Cari Kontainer Produk Lokal, Pelni Gandeng INKA dan ITS
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT Pelni (Persero) dan PT Industri Kereta Api (Persero) atau INKA menggandeng Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk bekerja sama dalam bisnis peti kemas berpendingin. Produk yang dicari adalah produksi dalam negeri alias lokal.
Penandatanganan nota kesepahaman tentang sinergi sarana logistik BUMN dan perguruan tinggi berupa peti kemas berpendingin itu dilakukan Direktur Pengembangan INKA Agung Sedaju, Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni Yossianis Marciano, dan Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Kealumnian ITS Bambang Pramujati di Jakarta, Kemarin.
Turut menyaksikan adalah Asisten Deputi Teknologi dan Informasi Kementerian BUMN Muhammad Rizal Kamal dan Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Amalyos Chan. Rizal Kamal dalam keterangannya Jumat mengatakan penandatanganan tersebut sesuai arahan Menteri BUMN Erick Thohir. Terkait, inisiatif triple helix dan penta helix yang menyatakan bahwa BUMN tidak bisa bekerja sendirian, karena hal ini berkaitan dengan ekosistem.
"Ekosistem ini, kita tidak bicara dari atau antar BUMN ke BUMN lain. Namun, dalam arahan terbaru, kita juga diminta untuk memperluas ekosistem kita dengan swasta dan dengan konteks ini adalah dengan dunia pendidikan," ujarnya.
Sebagai badan usaha menurutnya, BUMN diharuskan memberikan keuntungan sebesar-besarnya, baik dalam nilai ekonomi dan sosial bagi Indonesia. Karena itu, diperlukan kolaborasi antara dunia usaha dengan perguruan tinggi.
"Riset selama ini masih banyak yang menjadi kertas dan tidak tahu hilirnya. Ke depannya kita coba unlocking value model kolaborasi ini. Tentunya, ini kita mulai dari triple helix dulu yakni pemerintah selaku regulator dan mendorong dengan kebijakan, unsur usaha yang kami mula dari BUMN," ujarnya dikutip Jumat, (22/7/2022).
"Ke depan ada swasta dan satu lagi dengan universitas. Dari Pak Menteri, kita diminta memetakan sudah berapa BUMN yang memiliki inisiatif seperti ini," imbuh Rizal.
Sementara, Amalyos Chan menyampaikan, kerja sama tersebut berawal saat pandemi COVID-19, yang mana pihaknya mendorong INKA melibatkan perguruan tinggi dan pelaku usaha. Munculnya ide itu terkait dengan kurangnya reefer container atau peti kemas berpendingin baik angkutan dalam negeri maupun ekspor.
"Yang kedua terkait freight cost. Kita mengejar ekspor untuk devisa, di sisi lain belanja modal kita keluar lagi melalui impor. Jadi, devisa yang kita kejar, malah kita keluarkan lagi. Padahal, kolaborasi riset teknologi dengan pelaku usaha dan dukungan pemerintah bisa kita lakukan," katanya.
Pihaknya ke depan akan banyak menggali inovasi selain yang dilakukan oleh INKA. Ia beranggapan bahwa banyak sekali inovasi yang dapat dilakukan INKA selain bisnis intinya terkait produksi kereta api. Sedangkan, Agung Sedaju menjelaskan pengembangan reefer container telah memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang mencapai 60 persen. Hal itu lebih besar dari target minimal TKDN 40 persen.
"Kami juga membuat prototipe yang dioperasikan Pelni selama 3 - 4 bulan ini. Pada saat awal, kami memang bekerja sama dengan Universitas Brawijaya untuk melihat kebutuhan nelayan seperti apa. Tetapi, setelah operasi, kami akan mengajak ITS untuk memenuhi kebutuhan Pelni, apa yang menjadi kendala uji coba selama tiga bulan ini. Keunggulannya, TKDN sudah bisa mencapai 60 persen," kata dia.
Keunggulan lain adalah kontainer produknya yang tidak mass production seperti yang saat ini masih diimpor. Sehingga kebutuhan Pelni dipenuhi dengan kontainer tersebut. "Kontainer standar saat ini 20 ft hingga 40 ft. Tapi, kami menyiapkan yang dibutuhkan hanya 1 ton dan 5 ton karena pulau yang disinggahi kapal Pelni keci-kecil," katanya.
Yossianis Marciano menyampaikan bahwa setiap tiga bulan pihaknya melakukan evaluasi terhadap prorotipe reefer container buatan INKA. Hal itu penting untuk dapat mengembangkan produk tersebut di masa depan. "Kemarin kita sudah uji coba ke Natuna dan sudah berjalan, tapi memang produktivitasnya akan kita tingkatkan. Sekarang kita tes lagi untuk wilayah Indonesia timur ternyata produktivitasnya juga semakin meningkat," jelasnya.
