Ekonom Terkejut BI di Luar Kebiasaan Kerek Suku Bunga Acuan 50 Bps, Begini Efeknya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25% menurut ekonom menjadi langkah yang mengejutkan. Selain itu juga diikuti kenaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,50% dan kenaikan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,00%.
"Dapat dikatakan keputusan itu cukup mengejutkan, karena mayoritas ekonom memperkirakan kenaikan BI rate hanya sebesar 25 bps menjadi 4%. Pun demikian dengan besaran kenaikan Deposit facility dan Lending facility yang masing-masing sebesar 25 bps," ujar Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Maka, keputusan RDG BI kali ini menegaskan stance atau view bank sentral ke depan yang lebih ketat (hawkish) dengan pertimbangan utama ekspektasi inflasi yang melampaui sasaran inflasi yang 2-4% pasca kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Hanya sebagian kecil ekonom yang memperkirakan kenaikan sebesar 25 bps menjadi 4%. Dan mungkin tidak ada satu pun ekonom yang memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan dalam pengambilan keputusan kali ini.
"Secara umum latar belakang dan dasar pertimbangan kenaikan BI rate sebesar 50 bps, yang boleh dikatakan di luar kebiasaan karena biasanya kenaikan hanya 25 bps, dapat diterima dan logis. Salah satu tujuan utamanya aadalah jelas untuk mengendalikan laju inflasi agar tidak berada jauh di luar koridor ekspektasi dan target inflasi yang 2-4% di akhir tahun ini," jelas Ryan.
Kalau pun pada akhirnya realisasi inflasi tahunan akan melampaui sasaran yang batas atasnya 4%, namun pelampauannya tidak berlebihan atau eksesif sehingga berpotensi mendistorsi roda perekonomian nasional.
"Dengan keputusan yang terbilang upfront loading atau front loaded ini, maka stance BI yang ahead the curve ingin menegaskan bahwa BI sejatinya sudah mengambil langkah setapak di depan (forward looking oriented) untuk melandaikan laju inflasi ke sasaran pada pertengahan 2023 nanti sesuai targetnya yang 2-4%," ungkap Ryan.
Paralel dengan itu, keputusan kali ini juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar terhadap mata uang kuat dunia, terutama dolar AS yang akhir-akhir ini mengalami apresiasi yang luar biasa yang menimbulkan fenomena super strong US Dollar menyusul kenaikan suku bunga The Fed (fed fund rate/FFR) yang agresif sebesar 75 bps pada September ini menjadi 3,0-3,25%.
"Maka, kenaikan BI rate sebesar 50 bps ini memberikan isyarat bahwa BI benar-benar melakukan asesmen yang sangat hati-hati dan terukur dengan melihat perkembangan dinamika domestik (internal) dan internasional (eksternal)," ungkapnya.
Dengan kenaikan BI rate sebesar itu diharapkan pergerakan nilai tukar Rupiah akan sesuai dengan kondisi fundamentalnya di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dia mengatakan, di sini sebenarnya amunisi penguatan Rupiah cukup tersedia, antara lain baik dari kondisi perekonomian saat ini maupun perkiraan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan ekspektasi pasar, terutama dengan masih kuatnya dorongan konsumsi rumah tangga ditopang dengan konsistensi surplus neraca dagang selama berbulan-bulan dan terakhir pada Agustus lalu sebesar USD5,76 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD4,22 miliar.
Hal lain, kabar baik datang dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang kemarin merevisi ke atas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi sebesar 5,4% yang memberikan kepercayaan lebih tinggi pada pelaku pasar. ADB juga merevisi sedikit ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, dari 5,2% pada proyeksi sebelumnya menjadi 5%, atau turun 0,2%, disebabkan perkiraan tantangan ekonomi dunia yang berdampak ke Indonesia dan juga karena berlakunya normalisasi kebijakan ekonomi maupun moneter di sejumlah negara di dunia.
Sementara laju inflasi tahun depan diperkirakan berada di level tinggi, yakni 5,1% atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang 3%. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan BI menaikkan BI Rate kali ini sebesar 50 bps.
"Seperti pada RDG BI bulan-bulan sebelumnya yang selalu mengusung semangat optimisme, maka hasil keputusan RDG BI kali ini dengan tema Sinergi Menjaga Stabilitas dan Momentum Pemulihan juga memberikan nuansa yang sama. Bahwa, stance bank sentral adalah tetap mengupayakan untuk bisa menjaga stabilitas makroekonomi (terutama nilai tukar yang stabil dan pengendalian laju inflasi pasca kenaikan harga BBM) serta menopang pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menyusul keberhasilan pengendalian pandemi COVID-19," terang Ryan.
Dengan kenaikan BI rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, memberikan indikasi bahwa langkah kebijakan pengetatan sudah dimulai. Maka sektor keuangan, termasuk perbankan, tentu akan meresponnya dengan hati-hati untuk tetap dapat menetapkan pricing atau suku bunga yang sesuai dan akomodatif dengan kondisi likuiditas masing-masing bank.
Di sisi pelaku dunia usaha tentunya juga akan melakukan kalkulasi ulang baik pada posisi penempatan dananya (sebagai deposan) maupun pada posisi selaku peminjam dana (obligor atau debitur).
