Uni Eropa Terpecah Soal Bagaimana Menjauh dari Energi Rusia

Rabu, 04 Mei 2022 - 07:43 WIB
loading...
Uni Eropa Terpecah Soal Bagaimana Menjauh dari Energi Rusia
Negara-negara Uni Eropa (UE) terpecah soal seberapa cepat mereka dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan energi Rusia. Sementara sanksi telah diterapkan pada sektor bisnis lain. Foto/Dok
A A A
BERLIN - Negara-negara Uni Eropa (UE) terpecah soal seberapa cepat mereka dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan energi Rusia. Sementara sanksi telah diterapkan pada sektor bisnis lain, Uni Eropa tetap sangat bergantung pada minyak dan gas Rusia .

Menteri ekonomi Jerman mengatakan, negara itu baru bisa mengatasi larangan minyak Rusia pada akhir 2022, dimana Ia tampaknya mendukung sanksi yang lebih keras. Namun Hongaria menerangkan, pihaknya menentang langkah seperti itu dengan menyatakan tidak akan mendukung apapun yang dapat membahayakan pasokan.



Para menteri Uni Eropa bertemu pada hari Senin, kemarin untuk membahas bagaimana mengelola situasi, di bawah tekanan kuat untuk mengurangi aliran pendapatan yang mendukung perang Presiden Vladimir Putin di Ukraina.

Ada dua tantangan utama yang dihadapi oleh negara-negara Uni Eropa yakni tentang bagaimana membayar energi Rusia dengan cara yang tidak melanggar sanksi Uni Eropa. Lalu yang kedua, bagaimana mencari dan mengembangkan pasokan alternatif untuk menjauh dari ketergantungan pada Rusia.

Ketergantungan Eropa pada Energi Rusia

Pada konferensi pers pada awal pekan kemarin, kepala kebijakan energi Uni Eropa, Kadri Simson mengatakan, langkah Rusia menghentikan pasokan gas ke Polandia dan Bulgaria telah memperkuat keinginan blok itu untuk menjadi independen dari bahan bakar fosil Rusia.

Tetapi menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), Uni Eropa telah mengimpor sekitar 37 miliar poundsterling bahan bakar fosil sejak konflik dimulai. Dua importir terbesar di dunia adalah Jerman diikuti oleh Italia.

Raksasa energi Gazprom menghentikan ekspor gas ke Polandia dan Bulgaria pekan lalu setelah negara-negara itu menolak untuk mematuhi tuntutan Rusia untuk beralih ke pembayaran dalam rubel. Selanjutnya bakal banyak negara anggota UE lainnya yang akan menghadapi masalah serupa sekitar pertengahan Mei.

Polandia dan Bulgaria telah berencana untuk berhenti menggunakan gas Rusia tahun ini dan mengatakan mereka dapat mengatasi penghentian tersebut. Tetapi muncul kekhawatiran bahwa negara-negara Uni Eropa lainnya yang bergantung pada gas Eropa bakal menjadi sasaran berikutnya, seperti salah satu ekonomi terbesar yakni Jerman.

Simson mengulangi pandangan Komisi Eropa bahwa membayar gas dalam rubel akan menjadi pelanggaran sanksi dan tidak dapat diterima. Dia mengatakan, negara-negara anggota sedang membangun persediaan penyimpanan gas sebelum musim dingin.

Sementara itu Kepala Penelitian Minyak dan Gas di Investec, Nathan Piper mengutarakan kepada BBC, bahwa cukup jelas bila Uni Eropa ingin menjauh" dari minyak dan gas Rusia. Tetapi Ia menambahkan kurangnya persatuan disebabkan oleh "kemampuan yang berbeda masing-masing negara untuk benar-benar mewujudkannya".

Eropa mendapat sekitar 40% gas alamnya dari Rusia, yang juga merupakan pemasok minyak utama blok itu. Tetapi beberapa negara lebih bergantung pada bahan bakar fosil Rusia daripada yang lain, sehingga pemotongan pasokan yang tiba-tiba dapat memiliki dampak ekonomi sangat besar.



Misalnya, Jerman saat ini mendapat sekitar 25% dari minyaknya dan 40% gasnya dari Rusia, Slovakia dan Hongaria masing-masing menerima 96% dan 58% dari impor minyak mereka dari Rusia tahun lalu, menurut Badan Energi Internasional.

Menteri ekonomi Jerman, Robert Habeck mengatakan, negaranya telah "berhasil mencapai situasi di mana Jerman mampu menanggung embargo minyak dan berada di jalur untuk melakukan hal yang sama pada pasokan gas,".

"Namun negara-negara lain membutuhkan sedikit lebih banyak waktu," tambahnya.

Sumber-sumber diplomatik mengatakan, bahwa kompromi terhadap larangan blok sedang dipertimbangkan, terutama untuk negara-negara seperti Hongaria dan Slovakia.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1912 seconds (0.1#10.140)