Ironis, Petani Sawit Subsidi Industri Biodiesel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan aturan baru atas pungutan ekspor(PE) terhadap minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) beserta produk turunannya. Kebijakan progresif ini berlaku mulai 10 Desember, mendatang. Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/ 2020 yang merevisi PMK 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.
PMK ini berisi skema pungutan ekspor CPO berdasarkan layer atau lapisan harga CPO. Aturan yang diteken 3 Desember 2020 ini berlaku tujuh hari setelah diundangkan.Ini artinya, aturan ini berlaku mulai 10 Desember.
(Baca juga:Kenaikan Pungutan Ekspor CPO hanya akan “Membunuh” Petani Sawit)
Diketahui, dengan aturan baru tersebut, pada 10 Desember nanti PE melonjak dari semula USD55 per ton menjadi USD180 per ton. Melonjaknya PE hingga mencapai USD180 per ton ini selain karena adanya regulasi baru, juga karena melonjaknya harga CPO dunia. Di mana harga CPO dunia saat ini di kisaran USD880 ton cif Rotterdam.
Kenaikan harga CPO ini tentu saja menjadi kabar gembira bagi para petani sawit. Namun ternyata kenaikan harga CPO ini tidak dinikmati petani sawit, mengingat pemerintah juga merubah kebijakan sehingga PE melonjak.
Mengomentari kenaikan PE ini, pemerhati industri kelapa sawit Maruli Gultom mengatakan bahwa kebijakan ini pada akhirnya hanya akan membebani petani sawit dan perkebunan sawit yang produknya hanya sampai pada tandan buah segar (TBS).
(Baca juga:Ada Aturan Baru Soal Ekspor Sawit, Cek Ya!)
Menurut Maruli, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri (FOB Dumai/Belawan) ditentukan oleh harga CIF Rotterdam, dikurangi biaya freight & insurance, dikurangi PE dan pungutan-pungutan lain. Sementara harga CPO di daerah terbentuk dari harga CPO (FOB Dumai/Belawan) dikurangi ongkos angkut dari lokasi produsen CPO ke Dumai/Belawan. Sedangkan harga tandan buah segar (TBS) mengacu pada harga CPO di masing-masing daerah.
“Itung-itungannya mengacu pada rumus yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perkebunan. Di mana hitungan kasarnya adalah 20% dikalikan harga CPO di daerah tersebut. Dengan demikian harga TBS di satu daerah dengan daerah lain bisa beda,” papar Maruli saat dihubungi SINDONews di Jakarta, Sabtu (5/12/2020).
(Baca juga:Dapat Insentif, China Pilih Impor Minyak Sawit dari Malaysia Ketimbang Indonesia?)
PMK ini berisi skema pungutan ekspor CPO berdasarkan layer atau lapisan harga CPO. Aturan yang diteken 3 Desember 2020 ini berlaku tujuh hari setelah diundangkan.Ini artinya, aturan ini berlaku mulai 10 Desember.
(Baca juga:Kenaikan Pungutan Ekspor CPO hanya akan “Membunuh” Petani Sawit)
Diketahui, dengan aturan baru tersebut, pada 10 Desember nanti PE melonjak dari semula USD55 per ton menjadi USD180 per ton. Melonjaknya PE hingga mencapai USD180 per ton ini selain karena adanya regulasi baru, juga karena melonjaknya harga CPO dunia. Di mana harga CPO dunia saat ini di kisaran USD880 ton cif Rotterdam.
Kenaikan harga CPO ini tentu saja menjadi kabar gembira bagi para petani sawit. Namun ternyata kenaikan harga CPO ini tidak dinikmati petani sawit, mengingat pemerintah juga merubah kebijakan sehingga PE melonjak.
Mengomentari kenaikan PE ini, pemerhati industri kelapa sawit Maruli Gultom mengatakan bahwa kebijakan ini pada akhirnya hanya akan membebani petani sawit dan perkebunan sawit yang produknya hanya sampai pada tandan buah segar (TBS).
(Baca juga:Ada Aturan Baru Soal Ekspor Sawit, Cek Ya!)
Menurut Maruli, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri (FOB Dumai/Belawan) ditentukan oleh harga CIF Rotterdam, dikurangi biaya freight & insurance, dikurangi PE dan pungutan-pungutan lain. Sementara harga CPO di daerah terbentuk dari harga CPO (FOB Dumai/Belawan) dikurangi ongkos angkut dari lokasi produsen CPO ke Dumai/Belawan. Sedangkan harga tandan buah segar (TBS) mengacu pada harga CPO di masing-masing daerah.
“Itung-itungannya mengacu pada rumus yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perkebunan. Di mana hitungan kasarnya adalah 20% dikalikan harga CPO di daerah tersebut. Dengan demikian harga TBS di satu daerah dengan daerah lain bisa beda,” papar Maruli saat dihubungi SINDONews di Jakarta, Sabtu (5/12/2020).
(Baca juga:Dapat Insentif, China Pilih Impor Minyak Sawit dari Malaysia Ketimbang Indonesia?)