Petani Sawit sudah Terpuruk Dalam, Ini Opsi Petani kepada Presiden Jokowi

Jum'at, 24 Juni 2022 - 16:30 WIB
loading...
Petani Sawit sudah Terpuruk...
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung
A A A
JAKARTA - Dua bulan sudah berlalu keterpurukan petani sawit dengan anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang terjadi secara merata di 22 provinsi sawit. Harga TBS petani swadaya hari ini Rp1.150 per kilogram (kg) dan petani bermitra Rp2.010 per kg. Harga ini 50%-70% di bawah harga normal jika berdasarkan harga CPO internasional (USD1.450 per ton).

“Pemerintah harus gerak cepat untuk mendongkrak harga TBS petani dengan cara mencabut peraturan yang menekan harga TBS petani. Saat ini peraturan yang kami sebut ‘beban’ adalah BK, PE, DMO-DPO dan FO (flush-out),” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/6/2022).

Gulat mengatakan bahwa pemerintah dapat melakukan beberapa opsi dan opsi itu harus dibuka ke masyarakat umum. Diketahui harga CPO Rottherdam pada Rabu (22/6/2022) adalah USD1.450 per kg, maka ada beberapa opsi yang menjadi pilihan.

(Baca juga:Ironis, Petani Sawit Subsidi Industri Biodiesel)

Opsi pertama, jika tetap menggunakan full beban (PE+BK+DMO/DPO+FO), maka harga CPO Indonesia akan jatuh pada angka Rp10.176 per kg, yang artinya harga TBS petani Rp2.165 per kg.

Perlu dicatat, bahwa harga ini adalah harga Dinas Perkebunan, tentu kalau harga di pabrik kelapa sawit (PKS) turun lagi. Apalagi kalau di level petani kecil tentu menjual hasil panennya paling ke Pedagang Pengumpul (RAM) yang harganya bisa turun Rp400-500 per kg.

Jadi praktis harga dilevel petani kecil hanya Rp1.200-1.400 per kg, bahkan saat ini ada yang hanya dihargai Rp600 per kg. RAM menekan harga bukan tanpa alasan, karena tidak adanya kepastian harga di PKS dan selalu berubah-ubah.

(Baca juga:Surati Jokowi, Asosiasi Petani Sawit Minta Perpanjang Moratorium Sawit)

Opsi kedua, jika beban BK (Bea Keluar) diturunkan dari USD288 per ton menjadi USD200 per ton dan PE (Pungutan Ekspor) dari USD200 ditekan menjadi USD100 totalnya menjadi USD350, maka harga CPO Domestik Rp16.060 per kg CPO dan harga TBS petani naik menjadi Rp3.400 per kg (dengan asumsi rendemen TBS = 21%). Jika CPO Indonesia sama sekali tanpa beban, maka harga TBS petani adalah Rp4.500 per kg.

Dengan demikian beban TBS petani sesungguhnya jika dengan beban saat ini (full beban) adalah Rp2.340 per kg TBS. Ini menggambarkan betapa beratnya beban TBS petani sawit saat ini, yaitu 52% dari harga sesungguhnya (Rp4.500 per kg jika tanpa beban).

Jadi semuanya tergantung Presiden Jokowi, jika ingin membantu petani sawit mendapatkan haknya, maka opsi kedua adalah pilihan (beban hanya PE dan BK) maka harga TBS petani akan terdongkrak menjadi Rp3.400 per kg.

Namun jika tetap menggunakan opsi full beban, maka harga TBS petani Rp2.165 per kg (seperti saat ini). “Tentu ini beban yang luar biasa yang harus kami gendong sebagai petani kecil dengan keringat dan tulang kering kami sendiri,” ujar Gulat.

Saat ini semua serba salah, PKS sudah sangat terancam karena di satu sisi, PKS didesak oleh petani untuk membeli TBS mereka, namun di satu sisi tangki timbun penuh. Demikian juga dengan refinary terkendala di kecepatan ekspor karena banyaknya rintangan yang harus dilalui.

