Bioekonomi Jadi Pembahasan dalam Pertemuan FAO Kehutanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pertemuan Tahunan ke-63 Komite Industri Kehutanan Berkelanjutan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB , atauUN Food & Agriculture Organization-Advisory Committee on Sustainable Forest-based Industries (FAO-ACSFI) berlangsung secara hybrid di Seoul, Korea Selatan, Sabtu (30/4/2022).
FAO-ACSFI yang beranggotakan wakil-wakil industri kehutanan dari 33 negara itu bertugas memberikan masukan kepada Dirjen FAO berkaitan dengan industri kehutanan, untuk penetapan kebijakan global kehutanan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo yang juga Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) mewakili Indonesia dalam FAO-ACSFI.
(Baca juga:Bersama Terapkan Bisnis Berkelanjutan di Industri Kehutanan dan Pertanian)
Pertemuan membahas peran hutan dalam pengembangan bioekonomi, terutama terkait dengan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan perannya dalam implementasi Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.
Melalui pendekatan bioekonomi, sumberdaya hutan akan tetap lestari, keanekaragaman hayati selalu terjaga, namun nilai tambah ekonominya akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
(Baca juga:Jokowi Cabut Izin Jutaan Hektare Sektor Kehutanan)
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ewald Rametstainer dari Divisi Kehutanan FAO, dibahas tentang mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan hutan tanaman, juga dibahas tentang penggunaan material kayu untuk konstruksi bangunan, serta rantai pasok industri kehutanan berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Berbagai produk kehutanan dengan inovasi baru juga ditampilkan, terutama pemanfaatan serat kayu untuk beragam produk mulai dari bahan baku energi biomassa, kertas dan bubuk kertas hingga sistem komunikasi, material bangunan, rayon untuk tekstil, komponen telefon seluler dan satelit dari kayu. Kesemuanya memakai filosofi keberlanjutan.
(Baca juga:Cara KLHK Denyutkan Sektor Kehutanan di Masa Pandemi)
Juga dipaparkan tentang mobilisasiGreen Climate Fund (GCF) yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir dan berhasil menghimpun total dana USD37,2 miliar. Dana tersebut digunakan untuk proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dibanyak negara. Antara lain untuk rehabilitasi mangrove, pembuatan rumah dari material kayu, kegiatan agro-forestry bebas deforestasi, budidaya perikanan dan ekowisata.
FAO-ACFSI mengharapkan kiranya kemitraan pemerintah, swasta dan GCF dapat berlangsung di Indonesia baik untuk aksi mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim di sektor kehutanan, guna mempercepat tercapainya target Nationally Determined Contribution (NDC).
Pertemuan ke 63 FAO-ACSFI juga membahas topik-topik yang akan dibawa pada pertemuan Tingkat Menteri Committee on Forestry (COFO) FAO pada awal Oktober 2022 di Roma, Italia, serta pertemuan Perubahan Iklim COP-27 di Sharm El Sheikh, Mesir pada November 2022 mendatang.
FAO-ACSFI yang beranggotakan wakil-wakil industri kehutanan dari 33 negara itu bertugas memberikan masukan kepada Dirjen FAO berkaitan dengan industri kehutanan, untuk penetapan kebijakan global kehutanan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo yang juga Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) mewakili Indonesia dalam FAO-ACSFI.
(Baca juga:Bersama Terapkan Bisnis Berkelanjutan di Industri Kehutanan dan Pertanian)
Pertemuan membahas peran hutan dalam pengembangan bioekonomi, terutama terkait dengan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan perannya dalam implementasi Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.
Melalui pendekatan bioekonomi, sumberdaya hutan akan tetap lestari, keanekaragaman hayati selalu terjaga, namun nilai tambah ekonominya akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
(Baca juga:Jokowi Cabut Izin Jutaan Hektare Sektor Kehutanan)
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ewald Rametstainer dari Divisi Kehutanan FAO, dibahas tentang mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan hutan tanaman, juga dibahas tentang penggunaan material kayu untuk konstruksi bangunan, serta rantai pasok industri kehutanan berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Berbagai produk kehutanan dengan inovasi baru juga ditampilkan, terutama pemanfaatan serat kayu untuk beragam produk mulai dari bahan baku energi biomassa, kertas dan bubuk kertas hingga sistem komunikasi, material bangunan, rayon untuk tekstil, komponen telefon seluler dan satelit dari kayu. Kesemuanya memakai filosofi keberlanjutan.
(Baca juga:Cara KLHK Denyutkan Sektor Kehutanan di Masa Pandemi)
Juga dipaparkan tentang mobilisasiGreen Climate Fund (GCF) yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir dan berhasil menghimpun total dana USD37,2 miliar. Dana tersebut digunakan untuk proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dibanyak negara. Antara lain untuk rehabilitasi mangrove, pembuatan rumah dari material kayu, kegiatan agro-forestry bebas deforestasi, budidaya perikanan dan ekowisata.
FAO-ACFSI mengharapkan kiranya kemitraan pemerintah, swasta dan GCF dapat berlangsung di Indonesia baik untuk aksi mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim di sektor kehutanan, guna mempercepat tercapainya target Nationally Determined Contribution (NDC).
Pertemuan ke 63 FAO-ACSFI juga membahas topik-topik yang akan dibawa pada pertemuan Tingkat Menteri Committee on Forestry (COFO) FAO pada awal Oktober 2022 di Roma, Italia, serta pertemuan Perubahan Iklim COP-27 di Sharm El Sheikh, Mesir pada November 2022 mendatang.
(dar)