Pemulihan Ekonomi, Kemenkeu: BI Akan Tanggung 100% Beban Bunga Utang

Selasa, 30 Juni 2020 - 09:14 WIB
loading...
Pemulihan Ekonomi, Kemenkeu:...
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kabar melegakan datang dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI) yang akan saling bersinergi untuk memulihkan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19.

Sebelumnya beredar kabar hubungan pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu dan BI, tidak harmonis. Hal ini terlihat pada konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (24/6/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya menggandeng Kementerian BUMN dan Himbara tanpa melibatkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Gubernur BI Perry Warjiyo mengaku dirinya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengadakan janjian untuk bertemu menindaklanjuti upaya mendukung pemulihan ekonomi. “Kami berdua sudah janjian menindaklanjuti baik tata kelola dan lain-lain agar semua bisa bergerak baik untuk mendukung pemulihan ekonomi," papar Perry di Jakarta kemarin.

Perry mengaku, BI siap mendukung pemerintah tidak hanya terkait pendanaan, tapi juga dalam menanggung berbagi beban. “Pihaknya bersama Menteri Keuangan akan memantapkan konsolidasi dalam pekan ini,” jelasnya. (Baca: Sandiaga Uno: Program Pemulihan Ekonomi Berjalan Sangat Pelan)

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sudah membicarakan perihal berbagi beban dengan BI. "Kami bicara dengan BI mengenai langkah-langkah burden sharing yang masih kita upayakan untuk menjaga tata kelola yang baik antara BI dan Kemenkeu," katanya.

Sri Mulyani menuturkan, BI akan menanggung 100% beban bunga utang dengan tujuan mengurangi dampak krisis ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19 dalam kelompok penggunaan public goods, seperti sektor kesehatan, perlindungan sosial, sektoral, kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah.

Dia memerinci beban utang untuk non-public goods guna usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dengan skema burden sharing BI reverse repo rate dikurangI diskon 1% dan non-public goods korporasi non-UMKM dengan BI reverse repo rate. Sementara itu, pemerintah menanggung 100% beban bunga utang untuk kelompok penggunaan non-public goods lainnya.

"Pokoknya kami dengan BI akan bicarakan lagi langkah-langkah untuk burden sharing dan masih diupayakan untuk menjaga tata kelola yang baik antara BI dan Kemenkeu," kata dia.

Hubungan yang harmonis antara pemerintah, BI, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terus dipertahankan. Apalagi, kondisi keuangan negara tahun ini yang sangat berat ditambah beban pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, kondisi fiskal sedang kurang sehat karena dalam kurun waktu yang sangat pendek target defisit diperlebar dari 1,7% menjadi 6,3%.

"Ini bukan situasi yang normal. Dalam sejarah, baru kali ini defisit anggaran meningkat signifikan dalam satu tahun anggaran," ujarnya. (Baca juga: Interpol Tolak Permintaan Iran Tangkap Presiden Trump)

Di sisi lain, pelebaran defisit belum disertai dengan percepatan realisasi belanja stimulus. "Cukup aneh bila stimulus di bidang kesehatan 1% saja belum cair, padahal alokasinya Rp75 triliun. Ini akan berimplikasi pada pembengkakan utang lebih cepat dari realisasi belanjanya," ungkapnya.

Bhima melanjutkan, untuk sektor perpajakan perlu dibedakan relaksasi bagi pengusaha yang sudah patuh bayar pajak dengan ketegasan untuk mengejar kepatuhan pengusaha yang masih belum taat pajak.

"Apalagi pengusaha yang belum ikut tax amnesty. Itu harus di kejar. Kan sudah ada automatic exchange of information. Idealnya, pemerintah kejar wajib pajak di luar negeri. Ini momentumnya," jelasnya.

Menurut dia, jika mengandalkan wajib pajak yang sama tentu akan kontradiksi dengan banyaknya relaksasi yang diberikan pemerintah. "Tapi overall, sampai akhir tahun sepertinya shortfall penerimaan pajak akan lebar sekali. Bahkan, rasio pajak diperkirakan bisa di bawah 6%," imbuhnya.

Seperti diketahu, pemerintah merevisi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. (Lihat videonya: ASEAN dan China Berseteru, Kapal Induk AS Unjuk Kekuatan)

Hal ini untuk menjaga kualitas dan kesinambungan APBN tahun anggaran 2020 dalam rangka pemenuhan kebutuhan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. (Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1449 seconds (0.1#10.140)