OJK Nilai HKI Berpotensi Besar Tumbuhkan Perekonomian Nasional sehingga Layak menjadi Obyek Jaminan Utang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 yang memperbolehkan lembaga bank maupun nonbank menjadikan hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai jaminan utang mendapat sambutan antusias masyarakat, terutama pelaku ekonomi kreatif.
PP yang ditandatangani Presiden Djoko Widodo pada 12 Juli 2022 ini dinilai sebagai harapan cerah bagi pelaku ekonomi kreatif yang selama ini kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank untuk memajukan usahanya. Kebijakan ini dinilai bank juga sebagai peluang alternatif untuk memperluas pangsa pasar.
Menyikapi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa ekosistem dan komersialisasi HKI memiliki potensi yang cukup besar untuk digali yang dapat berkontribusi besar untuk perekonomian nasional.
Sehingga OJK memastikan pihaknya mendukung secara penuh implementasi HKI sebagai salah satu objek jaminan utang. Namun tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan.
Dalam Webinar yang digelar hari ini, Kamis (1/9/2022), Dian Ediana Rae Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK menegaskan dilihat dari peraturan OJK yang berlaku saat ini, secara prinsip tidak terdapat larangan pada ketentuan OJK dalam menjadikan HKI sebagai agunan dari kredit/pembiayaan. “Namun terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, “ tegasnya.
Webinar yang bertajuk Prospek Hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai Jaminan Utang juga dihadiri sejumlah narasumber diantaranya Direktur Bisnis Konsumer BNI Corina Leyla Karnelies, Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf Nisa Niscaya, Guru Besar Fakultas Hukum Unair Pof. Dr. Rahmi Jened SH.MH dan Analis Hukum Ahli Madya Dirjen KI Kemenhukham Rikson Sitorus.
Corina Leyla Karnelies menyatakan bahwa HKI akan menjadi alternatif baru yang bisa berpeluang untuk memperluas pangsa pasar. “Pada dasarnya kami sedang mengeksplorasi . Dan kami melihat bahwa ini akan menjadi alternatif baru sehingga tidak mempersulit tetapi akan menjadi solusi, “ ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut Dian Ediana juga menyampaikan pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi HKI sebagai agunan. Di mana saat ini sedang dikaji dan disusun tim pengaturan sehingga akan membantu mempercepat implementasi HKI yang memang cukup dinanti-nantikan pegiat industri kreatif.
Ia menjelaskan HKI memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
Ia menjabarkan potensi pertama, HKI dapat menjadi insentif bagi usaha-usaha inovatif untuk menjaga hegemoni bisnisnya. Kedua, aset HKI berupa softskill, paten, atau lisensi dapat mendorong akselerasi bisnis melalui efisiensi proses bisnis yang diciptakan.
“Potensi ketiga adalah perusahaan intensif HKI pun cenderung lebih tahan terhadap krisis karena dianggap lebih cepat dan mudah beradaptasi seperti perusahaan berbasis teknologi yang layanannya cenderung lebih fleksibel mengikuti perkembangan tren (misalnya industri game, virtual reality, dan software),“ katanya.
Keempat, menurutnya yang tidak kalah penting, HKI yang terdaftar dapat dioptimalkan untuk memperoleh pendapatan pasif secara regular, misal pendapatan yang berasal dari royalti dan paten yang selama ini sebenarnya sudah berjalan namun marketnya belum begitu besar.
Meski demikian pihaknya mengakui terdapat tantangan agar HKI dapat masuk menjadi agunan kredit/pembiayaan. Di antaranya, pertama, perkembangan HKI menyebabkan persaingan antar industry di dalamnya semakin kompetitif. Untuk UMKM berbasis HKI dapat mengalami kesulitan memasuki pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal.
“Kedua, dari sisi stabilitas sistem keuangan, HKI masih sering dinilai sebagai sektor dengan produktivitas rendah serta fluktuasi pada return maupun value yang tinggi sehingga dikategorikan menjadi penyumbang risiko stabilitas, sehingga pembiayaan berbasis HKI menuntut Bank menyiapan pencadangan yang lebih besar, “ katanya.
Ketiga, porsi investasi aset tidak berwujud dan porsinya yang relatif kecil yang dibiayai oleh pinjaman bank berpotensi melemahkan saluran transmisi kebijakan moneter, karena dinilai kurang responsif terhadap perubahan suku bunga.
Keempat, adanya dispersi biaya dimana keberhasilan skala ekonomi usaha berbasis HKI tergantung leader dan tren di sektor tersebut, serta tergantung dari tingkat inovasi baru yang ada di industri kreatif.
Oleh karena itu, terkait pengembangan potensi HKI, Dian Ediana menilai dukungan pemerintah sangat diperlukan. Sejumlah hal menurutnya dapat dilakukan pemerintah, dalam rangka mengakselerasi implementasi HKI sebagai objek jaminan utang. Di antaranya, dari sisi kelembagaan, pemerintah dapat membentuk instansi lembaga untuk registrasi, pencatatan transaksi, dan penjamin HKI. Lalu perlu diciptakan ekosistem dan market yang likuid dari berbagai produk dan jenis HKI.
