Ekonom Terkejut BI di Luar Kebiasaan Kerek Suku Bunga Acuan 50 Bps, Begini Efeknya
loading...
A
A
A
Dengan kenaikan BI rate sebesar itu diharapkan pergerakan nilai tukar Rupiah akan sesuai dengan kondisi fundamentalnya di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dia mengatakan, di sini sebenarnya amunisi penguatan Rupiah cukup tersedia, antara lain baik dari kondisi perekonomian saat ini maupun perkiraan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan ekspektasi pasar, terutama dengan masih kuatnya dorongan konsumsi rumah tangga ditopang dengan konsistensi surplus neraca dagang selama berbulan-bulan dan terakhir pada Agustus lalu sebesar USD5,76 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD4,22 miliar.
Hal lain, kabar baik datang dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang kemarin merevisi ke atas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi sebesar 5,4% yang memberikan kepercayaan lebih tinggi pada pelaku pasar. ADB juga merevisi sedikit ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, dari 5,2% pada proyeksi sebelumnya menjadi 5%, atau turun 0,2%, disebabkan perkiraan tantangan ekonomi dunia yang berdampak ke Indonesia dan juga karena berlakunya normalisasi kebijakan ekonomi maupun moneter di sejumlah negara di dunia.
Sementara laju inflasi tahun depan diperkirakan berada di level tinggi, yakni 5,1% atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang 3%. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan BI menaikkan BI Rate kali ini sebesar 50 bps.
"Seperti pada RDG BI bulan-bulan sebelumnya yang selalu mengusung semangat optimisme, maka hasil keputusan RDG BI kali ini dengan tema Sinergi Menjaga Stabilitas dan Momentum Pemulihan juga memberikan nuansa yang sama. Bahwa, stance bank sentral adalah tetap mengupayakan untuk bisa menjaga stabilitas makroekonomi (terutama nilai tukar yang stabil dan pengendalian laju inflasi pasca kenaikan harga BBM) serta menopang pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menyusul keberhasilan pengendalian pandemi COVID-19," terang Ryan.
Dengan kenaikan BI rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, memberikan indikasi bahwa langkah kebijakan pengetatan sudah dimulai. Maka sektor keuangan, termasuk perbankan, tentu akan meresponnya dengan hati-hati untuk tetap dapat menetapkan pricing atau suku bunga yang sesuai dan akomodatif dengan kondisi likuiditas masing-masing bank.
Di sisi pelaku dunia usaha tentunya juga akan melakukan kalkulasi ulang baik pada posisi penempatan dananya (sebagai deposan) maupun pada posisi selaku peminjam dana (obligor atau debitur).
"Peninjauan ulang terhadap pos-pos biaya atau pengeluaran tetap dan tidak tetap (variabel biaya) maupun pos-pos penerimaan (tetap dan tidak tetap) juga harus dilakukan agar laju arus kas, kondisi likuiditas dan profitabilitas tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan," tambah Ruan.
Intinya, pelaku sektor keuangan dan dunia usaha tetap harus tenang menyikapi kebijakan bank sentral yang kali ini menunjukkan sinyal pengetatan ini.
Dia mengatakan, di sini sebenarnya amunisi penguatan Rupiah cukup tersedia, antara lain baik dari kondisi perekonomian saat ini maupun perkiraan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan ekspektasi pasar, terutama dengan masih kuatnya dorongan konsumsi rumah tangga ditopang dengan konsistensi surplus neraca dagang selama berbulan-bulan dan terakhir pada Agustus lalu sebesar USD5,76 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD4,22 miliar.
Hal lain, kabar baik datang dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang kemarin merevisi ke atas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi sebesar 5,4% yang memberikan kepercayaan lebih tinggi pada pelaku pasar. ADB juga merevisi sedikit ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, dari 5,2% pada proyeksi sebelumnya menjadi 5%, atau turun 0,2%, disebabkan perkiraan tantangan ekonomi dunia yang berdampak ke Indonesia dan juga karena berlakunya normalisasi kebijakan ekonomi maupun moneter di sejumlah negara di dunia.
Sementara laju inflasi tahun depan diperkirakan berada di level tinggi, yakni 5,1% atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang 3%. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan BI menaikkan BI Rate kali ini sebesar 50 bps.
"Seperti pada RDG BI bulan-bulan sebelumnya yang selalu mengusung semangat optimisme, maka hasil keputusan RDG BI kali ini dengan tema Sinergi Menjaga Stabilitas dan Momentum Pemulihan juga memberikan nuansa yang sama. Bahwa, stance bank sentral adalah tetap mengupayakan untuk bisa menjaga stabilitas makroekonomi (terutama nilai tukar yang stabil dan pengendalian laju inflasi pasca kenaikan harga BBM) serta menopang pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menyusul keberhasilan pengendalian pandemi COVID-19," terang Ryan.
Dengan kenaikan BI rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, memberikan indikasi bahwa langkah kebijakan pengetatan sudah dimulai. Maka sektor keuangan, termasuk perbankan, tentu akan meresponnya dengan hati-hati untuk tetap dapat menetapkan pricing atau suku bunga yang sesuai dan akomodatif dengan kondisi likuiditas masing-masing bank.
Di sisi pelaku dunia usaha tentunya juga akan melakukan kalkulasi ulang baik pada posisi penempatan dananya (sebagai deposan) maupun pada posisi selaku peminjam dana (obligor atau debitur).
"Peninjauan ulang terhadap pos-pos biaya atau pengeluaran tetap dan tidak tetap (variabel biaya) maupun pos-pos penerimaan (tetap dan tidak tetap) juga harus dilakukan agar laju arus kas, kondisi likuiditas dan profitabilitas tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan," tambah Ruan.
Intinya, pelaku sektor keuangan dan dunia usaha tetap harus tenang menyikapi kebijakan bank sentral yang kali ini menunjukkan sinyal pengetatan ini.