Oleh karena itu, lambatnya ekspor dari refinery mengakibatkan serapan CPO dari PKS menjadi lambat bahkan terhenti. Terhentinya atau lambatnya ekspor akan sangat berpengaruh kepada serapan TBS petani di PKS-PKS.

(Baca juga:Asosiasi Petani Sawit Tuntut Pencabutan Larangan Ekspor)

Jadi secara sederhana dikatakan bahwa anjloknya harga TBS petani diakibatkan oleh dua hal yaitu beban CPO dan lambatnya ekspor CPO dan turunannya. “Jadi kalau ada menteri yang mengatakan bahwa harga CPO memang lagi turun penyebab anjloknya harga TBS, itu salah,” kata Gulat.

Hasil rapat Apkasindo pada Selasa (21/6/2022) lalu diketahui dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi. Sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup. “Apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun?,” tanya Gulat.

Kondisi ini sangat berdampak kepada 17 juta petani sawit dan pekerja sawit. Keluarga petani saat ini sangat menderita, sementara para petani sangat membutuhkan biaya untuk sekolah anak, berobat dan ekonomi rumah tangga. “Saat ini anak-anak kami harus berhenti sekolah sampai SMA sederajat karena ketiadaannya biaya keluarga. Dan yang sudah kuliah berencana akan cuti kuliah,” katanya.

“Kami tidak manja, kami petani sawit tidak siap dengan bansos dan kami tidak mau membebani negara. Jika harga CPO dunia memang sedang anjlok kami memahaminya. Tapi karena CPO dunia sedang baik saat ini, tapi harga TBS yang kami terima justru sebaliknya, ini yang kami protes. Karena semua dibebankan ke TBS kami petani sawit. Jadi masyarakat umum juga harus memahami dulu konteks permasalahannya,” urainya.

Gulat menegaskan semua pihak sangat dirugikan saat ini, baik petani, perusahaan, maupun negara karena kehilangan devisa yang menurut Dirjen Bea Cukai mencapai Rp32 triliun. Gulat memahami bahwa perusahaan sangat tertekan dan merugi dengan kondisi ini. Yang paling menyedihkan adalah petani kecil yang sudah rugi Rp18 triliun sejak pelarangan ekspor, namun kalau dihitung sejak masalah minyak goreng ini muncul sekitar Februari, kerugian sudah Rp30 triliun.

“Usulan kami kepada Presiden supaya DMO, DPO, dan flush out segera dicabut (opsi kedua). Karena petani yang terkena beban dari regulasi tersebut,” ujar Gulat.

Apkasindo sejak awal mengusulma untuk urusan minyak goreng disubsidi saja, supaya semuanya terjaga. “Migor tersedia terjangkau, harga TBS petani terjaga secara wajar, perusahaan lancar ekspor dan negara mendapat devisa dan pajak,” katanya.

Pihaknya juga meminta BPDP-KS lebih memperhatikan petani sawit dan melakukan terobosan-terobosan sesuai dengan kewenangannya. Seperti pendirian PKS dan pabrik minyak goreng sawit (MGS), supaya kisruh migor tidak terulang lagi. “Biar urusan migor dalam negeri kami petani yang menyediakan, urusan ekspornya kami serahkan ke korporasi,” katanya.

Gulat berharap Presiden Jokowi beserta jajaran kabinet terkait seperti Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo Jend (TNI) Purn. Moeldoko, yang juga Kepala KSP RI segera bertindak untuk melindungi nasib 17 juta petani dan pekerja sawit.

“Pak Muldoko sudah berhasil menjembatani usulan kami ke Presiden tanggal 17 Mei lalu, supaya larangan ekspor dicabut saat itu. Kini kami kembali memohon supaya beban-beban TBS kami dikurangi, supaya kami petani menerima harga TBS yang layak dari kerja keras dan keringat kami petani kecil ini,” katanya.
(dar)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1138 seconds (0.1#10.140)