BI: Potensi Stagflasi di Indonesia Perlu Diwaspadai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan potensi stagflasi di Indonesia perlu diwaspadai terutama karena tingginya harga komoditas pangan dan energi global. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juli 2022 tercatat sebesar 4,94% year on year (yoy) lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 4,35%.
"Inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile foods) tercatat sangat tinggi mencapai 11,47%, terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Menurut dia inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) juga meningkat menjadi 6,51% sejalan dengan kenaikan angkutan udara dan harga BBM nonsubsidi. Sementara itu, inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,86% didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Adapun tekanan inflasi IHK ke depan diperkirakan meningkat, didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global, serta kesenjangan pasokan. Inflasi inti dan ekspektasi inflasi berisiko meningkat akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
"Berbagai perkembangan tersebut dapat mendorong inflasi tahun 2022 dan 2023, berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah dengan Bank Indonesia untuk langkah-langkah pengendaliannya," pungkas Perry.
"Inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile foods) tercatat sangat tinggi mencapai 11,47%, terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Menurut dia inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) juga meningkat menjadi 6,51% sejalan dengan kenaikan angkutan udara dan harga BBM nonsubsidi. Sementara itu, inflasi inti masih relatif rendah sebesar 2,86% didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Adapun tekanan inflasi IHK ke depan diperkirakan meningkat, didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global, serta kesenjangan pasokan. Inflasi inti dan ekspektasi inflasi berisiko meningkat akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
"Berbagai perkembangan tersebut dapat mendorong inflasi tahun 2022 dan 2023, berisiko melebihi batas atas sasaran 3,0±1% dan karenanya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah dengan Bank Indonesia untuk langkah-langkah pengendaliannya," pungkas Perry.
(nng)