Jurus Rubel untuk Gas Rusia Bikin Sekutu AS di Eropa dan Asia Kelabakan

Jum'at, 25 Maret 2022 - 09:04 WIB
loading...
Jurus Rubel untuk Gas Rusia Bikin Sekutu AS di Eropa dan Asia Kelabakan
Negara-negara yang dinilai tak bersahabat oleh Rusia mulai merasakan dampak kebijakan membayar menggunakan rubel dari Kremlin. Foto/Ilustrasi/Reuters
A A A
JAKARTA - Perusahaan utilitas Jerman pada Kamis (24/3) menyatakan bahwa negara mereka membutuhkan sistem peringatan dini untuk mengatasi kekurangan gas, sehari setelah Rusia memerintahkan pengalihan pembayaran kontrak ke rubel, meningkatkan risiko tekanan pasokan dan harga yang lebih tinggi.

Tuntutan pembayaran dalam rubel yang dicetuskan Presiden Vladimir Putin dinilai sebagai "ancaman keamanan" oleh Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol. Kebijakan Rusia itu juga disebut menambah kegugupan pasar.



Putin mengumumkan permintaan ini pada hari Rabu (22/3), setelah Amerika Serikat (AS) dan sekutu Eropa-nya bekerja sama dalam serangkaian sanksi yang ditujukan ke Rusia setelah invasi negara itu ke Ukraina bulan lalu.

Sementara itu, sektor energi Eropa sudah melihat bahwa kekhawatiran akan pasokan membuat harga patokan untuk pengiriman gas Jerman tahun depan naik 8% sejak pernyataan Putin. Harga patokan gas Jerman telah naik empat kali lipat selama 12 bulan terakhir.

Selama lebih dari 50 tahun, bahkan selama Perang Dingin, Moskow telah memastikan pasokan ke Jerman, konsumen terbesar gas Rusia. Eksportir gas utama Rusia, Gazprom memiliki lebih dari 40 perjanjian jangka panjang dengan rekanan Eropa-nya.

Tetapi Kamis lalu, asosiasi utilitas Jerman BDEW, yang terdiri dari RWE dan EnBW VNG sebagai anggota, yang semuanya adalah pelanggan Gazprom, mendesak pemerintah untuk merancang sistem peringatan dini jika Rusia menghentikan pasokan.

"Ada indikasi nyata dan serius bahwa situasi pasokan gas akan memburuk," kata Presiden BDEW Kerstin Andreae, mengutip permintaan Rusia untuk negara-negara "tidak bersahabat", termasuk Jerman, untuk membayar gas dalam rubel, seperti dilansir Reuters, Jumat (25/3/2022).

BDEW menyatakan, regulator energi nasional Bundesnetzagentur perlu menetapkan kriteria industri dan sektor mana yang akan terus menerima pasokan, sementara pelanggan rumah tangga harus dilindungi oleh peraturan yang ada.

Namun, Menteri ekonomi Jerman Robert Habeck berkilah tidak perlu ada mekanisme peringatan dini dan pasokan gas akan dijamin. Akan tetapi dia menambahkan bahwa situasi ini perlu dipantau secara ketat.

Permintaan Rusia, yang masih perlu didukung oleh mekanisme konkret, menghadirkan dilema bagi pelanggan Eropa: menolak membayar dalam rubel dan berisiko tidak mendapatkan gas, atau mematuhi dan mengambil risiko dikenai harga yang lebih tinggi karena kontrak akan dinegosiasi ulang di mana kesepakatan jangka panjang yang lebih menguntungkan mereka kemungkinan akan disisihkan oleh Rusia.

"Rusia (belum) mematikan keran gas. Tapi itu bisa secara signifikan meningkatkan harga yang haris kami bayar untuk itu," kata analis di Commerzbank.

Terpisah, seorang pejabat Gedung Putih mengatakan Washington sedang berkonsultasi dengan sekutunya terkait kebijakan tubel untuk gas yang diambil Rusia. Belum jelas apakah AS akan mengizinkan negara-negara Eropa yang tidak dapat hidup tanpa gas Rusia, dibolehkan untuk memproses pembayaran gasnya dalam rubel tanpa melanggar sanksi.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen setuju, dan mengatakan langkah itu merupakan upaya untuk menghindari sanksi Uni Eropa terhadap Rusia. "Kami tidak akan membiarkan sanksi kami dielakkan. Waktu di mana energi dapat digunakan untuk memeras kami sudah berakhir," katanya.

Gelombang kebingungan juga melanda Jepang sebagai importir gasa alam Rusia terbesar di Asia. Tokyo Gas dan Osaka Gas, dua pemasok gas lokal terbesar di negara itu, menyatakan mereka sedang mempelajari rincian tentang persyaratan rubel, senada dengan pernyataan dari VNG Jerman dan pembeli Eropa lainnya.

Korea Selatan, importir LNG Rusia terbesar ketiga di Asia, berharap dapat melanjutkan impor. Komisi Jasa Keuangan Korea bahkan telah menyatakan akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk memfasilitasi perdagangan.



Di Polandia, CEO PGNiG Pawel Majewski mengatakan perusahaan - yang memiliki kontrak dengan Gazprom hingga akhir tahun ini - tidak bisa begitu saja beralih ke pembayaran dalam rubel. "Mitra kontrak kita tidak bisa seenaknya mengubah cara pembayaran yang diatur dalam kontrak," ujarnya.

Raksasa energi Denmark, Orsted, yang juga memiliki kontrak take-or-pay jangka panjang dengan Gazprom, mengatakan kemungkinan dampak dari langkah tersebut tidak jelas.

RWE dan Uniper, klien Gazprom terbesar di Jerman, tidak segera berkomentar pada hari Kamis, sementara Naturgy Spanyol, yang memiliki kontrak dengan Yamal LNG, juga menolak berkomentar.

Untuk saat ini, gas Rusia masih terus mengalir. Namun tanggapan Kremlin atas kecemasan negara-negara "tak bersahabat" yang mengimpor gas dari Rusia tegas. Mereka harus menerima kebijakan tersebut untuk mendapatkan gas.

Dikutip dari RT.com, menanggapi keengganan Bulgaria membayar dengan rubel, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa masalah sudah selesai. "Bulgaria harus membayar dalam rubel, suka atau tidak!"
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1178 seconds (0.1#10.140)