“Dan yang tidak kalah penting, dukungan dalam hal insentif program penjaminan maupun subsidi bunga dari pemerintah melalui piloting HKI sebagai agunan, dengan demikian menciptakan confidence dari sisi perbankan maupun perusahaan pembiayaan, “ ungkapnya.
PP yang ditandatangani Presiden Djoko Widodo pada 12 Juli 2022 ini dinilai sebagai harapan cerah bagi pelaku ekonomi kreatif yang selama ini kesulitan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank untuk memajukan usahanya. Kebijakan ini dinilai bank juga sebagai peluang alternatif untuk memperluas pangsa pasar.
Menyikapi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa ekosistem dan komersialisasi HKI memiliki potensi yang cukup besar untuk digali yang dapat berkontribusi besar untuk perekonomian nasional.
Sehingga OJK memastikan pihaknya mendukung secara penuh implementasi HKI sebagai salah satu objek jaminan utang. Namun tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan.
Dalam Webinar yang digelar hari ini, Kamis (1/9/2022), Dian Ediana Rae Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK menegaskan dilihat dari peraturan OJK yang berlaku saat ini, secara prinsip tidak terdapat larangan pada ketentuan OJK dalam menjadikan HKI sebagai agunan dari kredit/pembiayaan. “Namun terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, “ tegasnya.
Webinar yang bertajuk Prospek Hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai Jaminan Utang juga dihadiri sejumlah narasumber diantaranya Direktur Bisnis Konsumer BNI Corina Leyla Karnelies, Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf Nisa Niscaya, Guru Besar Fakultas Hukum Unair Pof. Dr. Rahmi Jened SH.MH dan Analis Hukum Ahli Madya Dirjen KI Kemenhukham Rikson Sitorus.
Corina Leyla Karnelies menyatakan bahwa HKI akan menjadi alternatif baru yang bisa berpeluang untuk memperluas pangsa pasar. “Pada dasarnya kami sedang mengeksplorasi . Dan kami melihat bahwa ini akan menjadi alternatif baru sehingga tidak mempersulit tetapi akan menjadi solusi, “ ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut Dian Ediana juga menyampaikan pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi HKI sebagai agunan. Di mana saat ini sedang dikaji dan disusun tim pengaturan sehingga akan membantu mempercepat implementasi HKI yang memang cukup dinanti-nantikan pegiat industri kreatif.
Ia menjelaskan HKI memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
Ia menjabarkan potensi pertama, HKI dapat menjadi insentif bagi usaha-usaha inovatif untuk menjaga hegemoni bisnisnya. Kedua, aset HKI berupa softskill, paten, atau lisensi dapat mendorong akselerasi bisnis melalui efisiensi proses bisnis yang diciptakan.
“Potensi ketiga adalah perusahaan intensif HKI pun cenderung lebih tahan terhadap krisis karena dianggap lebih cepat dan mudah beradaptasi seperti perusahaan berbasis teknologi yang layanannya cenderung lebih fleksibel mengikuti perkembangan tren (misalnya industri game, virtual reality, dan software),“ katanya.
Keempat, menurutnya yang tidak kalah penting, HKI yang terdaftar dapat dioptimalkan untuk memperoleh pendapatan pasif secara regular, misal pendapatan yang berasal dari royalti dan paten yang selama ini sebenarnya sudah berjalan namun marketnya belum begitu besar.
Meski demikian pihaknya mengakui terdapat tantangan agar HKI dapat masuk menjadi agunan kredit/pembiayaan. Di antaranya, pertama, perkembangan HKI menyebabkan persaingan antar industry di dalamnya semakin kompetitif. Untuk UMKM berbasis HKI dapat mengalami kesulitan memasuki pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal.
“Kedua, dari sisi stabilitas sistem keuangan, HKI masih sering dinilai sebagai sektor dengan produktivitas rendah serta fluktuasi pada return maupun value yang tinggi sehingga dikategorikan menjadi penyumbang risiko stabilitas, sehingga pembiayaan berbasis HKI menuntut Bank menyiapan pencadangan yang lebih besar, “ katanya.
Ketiga, porsi investasi aset tidak berwujud dan porsinya yang relatif kecil yang dibiayai oleh pinjaman bank berpotensi melemahkan saluran transmisi kebijakan moneter, karena dinilai kurang responsif terhadap perubahan suku bunga.
Keempat, adanya dispersi biaya dimana keberhasilan skala ekonomi usaha berbasis HKI tergantung leader dan tren di sektor tersebut, serta tergantung dari tingkat inovasi baru yang ada di industri kreatif.
Oleh karena itu, terkait pengembangan potensi HKI, Dian Ediana menilai dukungan pemerintah sangat diperlukan. Sejumlah hal menurutnya dapat dilakukan pemerintah, dalam rangka mengakselerasi implementasi HKI sebagai objek jaminan utang. Di antaranya, dari sisi kelembagaan, pemerintah dapat membentuk instansi lembaga untuk registrasi, pencatatan transaksi, dan penjamin HKI. Lalu perlu diciptakan ekosistem dan market yang likuid dari berbagai produk dan jenis HKI.
“Dan yang tidak kalah penting, dukungan dalam hal insentif program penjaminan maupun subsidi bunga dari pemerintah melalui piloting HKI sebagai agunan, dengan demikian menciptakan confidence dari sisi perbankan maupun perusahaan pembiayaan, “ ungkapnya.
(ars)