Inflasi Melambung Bikin Pasar Limbung, Ini Rekomendasi Produk Investasi Berkinerja Stabil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pulihnya tingkat konsumsi dan aktivitas masyarakat seiring meredanya kasus Covid-19 sejak akhir tahun 2021 menyebabkan lonjakan inflasi global.
Selain itu, konflik Rusia - Ukraina yang belum juga usai, turut membuat inflasi semakin menanjak karena mengakibatkan ketidakpastian pasokan berbagai komoditas.
Di Amerika Serikat (AS), inflasi terus menerus meninggi, bahkan telah menyentuh angka 9,1% secara tahunan (uear-on-year/yoy) pada Juni 2022, tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) pun menaikkan suku bunga acuannya untuk merespons kenaikan inflasi yang luar biasa tersebut.
Setelah menaikkan suku bunga 50 bps (0,50%) langsung pada Mei 2022 – pertama kali dalam 22 tahun terakhir -- the Fed kembali menaikkan suku bunga 75 bps (0,75%) sekaligus pada Juni 2022, juga pertama kali dilakukan sejak 1994.
Kebijakan yang sangat agresif ini kontan disambut reaksi pasar yang mengoreksi outlook pertumbuhan ekonomi dunia, dan kemudian menyeret pasar saham terkemuka dunia terkoreksi dalam, serta memicu kekhawatiran datangnya resesi ekonomi global di masa depan. Akibatnya, pasar keuangan pun mengalami peningkatan ketidakpastian.
Indonesia pun tidak luput dari dampak ketidakpastian pasar keuangan global tersebut. Pasar saham dan obligasi mengalami gejolak belakangan ini, menyertai peningkatan inflasi yang telah menyentuh angka 4,35% yoy pada Juni 20222 – tertinggi sejak akhir 2017 -- dan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat melebihi Rp15.000 per dolar AS di pasar spot.
Namun, menurut Direktur Utama PT Insight Investments Management atau Insight Ekiawan Heri Primaryanto, para investor tidak perlu cemas berlebihan dan tetap melanjutkan investasinya.
“Pada kondisi pasar keuangan yang volatile saat ini, investor perlu melakukan diversifikasi dengan memilih produk investasi yang memiliki performa dan historical return stabil,” ujar Ekiawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/7/2022).
Selain itu, konflik Rusia - Ukraina yang belum juga usai, turut membuat inflasi semakin menanjak karena mengakibatkan ketidakpastian pasokan berbagai komoditas.
Di Amerika Serikat (AS), inflasi terus menerus meninggi, bahkan telah menyentuh angka 9,1% secara tahunan (uear-on-year/yoy) pada Juni 2022, tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) pun menaikkan suku bunga acuannya untuk merespons kenaikan inflasi yang luar biasa tersebut.
Setelah menaikkan suku bunga 50 bps (0,50%) langsung pada Mei 2022 – pertama kali dalam 22 tahun terakhir -- the Fed kembali menaikkan suku bunga 75 bps (0,75%) sekaligus pada Juni 2022, juga pertama kali dilakukan sejak 1994.
Kebijakan yang sangat agresif ini kontan disambut reaksi pasar yang mengoreksi outlook pertumbuhan ekonomi dunia, dan kemudian menyeret pasar saham terkemuka dunia terkoreksi dalam, serta memicu kekhawatiran datangnya resesi ekonomi global di masa depan. Akibatnya, pasar keuangan pun mengalami peningkatan ketidakpastian.
Indonesia pun tidak luput dari dampak ketidakpastian pasar keuangan global tersebut. Pasar saham dan obligasi mengalami gejolak belakangan ini, menyertai peningkatan inflasi yang telah menyentuh angka 4,35% yoy pada Juni 20222 – tertinggi sejak akhir 2017 -- dan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat melebihi Rp15.000 per dolar AS di pasar spot.
Namun, menurut Direktur Utama PT Insight Investments Management atau Insight Ekiawan Heri Primaryanto, para investor tidak perlu cemas berlebihan dan tetap melanjutkan investasinya.
“Pada kondisi pasar keuangan yang volatile saat ini, investor perlu melakukan diversifikasi dengan memilih produk investasi yang memiliki performa dan historical return stabil,” ujar Ekiawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/7/2022).