Waspada, Inflasi Tinggi di AS Bisa Menular ke Indonesia Lewat 2 Jalur Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan untuk mewaspadai tingginya inflasi di Amerika Serikat (AS) .
Seperti diberitakan sebelumnya, inflasi di Negeri Paman Sam pada Juni kembali melejit mencapai 9,1% secara tahunan (year on year/yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Angka itu juga jauh di atas perkiraan sejumlah ekonom yang dikumpulkan media dan lembaga seperti Dow Jones di kisaran 8,8%.
Menurut Bhima, inflasi di AS bisa bertransmisi melalui dua jalur, yakni jalur moneter dan jalur perdagangan. Dari aspek moneter, inflasi yang tinggi akan mendorong bank sentral AS atau The Fed lebih agresif dalam meningkatkan suku bunga.
"Ini akan membuat dolar AS semakin perkasa bahkan terhadap Euro, terhadap mata uang dominan lainnya, apalagi terhadap nilai tukar rupiah. Jadi, dalam beberapa pekan ke depan rupiah diperkirakan akan bergejolak," papar Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia (MPI), Kamis (14/7/2022).
Bhima memprediksi rupiah akan melemah dan arus modal asing akan semakin deras keluar. Hal tersebut, sambung dia, juga akan bergantung pada respons Bank Indonesia (BI). Misalnya, apakah BI akan melakukan langkah dengan menaikan suku bunga. "Berapa basis poin? Nah itu yang akan jadi pertanyaan besar," tuturnya.
Sementara itu dari aspek perdagangan, lanjut Bhima, jika inflasi AS naik berarti kinerja ekspor RI ke negara adidaya tersebut bisa terganggu. Pasalnya, konsumsi rumah tangga di AS akan melandai seiring turunnya daya beli, sehingga mempengaruhi permintaan barang-barang dari Indonesia.
"Jadi kalau kita lihat AS sebagai mitra dagang yang utama, maka ini akan bisa mempengaruhi neraca perdagangan dalam semester II/2022," jelas Bhima.
Selain neraca dagang yang menurun, sambung dia, efek lainnya adalah ongkos pengiriman bahan baku yang diimpor Indonesia dari AS akan mengalami kenaikan.
Kenaikan ini nantinya akan diteruskan kepada konsumen sehingga ada transmisi inflasi yang tinggi di AS terhadap harga-harga kebutuhan pokok yang ada di Indonesia.
"Ini yang mesti diwaspadai. Kalau inflasi terlalu tinggi tentu efeknya nanti kepada pemulihan ekonomi Indonesia jadi terhambat," tandasnya.
Bhima pun membeberkan sejumlah hal yang perlu dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia, di antaranya menaikan suku bunga. "Sarannya sih naik sampai 50 basis poin, untuk RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI bulan Juli ini," tuturnya.
Dia menambahkan, pemerintah juga harus menjaga inflasi energi. Sebab, kontributor terbesar inflasi di AS masih berasal dari harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Jadi, kita harus bisa menjaga dengan menambah alokasi subsidi dana kompensasi BBM," ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima juga menyarankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor dengan mencari pasar-pasar alternatif selain AS yang masih prospektif.
Kemudian, substitusi impor bahan baku, misalnya bahan baku obat yang 90%-nya masih diimpor terutama dari negara-negara maju.
"Nah ini perlu dicari alternatif bahan baku di dalam negeri untuk obat-obatan. Itu bisa mengurangi dampak dari selisih kurs," imbuhnya.
Terakhir, beban utang pemerintah dan utang luar negeri swasta perlu dikendalikan karena efek dari pelemahan nilai tukar terjadi selisih kurs yang bisa membahayakan ekonomi.
Seperti diberitakan sebelumnya, inflasi di Negeri Paman Sam pada Juni kembali melejit mencapai 9,1% secara tahunan (year on year/yoy), tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Angka itu juga jauh di atas perkiraan sejumlah ekonom yang dikumpulkan media dan lembaga seperti Dow Jones di kisaran 8,8%.
Menurut Bhima, inflasi di AS bisa bertransmisi melalui dua jalur, yakni jalur moneter dan jalur perdagangan. Dari aspek moneter, inflasi yang tinggi akan mendorong bank sentral AS atau The Fed lebih agresif dalam meningkatkan suku bunga.
"Ini akan membuat dolar AS semakin perkasa bahkan terhadap Euro, terhadap mata uang dominan lainnya, apalagi terhadap nilai tukar rupiah. Jadi, dalam beberapa pekan ke depan rupiah diperkirakan akan bergejolak," papar Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia (MPI), Kamis (14/7/2022).
Bhima memprediksi rupiah akan melemah dan arus modal asing akan semakin deras keluar. Hal tersebut, sambung dia, juga akan bergantung pada respons Bank Indonesia (BI). Misalnya, apakah BI akan melakukan langkah dengan menaikan suku bunga. "Berapa basis poin? Nah itu yang akan jadi pertanyaan besar," tuturnya.
Sementara itu dari aspek perdagangan, lanjut Bhima, jika inflasi AS naik berarti kinerja ekspor RI ke negara adidaya tersebut bisa terganggu. Pasalnya, konsumsi rumah tangga di AS akan melandai seiring turunnya daya beli, sehingga mempengaruhi permintaan barang-barang dari Indonesia.
"Jadi kalau kita lihat AS sebagai mitra dagang yang utama, maka ini akan bisa mempengaruhi neraca perdagangan dalam semester II/2022," jelas Bhima.
Selain neraca dagang yang menurun, sambung dia, efek lainnya adalah ongkos pengiriman bahan baku yang diimpor Indonesia dari AS akan mengalami kenaikan.
Kenaikan ini nantinya akan diteruskan kepada konsumen sehingga ada transmisi inflasi yang tinggi di AS terhadap harga-harga kebutuhan pokok yang ada di Indonesia.
"Ini yang mesti diwaspadai. Kalau inflasi terlalu tinggi tentu efeknya nanti kepada pemulihan ekonomi Indonesia jadi terhambat," tandasnya.
Bhima pun membeberkan sejumlah hal yang perlu dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia, di antaranya menaikan suku bunga. "Sarannya sih naik sampai 50 basis poin, untuk RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI bulan Juli ini," tuturnya.
Dia menambahkan, pemerintah juga harus menjaga inflasi energi. Sebab, kontributor terbesar inflasi di AS masih berasal dari harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Jadi, kita harus bisa menjaga dengan menambah alokasi subsidi dana kompensasi BBM," ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima juga menyarankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor dengan mencari pasar-pasar alternatif selain AS yang masih prospektif.
Kemudian, substitusi impor bahan baku, misalnya bahan baku obat yang 90%-nya masih diimpor terutama dari negara-negara maju.
"Nah ini perlu dicari alternatif bahan baku di dalam negeri untuk obat-obatan. Itu bisa mengurangi dampak dari selisih kurs," imbuhnya.
Terakhir, beban utang pemerintah dan utang luar negeri swasta perlu dikendalikan karena efek dari pelemahan nilai tukar terjadi selisih kurs yang bisa membahayakan ekonomi.
(ind)