Sederet Fakta Dampak Inflasi AS, RI Bisa Masuk Jurang Resesi

Sabtu, 11 Juni 2022 - 19:30 WIB
loading...
Sederet Fakta Dampak Inflasi AS, RI Bisa Masuk Jurang Resesi
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Inflasi di Amerika Serikat (AS) mencapai 8%. Hal ini dikhawatirkan akan memicu naiknya suku bunga AS oleh The Fed.

Berikut fakta-fakta naiknya inflasi di Amerika Serikat yang dirangkum MNC Portal di Jakarta, Sabtu (11/6/2022).

1. Cetak Rekor Tertinggi Sejak 1981

Inflasi Amerika Serikat bulan Maret 2022 mencapai 8,5%. Indeks harga konsumen (CPI) AS naik dari posisi Februari yang sebesar 7,9%.

Inflasi AS mencetak rekor tertinggi sejak 1981 sekaligus memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan melanjutkan kebijakan kenaikan suku bunga pada bulan depan, dilansir Reuters, Selasa (12/4/2022).



2. Selalu Berada di Atas 6% Selama Enam Bulan Berturut-turut

Inflasi AS tercatat selalu berada di atas 6% selama enam bulan berturut-turut.

Angka inflasi yang tinggi sejak pandemi bertambah kuat seiring peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, di mana Amerika Serikat melibatkan diri dengan aneka sanksinya. Kebijakan ini semakin mendongkrak harga-harga komoditas energi, pangan, dan logam.

Pembacaan inflasi yang kuat mengikuti data bulan lalu yang menunjukkan tingkat pengangguran turun ke level terendah baru dua tahun di 3,6% pada bulan Maret.

3. Bisa Munculkan Resesi

Ekonom sekaligus Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa kenaikan tingkat suku bunga AS atau The Fed Rate yang excessive atau berlebihan bisa 3-4 kali kenaikannya di tahun 2022. Sehingga dapat memicu terjadinya resesi ekonomi global termasuk Indonesia.

"Hal ini karena terjadi kenaikan biaya bunga atau cost of fund bagi pelaku usaha, khususnya pelaku usaha yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi, mereka akan kesulitan membayar pinjaman sementara tidak semua permintaan mengalami kenaikan. Belum semua permintaan mengalami kenaikan seperti di level pra-pandemi," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta.



4. Saran Ekonom

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyebutkan, inflasi akan mempengaruhi daya beli masyarakat karena kecepatan kenaikan harga tidak disertai dengan naiknya pendapatan kelompok menengah bawah. Selain itu, jika inflasi naik maka garis kemiskinan akan naik dan membuat orang miskin bertambah.

"Untuk menjaga daya beli pemerintah bisa melakukan beberapa langkah taktis. Contohnya adalah subsidi upah perlu dilanjutkan dan nominalnya harus lebih tinggi dari tahun 2020-2021 lalu," imbuhnya.

Setidaknya, kata dia, satu orang pekerja mendapat Rp1,9 juta dengan asumsi 1 pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga sehingga tidak jatuh di bawah garis kemiskinan. Hal ini berdasar pada asumsi garis kemiskinan Rp486.168 per kapita per bulan.

"Masalah pendataan perlu terus diperbaiki akurasi penerima dengan sinkronisasi data di BPJS Ketenagakerjaan maupun data riil perusahaan," ucap Bhima.

Untuk dana subsidi upah, dia menyarankan sebaiknya dicari dari windfall kenaikan penerimaan negara dari harga komoditas ekspor dan realokasi dari proyek strategis nasional.

Selain itu untuk subsidi energi agar inflasi tetap terjaga, antisipasi jangka pendeknya adalah dengan merombak APBN dan menambah alokasi subsidi energi.

"Saran subsidi energi untuk periode Mei-September naik menjadi Rp200-250 triliun. Yang paling penting BBM, listrik dan gas jenis subsidi dijaga dulu stabilitas harganya, jangan dinaikkan," tandasnya.

(nng)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1150 seconds (0.1#10.140)