Suka Memberi Pinjaman, Apakah China Punya Utang?
loading...
A
A
A
JAKARTA - China merupakan salah satu negara maju di dunia . Berada di kawasan Asia Timur, China dikenal sebagai negara yang dermawan, karena suka memberi pinjaman atau utang ke negara-negara lain di dunia.
Mereka tidak segan mengeluarkan nominal besar untuk negara-negara yang memang menginginkan pinjaman darinya. Hanya saja, di sisi lain China membuat kontrak atau perjanjian yang cukup menguntungkan baginya ketika negara yang bersangkutan tidak bisa melunasinya. Sebagian menganggapnya dengan istilah ‘Jebakan Utang China’.
Baca juga : Negara-negara Ini Disebut-sebut Jadi Korban Jebakan Utang China
Dalam hal ini, mungkin kerap muncul pertanyaan. Sebagai negara yang suka memberi pinjaman, apakah China juga memiliki hutang sendiri atau tidak. Jawabannya adalah punya.
Dikutip dari South China Morning Post, Rabu (27/7/2022), utang China pada akhir 2020 adalah sekitar 270,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Secara garis besar utang China terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Pada tahun 2020, tingkat utang China mengalami kenaikan signifikan. Akibat utamanya karena kebijakan fiskal yang dicanangkan untuk menghidupkan kembali roda ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19.
Lembaga Keuangan dan Pembangunan Nasional China (NFID) menempatkan utang negara secara keseluruhan pada angka 270,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2020, naik dari 246,5 persen pada akhir 2019.
Utang luar negeri China sendiri, termasuk utang dolar AS mencapai USD 2,4 triliun pada akhir tahun 2020. Angka ini naik 4 persen dibandingkan dengan nilai total akhir September 2020, menurut Administrasi Valuta Asing China.
Melihat sedikit ke belakang, utang domestik China telah tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata sekitar 20 persen sejak 2008. Dalam upaya untuk melawan dampak krisis keuangan global, Beijing mengeluarkan paket stimulus 4 triliun yuan (USD 586 miliar) pada tahun 2008 untuk meningkatkan nilai ekonominya. Akibatnya, terjadi lonjakan pinjaman oleh pemerintah daerah dan perusahaan milik negara.
Setelahnya, sejak 2016 China telah meningkatkan upaya untuk mengurangi tumpukan utangnya guna mengekang risiko keuangan. Mereka menggunakan kampanye deleveraging yang dipimpin oleh bank sentral. Sayangnya, pandemi covid muncul dan membuat rasio leverage keseluruhan China naik kembali.
Baca juga : Terjebak Utang China, Sri Lanka Pinjam ke IMF dan Bank Dunia
Terbaru, utang China di tahun 2022 ini diperkirakan akan meningkat. Dikutip dari Bloomberg, Direktur Lembaga Nasional untuk Keuangan dan Pembangunan, Zhang Xiaojing mengatakan bahwa rasio leverage keseluruhan total utang berdasarkan PDB akan mengalami kenaikan sekitar 11,3 persen menjadi 275 persen tahun ini.
Dia mengaitkan kenaikan ini sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China. Namun, menurut Zhang sendiri mengklaim angka tersebut tidak akan membawa banyak risiko kedepannya.
Seperti yang diketahui, pasca pandemi China mengalami kemerosotan di bidang properti. Selain itu, pemerintah juga menekankan komitmen untuk Covid Zero di negaranya. Dalam hal ini, para ekonom China khawatir bahwa target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,5 persen dalam bahaya dan bisa gagal terealisasi.
Mereka tidak segan mengeluarkan nominal besar untuk negara-negara yang memang menginginkan pinjaman darinya. Hanya saja, di sisi lain China membuat kontrak atau perjanjian yang cukup menguntungkan baginya ketika negara yang bersangkutan tidak bisa melunasinya. Sebagian menganggapnya dengan istilah ‘Jebakan Utang China’.
Baca juga : Negara-negara Ini Disebut-sebut Jadi Korban Jebakan Utang China
Dalam hal ini, mungkin kerap muncul pertanyaan. Sebagai negara yang suka memberi pinjaman, apakah China juga memiliki hutang sendiri atau tidak. Jawabannya adalah punya.
Dikutip dari South China Morning Post, Rabu (27/7/2022), utang China pada akhir 2020 adalah sekitar 270,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Secara garis besar utang China terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Pada tahun 2020, tingkat utang China mengalami kenaikan signifikan. Akibat utamanya karena kebijakan fiskal yang dicanangkan untuk menghidupkan kembali roda ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19.
Lembaga Keuangan dan Pembangunan Nasional China (NFID) menempatkan utang negara secara keseluruhan pada angka 270,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2020, naik dari 246,5 persen pada akhir 2019.
Utang luar negeri China sendiri, termasuk utang dolar AS mencapai USD 2,4 triliun pada akhir tahun 2020. Angka ini naik 4 persen dibandingkan dengan nilai total akhir September 2020, menurut Administrasi Valuta Asing China.
Melihat sedikit ke belakang, utang domestik China telah tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata sekitar 20 persen sejak 2008. Dalam upaya untuk melawan dampak krisis keuangan global, Beijing mengeluarkan paket stimulus 4 triliun yuan (USD 586 miliar) pada tahun 2008 untuk meningkatkan nilai ekonominya. Akibatnya, terjadi lonjakan pinjaman oleh pemerintah daerah dan perusahaan milik negara.
Setelahnya, sejak 2016 China telah meningkatkan upaya untuk mengurangi tumpukan utangnya guna mengekang risiko keuangan. Mereka menggunakan kampanye deleveraging yang dipimpin oleh bank sentral. Sayangnya, pandemi covid muncul dan membuat rasio leverage keseluruhan China naik kembali.
Baca juga : Terjebak Utang China, Sri Lanka Pinjam ke IMF dan Bank Dunia
Terbaru, utang China di tahun 2022 ini diperkirakan akan meningkat. Dikutip dari Bloomberg, Direktur Lembaga Nasional untuk Keuangan dan Pembangunan, Zhang Xiaojing mengatakan bahwa rasio leverage keseluruhan total utang berdasarkan PDB akan mengalami kenaikan sekitar 11,3 persen menjadi 275 persen tahun ini.
Dia mengaitkan kenaikan ini sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China. Namun, menurut Zhang sendiri mengklaim angka tersebut tidak akan membawa banyak risiko kedepannya.
Seperti yang diketahui, pasca pandemi China mengalami kemerosotan di bidang properti. Selain itu, pemerintah juga menekankan komitmen untuk Covid Zero di negaranya. Dalam hal ini, para ekonom China khawatir bahwa target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,5 persen dalam bahaya dan bisa gagal terealisasi.
(bim)