Jaga Stabilitas Ekonomi, Penambahan Subsidi BBM Dinilai Tepat
loading...
A
A
A
Menurut Jony, saat harga minyak sudah menembus level USD100 per barel, kondisi ini seharusnya direspons dengan kenaikan harga BBM. Namun, kenaikan harga BBM akan menekan daya beli dan mengerek inflasi lebih tinggi. Terlebih, kata dia, kenaikan harga BBM secara politis sangat tidak populer di tengah kondisi masyarakat yang sedang susah.
"Makanya, terobosan yang dilakukan pemerintah mau tidak mau harus memberikan subsidi. Imbasnya angka subsidi membengkak seperti yang disampaikan menteri keuangan kemarin," ujarnya.
Menurut dia, penambahan subsidi BBM harusnya diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota BBM subsidi dan penugasan. Apalagi pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.
"Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools untuk mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau tidak," katanya.
Peneliti Center for Economics and Development Studieds (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti juga menilai bahwa kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM sudah tepat.
"Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik," tandasnya.
Artinya, pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM, terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan.
Saat ini, kata dia, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan eksrem akibat pandemi yang harus segera ditekan. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM, maka akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.
"Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif," tuturnya.
"Makanya, terobosan yang dilakukan pemerintah mau tidak mau harus memberikan subsidi. Imbasnya angka subsidi membengkak seperti yang disampaikan menteri keuangan kemarin," ujarnya.
Menurut dia, penambahan subsidi BBM harusnya diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota BBM subsidi dan penugasan. Apalagi pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.
"Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools untuk mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau tidak," katanya.
Peneliti Center for Economics and Development Studieds (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti juga menilai bahwa kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM sudah tepat.
"Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik," tandasnya.
Artinya, pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM, terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan.
Saat ini, kata dia, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan eksrem akibat pandemi yang harus segera ditekan. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM, maka akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan.
"Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif," tuturnya.