Abrakadbra! Minyak Goreng Mendadak Berlimpah: Air Susu Dibalas Air Tuba?

Kamis, 17 Maret 2022 - 20:09 WIB
loading...
Abrakadbra! Minyak Goreng Mendadak Berlimpah: Air Susu Dibalas Air Tuba?
Minyak goreng kini mudah ditemukan setelah HET dicabut. Foto/FaisalRahman/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Abrakadbra! Sehari setelah pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng , bahan pangan itu mulai mudah didapatkan. Di sejumlah ritel modern tampak kembali deretan minyak goreng, tentu saja dengan harga jauh di atas HET, bahkan ada yang mendekati Rp25 ribu per liter.



HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah adalah Rp11.500 untuk minyak goreng curah, Rp13.500 untuk kemasan sederhana, dan Rp14.000 untuk kemasan premium. Itu harga per liternya.

Sebelum HET dicabut, bahkan selang sehari sekalipun, masyarakat masih kesulitan mendapatkan minyak goreng yang harganya sesuai patokan pemerintah, alias langka. Masyarakat pun terpaksa mengantre berjubel-jubel setiap kali ada operasi pasar minyak goreng, dengan taruhan nyawa sebab ada yang meninggal usai mengantre minyak goreng, seperti di Samarinda, Kalimantan Timur.

Munculnya kembali minyak goreng setelah HET dicabut, menandakan bahwa pemerintah telah kalah oleh ulah para penimbun minyak goreng. Negara dengan begitu lengkap aparatnya bisa dengan mudah dikadali para penimbun, entah pengusaha minyak goreng dan sawit, distributor, ataupun pedagang eceran. Bisa jadi juga pihak lain yang tak termasuk itu semua.

"Negara terbukti kalah, yang menang adalah konglomerat sawit. Gelontoran subsidi minyak goreng selama ini juga percuma. Hanya empat perusahaan besar yang kuasai lebih dari 40% pasar, dan pemerintah menyerah menghadapi empat perusahaan tadi. Padahal HGU sawit kan lahan pemerintah juga, tapi pemerintah tidak berdaya, sangat disayangkan," kata Bhima Yudhistira, Direktur Celios, Kamis (17/3/2022).

Bukti kekalahan oleh penimbun begitu telak terpampang. Menurut Bhima, alur distrubisi setidaknya ada tiga hingga tujuh titik. Untuk mencapai titik-titik distribusi itu jelas membutuhkan waktu, tidak mungkin dalam hitungan sehari semata, apalagi beberapa jam belaka.

"Kelangkaan menunjukkan selama ini pasokan ditahan (ditimbun) distributor. Karena tak mungkin satu hari pasca-pengumuma HET dicabut, barang sudah sampai di toko," tegas Bhima.

Menurut Bhima, sebelum pemerintah mengibarkan bendera putih dengan mencabut HET, seharusnya mengecek dulu jalur distribusi minyak goreng. Kalau KPK saja bisa "mendeteksi" aliran uang suap, kenapa negara, yang notabene KPK masuk di dalamnya, tak mampu menemukan sumpalan-sumpalan distribusi minyak goreng.



Makanya banyak yang bertanya-tanya, ketika sejumlah pihak bisa mendapatkan minyak goreng dalam jumlah besar untuk melakukan operasi pasar, masyarakat justru keleleran hanya untuk mendapatkan satu atau dua liter?

Sumpalan distribusi itulah yang membuat langka minyak goreng, sebab kebijakan kewajiban pemenuhan dalam negeri (DMO) sebesar 20%, sebelum dinaikan menjadi 30%, sejatinya membuat pasokan minyak goreng masih memadai.

Pandangan itu diamini oleh Juru Bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi. Menurut Tofan, pihaknya memastikan pasokan minyak sawit mentah/CPO untuk kebutuhan domestik termasuk sebagai bahan baku minyak goreng dalam jumlah yang cukup.

"Kami pastikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan domestik sebagai bahan baku pangan termasuk minyak goreng di dalamnya sudah lebih dari cukup," jelas Tofan.

Yang bikin keki adalah sikap para pengusaha minyak sawit sendiri yang tak terdengar berteriak-teriak meminta pemerintah mengatasi kelangkaan minyak goreng, atau membantu menelusuri jejak penimbunan. Pasalnya, seperti yang diungkap Komisi Persaingan Usaha (KKPU), perusahaan sawit terbesar juga merupakan perusahaan minyak goreng.

Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengungkap konsentrasi pasar minyak goreng hanya sebesar 46,5% dan dimotori oleh empat produsen besar. Menurut Ukay, pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga produsen minyak goreng.

Tak habis pikir lagi, perusahaan minyak goreng membeli CPO berdasarkan harga global. Jika perusahaan sawit menjual CPO ke perusahaan minyak goreng yang juga miliknya kenapa harus menggunakan patokan harga global.
"Acuan ini sebenarnya kurang relevan karena sisi hulu ingin dapat keuntungan maksimal," kata Bhima.

Di saat perusahaan sawit menenggak untung sampai berceceran, kenaikan harga CPO yang membuat kenaikan harga minyak goreng harus ditanggung oleh pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus menyubsidi minyak goreng dan rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membelinya.

Masih ingat ketika Uni Eropa melancarkan kampanye anti-CPO Indonesia, yang kemudian disebut sebagai kampanye hitam? Saat itu pengusaha sawit terus menyeru agar pemerintah melakukan lobi-lobi untuk menghadapi kampanye hitam itu.

Maret 2018 Presiden pun mengutus Menko Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengatasi kampanye hitam yang dianggap merugikan Indonesia, dan terutama pengusaha sawit. Luhut pun sampai menyaba Paus Fransiskus di Vatikan untuk meminta bantuan menghentikan kampanye itu.

Nah kini, setelah CPO mulai berkurang usikannya, ketika harga CPO melambung, dan pengusaha sawit menikmati cuan berlimpah, tapi apa balasan mereka? Tepatkah kalau kita gunakan peribahasa, air susu dibalas air tuba?



"Kalau melihat itu dan sekarang, perih," tandas Bhima.

Tanpa bantuan pihak lain, Mendag Muhammad Lutfi sampai-sampai menyatakan bahwa kementeriannya seperti bekerja sendirian menghadapi mafia minyak goreng. Mendag pun mengaku tak mampu menghadapi mafia minyak goreng dan babak belurlah dia dihajar Komisi VI.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1322 seconds (0.1#10.140)