Penyebab Kenaikan Harga Rumah Tak Sebanding dengan Kenaikan Gaji

Sabtu, 23 Juli 2022 - 10:04 WIB
loading...
Penyebab Kenaikan Harga Rumah Tak Sebanding dengan Kenaikan Gaji
Impian para milenial untuk memiliki hunian idaman semakin terkendala mahalnya harga rumah. Dimana saat kenaikan harga rumah tak sebanding dengan kenaikan gaji. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Harga rumah yang semakin mahal setiap tahun, menyulitkan beberapa kalangan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal buat dirinya. Impian para milenial untuk memiliki hunian idaman semakin terkendala mahalnya harga hunian rumah tapak maupun apartemen. Terlebih saat kenaikan harga rumah tak sebanding dengan kenaikan gaji .

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani beberapa waktu lalu sempat mengingatkan, ke depan masyarakat akan semakin sulit untuk membeli rumah. Hal itu dipicu lonjakan inflasi yang semakin tinggi.



Menurutnya kenaikan inflasi biasanya akan membuat Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan. Saat itu terjadi, maka suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) otomatis ikut naik.

"Dengan inflasi tinggi, maka masyarakat akan semakin sulit untuk bisa membeli (rumah)," ungkap Ani dalam acara Securitization Summit 2022, tengah pekan kemarin.

Saat suku bunga KPR semakin tinggi, maka total biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membeli rumah semakin mahal. Kondisi ini membuat milenial akan semakin betah tinggal di rumah orang tua atau mengontrak.

"Keinginan mereka dibandingkan harga rumah lebih tinggi, sehingga mereka akhirnya enak dengan tinggal di rumah mertua atau menyewa," ujar Sri Mulyani.



Selain masalah itu angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah di Indonesia juga akan semakin tinggi. Jumlahnya mencapai 12,75 juta.

"Itu artinya ada yang antre membutuhkan rumah, apalagi Indonesia demografinya masih relatif muda. Artinya generasi muda ini akan berumah tangga dan membutuhkan rumah," jelasnya.

Kondisi anak muda sulit membeli rumah disebabkan juga karena secara rata-rata persentase kenaikan gaji pegawai tiap tahunnya tidak lebih tinggi dari persentase kenaikan harga rumah, nilai rumah tentunya berkali-kali lipat ketimbang gaji bulanan pegawai.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, tantangan yang dihadapi generasi muda adalah persoalan gaji dan harga rumah yang semakin tidak terkejar. Kenaikan harga properti misalnya di Jabodetabek bisa naik 10-15% setiap tahunnya, sementara kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) hanya pada kisaran 8%.

Karena semakin tidak terkejar akhirnya banyak generasi muda yang memutuskan untuk menyewa rumah dibanding membeli. Meskipun masih ada hunian yang terjangkau, tetapi berada jauh dengan perkantoran.

Ini membuat generasi muda harus menimbang antara cicilan kredit rumah dengan biaya transportasi. "Solusinya adalah generasi muda perlu melakukan investasi sedini mungkin di produk yang memiliki imbal hasil minimal 15-20% per tahun," tegasnya.

Karenanya, para generasi muda disarankan untuk berinvestasi di indtrumen yang memiliki imbal hasil tinggi, sehingga memiliki dana yang bisa membuat kalangan muda lebih leluasa untuk memilih kawasan hunian yang diinginkan.

"Generasi muda perlu jeli membaca produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan. Pendapatan sampingan itu bisa disisihkan untuk down payment rumah," paparnya.

Saat ini, generasi milenial dengan usia di bawah 34 tahun merupakan populasi yang paling besar. Mencapai hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Namun, yang menjadi persoalan, pertumbuhan pendapatan dari kelompok ini tidak terlalu tinggi.

Sedangkan harga properti terus naik setiap tahun. Adapun kenaikan pendapatan di kelompok ini, hanya meningkat 3%- 5 % untuk posisi tertentu dan tidak terjadi setiap tahun.

"Jadi pendapatan itu stagnan, harga rumah makin naik, semakin nggak kebeli. Jadi ini problem yang mendasar, sehingga generasi milenial itu generasi yang akan lebih sulit memiliki rumah," katanya.

Berdasarkan simulasi kredit pemilikan rumah didapatkan kesimpulan bahwa pekerja dengan gaji UMP (Rp4,4 juta) hanya mampu membeli rumah seharga Rp 168-200 juta. Perhitungan ini didasarkan pada cicilan maksimum yang bisa mereka bayar setiap bulannya yang senilai 35% dari gaji (Rp 1,5 juta).

Cicilan dibayar dalam jangka waktu 15 tahun, dan bunga tetap 8% per tahun. Uang senilai Rp 168 juta saat ini hanya dapat membeli rumah kecil (maksimum tipe 36) di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Sementara, kenaikan harga rumah kecil jauh lebih tinggi bahkan jika dibandingkan dengan kenaikan harga rumah besar. Terlebih Pandemi Covid-19 sempat membuat industri properti terperosok cukup dalam.

Selain inflasi, faktor lain yang membuat harga rumah mahal yakni supply dan demand. Dimana permintaan untuk kebutuhan tempat tinggal yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan.

Sementara Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan terus melaksanakan Program Sejuta Rumah (PSR) demi mendukung ketersediaan rumah bagi masyarakat. Meskipun masih dilanda pandemi, pembangunan tetap berjalan.

Realisasi Program Sejuta Rumah per tanggal 31 Desember 2021 lalu berhasil mencapai angka 1.105.707 unit rumah di seluruh Indonesia. Secara rinci, capaian Program Sejuta Rumah tahun 2021 tersebut terdiri dari 826.500 unit rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 279.207 unit rumah non MBR.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1394 seconds (0.1#10.140)