Seberapa Ampuh Sanksi-sanksi Ekonomi Buat Rusia? Ini Pendapat Ekonom
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sanksi ekonomi dari negara-negara blok barat seperti Amerika Serikat, Uni Eropa hingga Inggris telah dijatuhkan kepada Rusia atas serangan militernya kepada Ukraina. Dengan harapan tekanan dari sektor ekonomi mampu menahan agresi militer Rusia terhadap Ukraina, namun seberapa ampuhkah sanksi ekonomi tersebut?
"Rusia sudah terbiasa menerima sanksi dari (negara-negara) barat. Bagi Rusia, sanksi tidak menyurutkan keuntungan dari booming harga komoditas khususnya gas bumi," ujar ekonom CELIOS, Bhima Yudistira kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (26/2/2022).
Menurut Bhima, China sebagai negara sekutu Rusia juga siap menampung kelebihan pasokan gas bumi dan komoditas yang tidak bisa diekspor Rusia ke negara lain. Rusia dinilai sudah mempersiapkan konsekuensi invasi ke Ukraina dari segala bentuk sanksi.
"Termasuk skema pembayaran komoditas menggunakan kripto yang tidak dapat dilacak oleh otoritas negara barat," tuturnya.
Sanksi ini diketahui menyasar pengusaha Rusia, perbankan, konglomerat dan sekutu dekat Presiden Rusia, Vladimir Putin hingga pejabat pemerintahan di Rusia itu sendiri. Juru bicara Kremlin, kantor kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov menegaskan, Rusia akan membalas sanksi-sanksi ekonomi tersebut.
Hal ini membuat konflik Ukraina dan Rusia di kawasan tersebut semakin mendidih. Sementara, pertumbuhan ekonomi Rusia sendiri diproyeksi rendah oleh IMF dan Bank Dunia, mencapai tidak lebih dari 2,8% tahun ini.
Sebelumnya disebutkan pada Januari tahun ini, cadangan internasional pemerintah China dalam valuta asing dan emas, berada pada rekor tertinggi yakni senilai lebih dari USD630 miliar yang setara dengan Rp9.037 triliun (Kurs Rp14.345 per USD).
Jumlah cadangan tersebut menjadi tertinggi keempat di dunia dan itu dapat digunakan untuk membantu menopang mata uang Rusia, rubel untuk beberapa waktu yang cukup lama. Terutama ketika hanya sekitar 16% dari devisa Rusia saat ini yang benar-benar disimpan dalam bentuk dolar, turun dari 40% lima tahun lalu. Sekitar 13% sekarang disimpan dalam bentuk renminbi China.
"Rusia sudah terbiasa menerima sanksi dari (negara-negara) barat. Bagi Rusia, sanksi tidak menyurutkan keuntungan dari booming harga komoditas khususnya gas bumi," ujar ekonom CELIOS, Bhima Yudistira kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (26/2/2022).
Menurut Bhima, China sebagai negara sekutu Rusia juga siap menampung kelebihan pasokan gas bumi dan komoditas yang tidak bisa diekspor Rusia ke negara lain. Rusia dinilai sudah mempersiapkan konsekuensi invasi ke Ukraina dari segala bentuk sanksi.
"Termasuk skema pembayaran komoditas menggunakan kripto yang tidak dapat dilacak oleh otoritas negara barat," tuturnya.
Sanksi ini diketahui menyasar pengusaha Rusia, perbankan, konglomerat dan sekutu dekat Presiden Rusia, Vladimir Putin hingga pejabat pemerintahan di Rusia itu sendiri. Juru bicara Kremlin, kantor kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov menegaskan, Rusia akan membalas sanksi-sanksi ekonomi tersebut.
Hal ini membuat konflik Ukraina dan Rusia di kawasan tersebut semakin mendidih. Sementara, pertumbuhan ekonomi Rusia sendiri diproyeksi rendah oleh IMF dan Bank Dunia, mencapai tidak lebih dari 2,8% tahun ini.
Sebelumnya disebutkan pada Januari tahun ini, cadangan internasional pemerintah China dalam valuta asing dan emas, berada pada rekor tertinggi yakni senilai lebih dari USD630 miliar yang setara dengan Rp9.037 triliun (Kurs Rp14.345 per USD).
Jumlah cadangan tersebut menjadi tertinggi keempat di dunia dan itu dapat digunakan untuk membantu menopang mata uang Rusia, rubel untuk beberapa waktu yang cukup lama. Terutama ketika hanya sekitar 16% dari devisa Rusia saat ini yang benar-benar disimpan dalam bentuk dolar, turun dari 40% lima tahun lalu. Sekitar 13% sekarang disimpan dalam bentuk renminbi China.
(akr)