Dipicu Perang Rusia-Ukraina, Harga Minyak Tembus USD110 per Barel Tertinggi Sejak 2014
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak melesat ke level tertinggi sejak 2014 selama perdagangan Selasa (1/3) malam di mana harga minyak Brent menyentuh USD110 per barel seiring berlanjutnya kekhawatiran mengenai pasokan akibat dampak perang Rusia-Ukraina.
Sementara, minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patokan AS, melonjak lebih dari 5% dan diperdagangkan pada level USD109,23 per barel, level tertinggi setidaknya sejak September 2013. Selama perdagangan reguler, kontrak naik 8,03% hingga menetap di USD103,41 per barel.
"Tidak ada jeda. Ini adalah momen dramatis bagi pasar dan dunia serta pasokan," kata John Kilduff, mitra di Again Capital. "Jelas dunia harus melawan Rusia dengan menutup ekspor minyaknya," tambahnya seperti dikutip dari CNBC, Rabu (2/3/2022).
Baik WTI dan Brent melonjak di atas USD100 Kamis lalu untuk pertama kalinya sejak 2014 setelah Rusia menginvasi Ukraina. Aksi militer Rusia tersebut memicu kekhawatiran pasokan di pasar yang sudah sangat ketat.
"Harga minyak mentah tidak dapat berhenti naik lebih tinggi karena pasar minyak yang sangat ketat kemungkinan akan melihat risiko lebih lanjut terhadap pasokan saat perang di Ukraina berlangsung," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda. "Minyak mentah Brent bisa melonjak ke level USD120 jika pasar minyak mulai berpikir kemungkinan sanksi akan ditempatkan pada energi Rusia."
Selasa lalu, negara-negara anggota Badan Energi Internasional mengumumkan rencana untuk melepaskan 60 juta barel cadangan minyak dalam upaya untuk mengurangi kenaikan harga minyak. Sebagai bagian dari itu, AS akan melepaskan 30 juta barel.
Tetapi pengumuman itu tidak banyak menenangkan pasar. "Kami tidak melihat ini sebagai bantuan yang cukup," tulis Goldman Sachs dalam sebuah catatan kepada klien setelah pengumuman tersebut. "Hancurnya permintaan akibat harga yang tinggi kemungkinan adalah satu-satunya mekanisme penyeimbangan harga kembali, dengan elastisitas pasokan tidak lagi relevan dalam menghadapi potensi guncangan pasokan yang besar dan segera".
Baik WTI dan Brent sekarang naik lebih dari 40% tahun ini karena permintaan rebound sementara pasokan tetap terbatas. Produsen global telah menjaga produksi, dan OPEC beserta sekutunya perlahan-lahan mengembalikan produksi ke pasar setelah sebelumnya menerapkan pengurangan pasokan, hampir 10 juta barel per hari pada April 2020. Baru-baru ini, OPEC beserta sekutunya telah meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari setiap bulannya.
"Kami pikir kelompok produsen kemungkinan akan tetap mengikuti jadwal pelonggaran saat ini dan menghindari krisis keamanan yang semakin dalam yang melibatkan ketua bersama kelompok Rusia," tulis RBC dalam sebuah catatan kepada klien.
Perusahaan mencatat bahwa "kemungkinan ada perubahan strategi dalam beberapa minggu mendatang" jika ada gangguan pasokan fisik yang sebenarnya.
Rusia adalah produsen dan pengekspor minyak dan gas utama — terutama ke Eropa. Sejauh ini kompleks energi negara itu belum menjadi sasaran sanksi secara langsung. Namun, ada efek riak dari sanksi keuangan yang dikenakan terhadap Rusia yang membuat beberapa pembeli asing enggan membeli produk energi dari Rusia.
Sementara, minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patokan AS, melonjak lebih dari 5% dan diperdagangkan pada level USD109,23 per barel, level tertinggi setidaknya sejak September 2013. Selama perdagangan reguler, kontrak naik 8,03% hingga menetap di USD103,41 per barel.
"Tidak ada jeda. Ini adalah momen dramatis bagi pasar dan dunia serta pasokan," kata John Kilduff, mitra di Again Capital. "Jelas dunia harus melawan Rusia dengan menutup ekspor minyaknya," tambahnya seperti dikutip dari CNBC, Rabu (2/3/2022).
Baik WTI dan Brent melonjak di atas USD100 Kamis lalu untuk pertama kalinya sejak 2014 setelah Rusia menginvasi Ukraina. Aksi militer Rusia tersebut memicu kekhawatiran pasokan di pasar yang sudah sangat ketat.
"Harga minyak mentah tidak dapat berhenti naik lebih tinggi karena pasar minyak yang sangat ketat kemungkinan akan melihat risiko lebih lanjut terhadap pasokan saat perang di Ukraina berlangsung," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda. "Minyak mentah Brent bisa melonjak ke level USD120 jika pasar minyak mulai berpikir kemungkinan sanksi akan ditempatkan pada energi Rusia."
Selasa lalu, negara-negara anggota Badan Energi Internasional mengumumkan rencana untuk melepaskan 60 juta barel cadangan minyak dalam upaya untuk mengurangi kenaikan harga minyak. Sebagai bagian dari itu, AS akan melepaskan 30 juta barel.
Tetapi pengumuman itu tidak banyak menenangkan pasar. "Kami tidak melihat ini sebagai bantuan yang cukup," tulis Goldman Sachs dalam sebuah catatan kepada klien setelah pengumuman tersebut. "Hancurnya permintaan akibat harga yang tinggi kemungkinan adalah satu-satunya mekanisme penyeimbangan harga kembali, dengan elastisitas pasokan tidak lagi relevan dalam menghadapi potensi guncangan pasokan yang besar dan segera".
Baik WTI dan Brent sekarang naik lebih dari 40% tahun ini karena permintaan rebound sementara pasokan tetap terbatas. Produsen global telah menjaga produksi, dan OPEC beserta sekutunya perlahan-lahan mengembalikan produksi ke pasar setelah sebelumnya menerapkan pengurangan pasokan, hampir 10 juta barel per hari pada April 2020. Baru-baru ini, OPEC beserta sekutunya telah meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari setiap bulannya.
"Kami pikir kelompok produsen kemungkinan akan tetap mengikuti jadwal pelonggaran saat ini dan menghindari krisis keamanan yang semakin dalam yang melibatkan ketua bersama kelompok Rusia," tulis RBC dalam sebuah catatan kepada klien.
Perusahaan mencatat bahwa "kemungkinan ada perubahan strategi dalam beberapa minggu mendatang" jika ada gangguan pasokan fisik yang sebenarnya.
Rusia adalah produsen dan pengekspor minyak dan gas utama — terutama ke Eropa. Sejauh ini kompleks energi negara itu belum menjadi sasaran sanksi secara langsung. Namun, ada efek riak dari sanksi keuangan yang dikenakan terhadap Rusia yang membuat beberapa pembeli asing enggan membeli produk energi dari Rusia.
(fai)