Rusia Akui Kemerdekaan Ukraina Timur, Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi USD98/Barel
loading...
A
A
A
KIEV - Harga minyak mentah dunia merangkak naik di tengah kekhawatiran bahwa konflik Ukraina-Rusia akan mengganggu rantai pasokan di seluruh dunia. Minyak mentah berjangka Brent yang menjadi patokan internasional, mencapai level tertinggi dalam 7 tahun di level USD98 per barel pada Selasa (21/2/2022) setelah Rusia mengakui wilayah pemberontak yang memisahkan diri di Ukraina Timur sebagai negara merdeka.
Inggris dan beberapa sekutu negara barat telah mengancam sanksi terhadap negara tersebut. Seperti diketahui Rusia merupakan pengekspor minyak mentah terbesar kedua setelah Arab Saudi. Mereja juga merupakan produsen gas alam terbesar di dunia.
"Ketegangan perbatasan mungkin memiliki implikasi substansial," kata Sue Trinh dari Manulife Investment Management.
Sanksi barat bakal memaksa Rusia untuk memasok lebih sedikit minyak mentah atau gas alam yang mereka miliki. "Dampak krusial pada ekonomi global," tambahnya.
Kekuatan Barat khawatir pengakuan Putin atas daerah yang dikuasai pemberontak membuka jalan bagi pasukan Rusia untuk secara resmi memasuki Ukraina Timur. Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk yang dideklarasikan sendiri adalah rumah bagi pemberontak yang didukung Rusia yang telah memerangi pasukan Ukraina sejak 2014.
Langkah Rusia secara efektif mengakhiri pembicaraan damai di kawasan itu, yang telah berada di bawah gencatan senjata selama bertahun-tahun.
'Lautan Merah'
Investor ekuitas juga gelisah tentang perkembangan ekonomi global yang masih belum pulih dari dampak pandemi virus corona. Indeks Nikkei 225 Jepang tergelincir lebih dari 2%. Shanghai Composite turun 1,4% pada sesi siang.
Kontrak berjangka untuk S&P 500 mundur 1,6%. Indeks Dow Jones turun 1,4%, sementara Nasdaq 100 berjangka menyerah 2,2%. "Kemungkinan perang ada di depan pikiran investor," kata Song Seng Wun, Ekonom di CIMB Private Banking.
Song mengatakan pasar menjadi 'lautan merah'. "Ada kekhawatiran bahwa biaya pengiriman yang sudah berada di level tinggi, akan naik lebih tinggi karena gangguan permintaan-pasokan," katanya kepada BBC.
Vishnu Varathan, Kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank, mengatakan tidak jelas apakah langkah Rusia akan memicu konflik besar-besaran. "Untuk saat ini, sanksi tampaknya menjadi port of call pertama," katanya.
Sementara itu hingga pukul 12:53 WIB, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS melonjak 3,46% menjadi USD93,33 per barel.
Analis Commonwealth Bank, Vivek Dhar mengatakan, bahwa pemerintah AS dan Eropa mustahil akan menjatuhkan sanksi komoditas minyak atau gas terhadap Rusia apabila menginvasi Ukraina. "Karena hal itu akan merugikan diri mereka sendiri," kata Vivek, dilansir Reuters.
Menurut Vivek, Rusia dapat menahan pasokan minyak dan gas jika ingin membalas sanksi yang dikenakan oleh Barat. Sebelumnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina menjadi kekhawatiran pasar minyak mentah lantaran dinilai bisa mendongkrak harganya hingga menembus USD100 per barel.
Analis lain mempertanyakan, apakah ekspor energi Rusia benar-benar akan terganggu jika Moskow melanjutkan invasi berskala penuh ke Ukraina dan pemerintah barat memberlakukan sanksi terhadap lembaga keuangan Rusia.
Inggris dan beberapa sekutu negara barat telah mengancam sanksi terhadap negara tersebut. Seperti diketahui Rusia merupakan pengekspor minyak mentah terbesar kedua setelah Arab Saudi. Mereja juga merupakan produsen gas alam terbesar di dunia.
"Ketegangan perbatasan mungkin memiliki implikasi substansial," kata Sue Trinh dari Manulife Investment Management.
Sanksi barat bakal memaksa Rusia untuk memasok lebih sedikit minyak mentah atau gas alam yang mereka miliki. "Dampak krusial pada ekonomi global," tambahnya.
Kekuatan Barat khawatir pengakuan Putin atas daerah yang dikuasai pemberontak membuka jalan bagi pasukan Rusia untuk secara resmi memasuki Ukraina Timur. Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk yang dideklarasikan sendiri adalah rumah bagi pemberontak yang didukung Rusia yang telah memerangi pasukan Ukraina sejak 2014.
Langkah Rusia secara efektif mengakhiri pembicaraan damai di kawasan itu, yang telah berada di bawah gencatan senjata selama bertahun-tahun.
'Lautan Merah'
Investor ekuitas juga gelisah tentang perkembangan ekonomi global yang masih belum pulih dari dampak pandemi virus corona. Indeks Nikkei 225 Jepang tergelincir lebih dari 2%. Shanghai Composite turun 1,4% pada sesi siang.
Kontrak berjangka untuk S&P 500 mundur 1,6%. Indeks Dow Jones turun 1,4%, sementara Nasdaq 100 berjangka menyerah 2,2%. "Kemungkinan perang ada di depan pikiran investor," kata Song Seng Wun, Ekonom di CIMB Private Banking.
Song mengatakan pasar menjadi 'lautan merah'. "Ada kekhawatiran bahwa biaya pengiriman yang sudah berada di level tinggi, akan naik lebih tinggi karena gangguan permintaan-pasokan," katanya kepada BBC.
Vishnu Varathan, Kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank, mengatakan tidak jelas apakah langkah Rusia akan memicu konflik besar-besaran. "Untuk saat ini, sanksi tampaknya menjadi port of call pertama," katanya.
Sementara itu hingga pukul 12:53 WIB, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS melonjak 3,46% menjadi USD93,33 per barel.
Analis Commonwealth Bank, Vivek Dhar mengatakan, bahwa pemerintah AS dan Eropa mustahil akan menjatuhkan sanksi komoditas minyak atau gas terhadap Rusia apabila menginvasi Ukraina. "Karena hal itu akan merugikan diri mereka sendiri," kata Vivek, dilansir Reuters.
Menurut Vivek, Rusia dapat menahan pasokan minyak dan gas jika ingin membalas sanksi yang dikenakan oleh Barat. Sebelumnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina menjadi kekhawatiran pasar minyak mentah lantaran dinilai bisa mendongkrak harganya hingga menembus USD100 per barel.
Analis lain mempertanyakan, apakah ekspor energi Rusia benar-benar akan terganggu jika Moskow melanjutkan invasi berskala penuh ke Ukraina dan pemerintah barat memberlakukan sanksi terhadap lembaga keuangan Rusia.
(akr)