IMA Dorong Stakeholders Serius Tangani Penambangan Tanpa Izin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) mendorong seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) serius mengatasi praktik penambangan tanpa izin (PETI) yang belakangan kembali marak. Secara khusus, pemerintah daerah (pemda) dan Polri didorong proaktif dalam pencegahan kegiatan PETI sebelum semakin membesar.
"Yang sangat penting adalah koordinasi antara pemda, Kepolisian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," ujar Ketua IMA Rachmat Makkasau, Minggu (28/8/2022).
Menurut dia, peran vital penanganan PETI berada di pemda dan Kepolisian. Sementara kontribusi terbaik para pelaku industri pertambangan dalam hal ini menurutnya adalah memberikan laporan, khususnya jika ada indikasi kegiatan PETI di wilayah pertambangannya. Terkait dengan itu, tegas Rachmat, IMA selalu meminta anggotanya untuk bekoordinasi dengan pemda-Kepolisian dan Kementerian ESDM.
Rachmat berharap, kolaborasi pemda dan Kepolisian bisa mencegah kegiatan PETI sejak dini. Sebab, kegiatan penambangan secara ilegal ini akan semakin sulit diberantas jika skalanya berkembang menjadi besar.Kegiatan PETI disinyalir semakin tak terkendali ketika harga komoditas terus naik. Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga kuartal III-2021 terdapat 2.645 lokasi PETI tambang mineral dan 96 lokasi tambang batu bara. Kementerian ESDM juga menyebutkan, sekitar 3,7 juta pekerja terlibat dalam kegiatan PETI.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen (Pol) Pipit Rismanto mengatakan bahwa saat ini sudah ada koordinasi dan sinkronisasi data antara kepolisian dan Kementerian ESDM terhadap beberapa komoditas penambangan.
"Permasalahan PETI sangat kompleks, tidak bisa diselesaikan dengan berjalan sendiri-sendiri. Perlu penataan regulasi yang berkembang dan berkelanjutan yang mampu mendorong perekonomian daerah maupun nasional, koordinasi antarlembaga dan sinergi juga harus ditingkatkan," ujarnya dalam sebuah webinar.
Sementara, Direktur Eksekutif Diponegoro Center for Criminal Law Ade Adhari mengatakan, sedikitnya ada 5 kerugian akibat PETI di Indonesia. Selain kerusakan dan pencemaran lingkungan, juga kehilangan pendapatan negara serta tidak ada jaminan reklamasi dan pascatambang.
"Kegiatan PETI juga menghilangkan adanya kesempatan CSR tambang, tidak adanya kewajiban community development. Selain itu kehidupan masyarakat juga terancam," ujar Dosen Hukum Pidana Universitas Tarumanegara itu.
Ade menyebutkan, pemberian sanksi pidana diperlukan untuk pelaku PETI. Tujuannya adalah mempengaruhi masyarakat untuk tidak melanggar norma hukum administrasi melalui sanksi. Selain itu, melindungi kepentingan masyarakat luas agar terproteksi dari perbuatan tindak pidana administrasi.
Menurut dia, delik PETI mengacu pada UU Minerba pasal 158 dan 160. Pasal 158 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana pasal 35 dipidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. Adapun pasal 160 menyatakan bawah setiap orang yang punya IUP dan IUPK pada tahap kegiatan eksplorasi tapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
"Yang sangat penting adalah koordinasi antara pemda, Kepolisian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," ujar Ketua IMA Rachmat Makkasau, Minggu (28/8/2022).
Menurut dia, peran vital penanganan PETI berada di pemda dan Kepolisian. Sementara kontribusi terbaik para pelaku industri pertambangan dalam hal ini menurutnya adalah memberikan laporan, khususnya jika ada indikasi kegiatan PETI di wilayah pertambangannya. Terkait dengan itu, tegas Rachmat, IMA selalu meminta anggotanya untuk bekoordinasi dengan pemda-Kepolisian dan Kementerian ESDM.
Rachmat berharap, kolaborasi pemda dan Kepolisian bisa mencegah kegiatan PETI sejak dini. Sebab, kegiatan penambangan secara ilegal ini akan semakin sulit diberantas jika skalanya berkembang menjadi besar.Kegiatan PETI disinyalir semakin tak terkendali ketika harga komoditas terus naik. Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga kuartal III-2021 terdapat 2.645 lokasi PETI tambang mineral dan 96 lokasi tambang batu bara. Kementerian ESDM juga menyebutkan, sekitar 3,7 juta pekerja terlibat dalam kegiatan PETI.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen (Pol) Pipit Rismanto mengatakan bahwa saat ini sudah ada koordinasi dan sinkronisasi data antara kepolisian dan Kementerian ESDM terhadap beberapa komoditas penambangan.
"Permasalahan PETI sangat kompleks, tidak bisa diselesaikan dengan berjalan sendiri-sendiri. Perlu penataan regulasi yang berkembang dan berkelanjutan yang mampu mendorong perekonomian daerah maupun nasional, koordinasi antarlembaga dan sinergi juga harus ditingkatkan," ujarnya dalam sebuah webinar.
Sementara, Direktur Eksekutif Diponegoro Center for Criminal Law Ade Adhari mengatakan, sedikitnya ada 5 kerugian akibat PETI di Indonesia. Selain kerusakan dan pencemaran lingkungan, juga kehilangan pendapatan negara serta tidak ada jaminan reklamasi dan pascatambang.
"Kegiatan PETI juga menghilangkan adanya kesempatan CSR tambang, tidak adanya kewajiban community development. Selain itu kehidupan masyarakat juga terancam," ujar Dosen Hukum Pidana Universitas Tarumanegara itu.
Ade menyebutkan, pemberian sanksi pidana diperlukan untuk pelaku PETI. Tujuannya adalah mempengaruhi masyarakat untuk tidak melanggar norma hukum administrasi melalui sanksi. Selain itu, melindungi kepentingan masyarakat luas agar terproteksi dari perbuatan tindak pidana administrasi.
Menurut dia, delik PETI mengacu pada UU Minerba pasal 158 dan 160. Pasal 158 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana pasal 35 dipidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. Adapun pasal 160 menyatakan bawah setiap orang yang punya IUP dan IUPK pada tahap kegiatan eksplorasi tapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
(fai)