bersama oleh pengusaha berupa iuran badan layanan umum pungutan batu bara. Hal itu menjadi sebuah pendapat yang saat ini sedang digodok.
"Saya bicara terbuka dengan PLN. Harga USD70 saja PLN bayarnya lama. Apalagi PLN membayar harga USD150 misalnya, akan lebih lama lagi. Apakah para pengusaha mau?" tuturnya.
Di sisi lain, untuk melakukan iuran pungutan batu bara harus ada dasar hukum. "Sepengetahuan kami untuk memungut iuran dari masyarakat itu harus berdasarkan undang-undang. Sekarang kita belum punya undang-undang untuk memungut iuran dari pengusaha batu bara. Itu juga sebuah aspek legal yang harus kita antisipasi," jelas Ridwan.
Menurut dia, harga DMO batu bara ini bukan masalah besar yang harus dicari solusinya. Sebab, pengusaha boleh memproduksi 100%, tetapi 25% dijual ke dalam negeri dengan harga tersebut.
"Ini soal kepatuhan saja. Jadi kalau mau mencari jalan sederhana pun tidak sederhana. Setiap bulan kami pantau. Kalau perusahaan sudah memenuhi kewajibannya, silakan ekspor. Kalau belum tunggu dulu," jelasnya.
(uka)