RI Setop Ekspor Minyak Sawit, Asing Borong CPO Malaysia dan Thailand
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya membuat para pembeli asing beralih menyasar stok CPO di Malaysia dan Thailand.
Manajer Penjualan Phillip Futures yang berbasis di Kuala Lumpur Marcello Cultrera mengatakan, larangan ekspor CPO Indonesia yang dimulai sejak 28 April 2022 lalu memberi keuntungan bagi produsen lainnya.
"Kebijakan tersebut akan menyebabkan peningkatan permintaan asing beralih ke Malaysia dan Thailand," ujarnya, dilansir Reuters, Jumat (6/5/2022).
Dia memperkirakan ekspor Indonesia bakal tergerus menjadi 1,5 juta ton, yang mengarah pada persediaan yang tinggi pada bulan Mei mendatang.
Sebagai informasi, krisis geopolitik antara Rusia dan Ukraina membuat persediaan minyak nabati global, khususnya di Eropa, terganggu. Pasalnya, wilayah di sekitar Laut Hitam menyumbang 60% produksi dan 76% ekspor minyak biji bunga matahari.
Ketika stok minyak nabati lain terancam, para pembeli di Eropa kembali mempertimbangkan penggunaan CPO sebagai alternatif, meskipun pernah memboikot terkait isu lingkungan hingga eksploitasi pekerja.
Hal itu tentunya memberi angin segar bagi para produsen CPO di Asia Tenggara. Baru-baru ini, Malaysia melirik peluang ini untuk mendapatkan kembali pangsa pasar mereka, terlebih setelah ekspor CPO Indonesia berhenti.
Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Zuraida Kamaruddin menegaskan, pemerintah Malaysia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dalam krisis saat ini. Dia juga menepis propaganda Barat selama ini terhadap produk sawit.
"Sudah saatnya kita meningkatkan upaya untuk melawan propaganda yang merugikan serta merusak kredibilitas minyak sawit dan kita akan menunjukkan banyak manfaat kesehatan yang ditawarkan komoditas ini," tukasnya, dilansir Reuters, Jumat (6/5/2022).
Menurut Zuraida, Malaysia akan mendapat manfaat dari perubahaan permintaan saat ini dan akan melakukan "upaya dan kampanye agresif" untuk mengisi kesenjangan pasokan global dalam jangka panjang.
Dirinya memprediksi harga minyak nabati global masih tetap tinggi hingga paruh pertama tahun 2022 dan permintaan Uni Eropa (UE) diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat karena terbatasnya pasokan minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai.
Sebagai catatan, Malaysia dan Indonesia menyumbang 85% dari produksi minyak sawit global. Kedua negara ini sepakat menegaskan bahwa pembatasan Uni Eropa atas biofuel berbasis minyak sawit adalah diskriminatif dan telah meluncurkan kasus terpisah dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Manajer Penjualan Phillip Futures yang berbasis di Kuala Lumpur Marcello Cultrera mengatakan, larangan ekspor CPO Indonesia yang dimulai sejak 28 April 2022 lalu memberi keuntungan bagi produsen lainnya.
"Kebijakan tersebut akan menyebabkan peningkatan permintaan asing beralih ke Malaysia dan Thailand," ujarnya, dilansir Reuters, Jumat (6/5/2022).
Dia memperkirakan ekspor Indonesia bakal tergerus menjadi 1,5 juta ton, yang mengarah pada persediaan yang tinggi pada bulan Mei mendatang.
Sebagai informasi, krisis geopolitik antara Rusia dan Ukraina membuat persediaan minyak nabati global, khususnya di Eropa, terganggu. Pasalnya, wilayah di sekitar Laut Hitam menyumbang 60% produksi dan 76% ekspor minyak biji bunga matahari.
Ketika stok minyak nabati lain terancam, para pembeli di Eropa kembali mempertimbangkan penggunaan CPO sebagai alternatif, meskipun pernah memboikot terkait isu lingkungan hingga eksploitasi pekerja.
Hal itu tentunya memberi angin segar bagi para produsen CPO di Asia Tenggara. Baru-baru ini, Malaysia melirik peluang ini untuk mendapatkan kembali pangsa pasar mereka, terlebih setelah ekspor CPO Indonesia berhenti.
Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Zuraida Kamaruddin menegaskan, pemerintah Malaysia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dalam krisis saat ini. Dia juga menepis propaganda Barat selama ini terhadap produk sawit.
"Sudah saatnya kita meningkatkan upaya untuk melawan propaganda yang merugikan serta merusak kredibilitas minyak sawit dan kita akan menunjukkan banyak manfaat kesehatan yang ditawarkan komoditas ini," tukasnya, dilansir Reuters, Jumat (6/5/2022).
Menurut Zuraida, Malaysia akan mendapat manfaat dari perubahaan permintaan saat ini dan akan melakukan "upaya dan kampanye agresif" untuk mengisi kesenjangan pasokan global dalam jangka panjang.
Dirinya memprediksi harga minyak nabati global masih tetap tinggi hingga paruh pertama tahun 2022 dan permintaan Uni Eropa (UE) diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat karena terbatasnya pasokan minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai.
Sebagai catatan, Malaysia dan Indonesia menyumbang 85% dari produksi minyak sawit global. Kedua negara ini sepakat menegaskan bahwa pembatasan Uni Eropa atas biofuel berbasis minyak sawit adalah diskriminatif dan telah meluncurkan kasus terpisah dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
(ind)