Penandatanganan nota kesepahaman tentang sinergi sarana logistik BUMN dan perguruan tinggi berupa peti kemas berpendingin itu dilakukan Direktur Pengembangan INKA Agung Sedaju, Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni Yossianis Marciano, dan Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Kealumnian ITS Bambang Pramujati di Jakarta, Kemarin.
Turut menyaksikan adalah Asisten Deputi Teknologi dan Informasi Kementerian BUMN Muhammad Rizal Kamal dan Asisten Deputi Hilirisasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Amalyos Chan. Rizal Kamal dalam keterangannya Jumat mengatakan penandatanganan tersebut sesuai arahan Menteri BUMN Erick Thohir. Terkait, inisiatif triple helix dan penta helix yang menyatakan bahwa BUMN tidak bisa bekerja sendirian, karena hal ini berkaitan dengan ekosistem.
"Ekosistem ini, kita tidak bicara dari atau antar BUMN ke BUMN lain. Namun, dalam arahan terbaru, kita juga diminta untuk memperluas ekosistem kita dengan swasta dan dengan konteks ini adalah dengan dunia pendidikan," ujarnya.
Sebagai badan usaha menurutnya, BUMN diharuskan memberikan keuntungan sebesar-besarnya, baik dalam nilai ekonomi dan sosial bagi Indonesia. Karena itu, diperlukan kolaborasi antara dunia usaha dengan perguruan tinggi.
"Riset selama ini masih banyak yang menjadi kertas dan tidak tahu hilirnya. Ke depannya kita coba unlocking value model kolaborasi ini. Tentunya, ini kita mulai dari triple helix dulu yakni pemerintah selaku regulator dan mendorong dengan kebijakan, unsur usaha yang kami mula dari BUMN," ujarnya dikutip Jumat, (22/7/2022).
"Ke depan ada swasta dan satu lagi dengan universitas. Dari Pak Menteri, kita diminta memetakan sudah berapa BUMN yang memiliki inisiatif seperti ini," imbuh Rizal.
Sementara, Amalyos Chan menyampaikan, kerja sama tersebut berawal saat pandemi COVID-19, yang mana pihaknya mendorong INKA melibatkan perguruan tinggi dan pelaku usaha. Munculnya ide itu terkait dengan kurangnya reefer container atau peti kemas berpendingin baik angkutan dalam negeri maupun ekspor.
"Yang kedua terkait freight cost. Kita mengejar ekspor untuk devisa, di sisi lain belanja modal kita keluar lagi melalui impor. Jadi, devisa yang kita kejar, malah kita keluarkan lagi. Padahal, kolaborasi riset teknologi dengan pelaku usaha dan dukungan pemerintah bisa kita lakukan," katanya.
Pihaknya ke depan akan banyak menggali inovasi selain yang dilakukan oleh INKA. Ia beranggapan bahwa banyak sekali inovasi yang dapat dilakukan INKA selain bisnis intinya terkait produksi kereta api. Sedangkan, Agung Sedaju menjelaskan pengembangan reefer container telah memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang mencapai 60 persen. Hal itu lebih besar dari target minimal TKDN 40 persen.
"Kami juga membuat prototipe yang dioperasikan Pelni selama 3 - 4 bulan ini. Pada saat awal, kami memang bekerja sama dengan Universitas Brawijaya untuk melihat kebutuhan nelayan seperti apa. Tetapi, setelah operasi, kami akan mengajak ITS untuk memenuhi kebutuhan Pelni, apa yang menjadi kendala uji coba selama tiga bulan ini. Keunggulannya, TKDN sudah bisa mencapai 60 persen," kata dia.
Keunggulan lain adalah kontainer produknya yang tidak mass production seperti yang saat ini masih diimpor. Sehingga kebutuhan Pelni dipenuhi dengan kontainer tersebut. "Kontainer standar saat ini 20 ft hingga 40 ft. Tapi, kami menyiapkan yang dibutuhkan hanya 1 ton dan 5 ton karena pulau yang disinggahi kapal Pelni keci-kecil," katanya.
Yossianis Marciano menyampaikan bahwa setiap tiga bulan pihaknya melakukan evaluasi terhadap prorotipe reefer container buatan INKA. Hal itu penting untuk dapat mengembangkan produk tersebut di masa depan. "Kemarin kita sudah uji coba ke Natuna dan sudah berjalan, tapi memang produktivitasnya akan kita tingkatkan. Sekarang kita tes lagi untuk wilayah Indonesia timur ternyata produktivitasnya juga semakin meningkat," jelasnya.
(nng)