"Peninjauan ulang terhadap pos-pos biaya atau pengeluaran tetap dan tidak tetap (variabel biaya) maupun pos-pos penerimaan (tetap dan tidak tetap) juga harus dilakukan agar laju arus kas, kondisi likuiditas dan profitabilitas tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan," tambah Ruan.
Intinya, pelaku sektor keuangan dan dunia usaha tetap harus tenang menyikapi kebijakan bank sentral yang kali ini menunjukkan sinyal pengetatan ini.
Sebab, bank sentral juga masih memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan non bunga, antara lain melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder (operation twist) untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah, melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada aspek profitabilitas bank.
Mendorong percepatan dan perluasan implementasi digitalisasi pembayaran di daerah melalui pemanfaatan momentum pelaksanaan dan penetapan pemenang Championship Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD).
"Dan mendorong akselerasi pencapaian QRIS 15 juta pengguna serta peningkatan penggunaan BI-FAST dalam transaksi pembayaran," pungkas Ryan.
"Dapat dikatakan keputusan itu cukup mengejutkan, karena mayoritas ekonom memperkirakan kenaikan BI rate hanya sebesar 25 bps menjadi 4%. Pun demikian dengan besaran kenaikan Deposit facility dan Lending facility yang masing-masing sebesar 25 bps," ujar Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Maka, keputusan RDG BI kali ini menegaskan stance atau view bank sentral ke depan yang lebih ketat (hawkish) dengan pertimbangan utama ekspektasi inflasi yang melampaui sasaran inflasi yang 2-4% pasca kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak).
Hanya sebagian kecil ekonom yang memperkirakan kenaikan sebesar 25 bps menjadi 4%. Dan mungkin tidak ada satu pun ekonom yang memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan dalam pengambilan keputusan kali ini.
"Secara umum latar belakang dan dasar pertimbangan kenaikan BI rate sebesar 50 bps, yang boleh dikatakan di luar kebiasaan karena biasanya kenaikan hanya 25 bps, dapat diterima dan logis. Salah satu tujuan utamanya aadalah jelas untuk mengendalikan laju inflasi agar tidak berada jauh di luar koridor ekspektasi dan target inflasi yang 2-4% di akhir tahun ini," jelas Ryan.
Kalau pun pada akhirnya realisasi inflasi tahunan akan melampaui sasaran yang batas atasnya 4%, namun pelampauannya tidak berlebihan atau eksesif sehingga berpotensi mendistorsi roda perekonomian nasional.
"Dengan keputusan yang terbilang upfront loading atau front loaded ini, maka stance BI yang ahead the curve ingin menegaskan bahwa BI sejatinya sudah mengambil langkah setapak di depan (forward looking oriented) untuk melandaikan laju inflasi ke sasaran pada pertengahan 2023 nanti sesuai targetnya yang 2-4%," ungkap Ryan.
Paralel dengan itu, keputusan kali ini juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar terhadap mata uang kuat dunia, terutama dolar AS yang akhir-akhir ini mengalami apresiasi yang luar biasa yang menimbulkan fenomena super strong US Dollar menyusul kenaikan suku bunga The Fed (fed fund rate/FFR) yang agresif sebesar 75 bps pada September ini menjadi 3,0-3,25%.
"Maka, kenaikan BI rate sebesar 50 bps ini memberikan isyarat bahwa BI benar-benar melakukan asesmen yang sangat hati-hati dan terukur dengan melihat perkembangan dinamika domestik (internal) dan internasional (eksternal)," ungkapnya.
Dengan kenaikan BI rate sebesar itu diharapkan pergerakan nilai tukar Rupiah akan sesuai dengan kondisi fundamentalnya di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dia mengatakan, di sini sebenarnya amunisi penguatan Rupiah cukup tersedia, antara lain baik dari kondisi perekonomian saat ini maupun perkiraan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan ekspektasi pasar, terutama dengan masih kuatnya dorongan konsumsi rumah tangga ditopang dengan konsistensi surplus neraca dagang selama berbulan-bulan dan terakhir pada Agustus lalu sebesar USD5,76 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar USD4,22 miliar.
Hal lain, kabar baik datang dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang kemarin merevisi ke atas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi sebesar 5,4% yang memberikan kepercayaan lebih tinggi pada pelaku pasar. ADB juga merevisi sedikit ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, dari 5,2% pada proyeksi sebelumnya menjadi 5%, atau turun 0,2%, disebabkan perkiraan tantangan ekonomi dunia yang berdampak ke Indonesia dan juga karena berlakunya normalisasi kebijakan ekonomi maupun moneter di sejumlah negara di dunia.
Sementara laju inflasi tahun depan diperkirakan berada di level tinggi, yakni 5,1% atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang 3%. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan BI menaikkan BI Rate kali ini sebesar 50 bps.
"Seperti pada RDG BI bulan-bulan sebelumnya yang selalu mengusung semangat optimisme, maka hasil keputusan RDG BI kali ini dengan tema Sinergi Menjaga Stabilitas dan Momentum Pemulihan juga memberikan nuansa yang sama. Bahwa, stance bank sentral adalah tetap mengupayakan untuk bisa menjaga stabilitas makroekonomi (terutama nilai tukar yang stabil dan pengendalian laju inflasi pasca kenaikan harga BBM) serta menopang pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menyusul keberhasilan pengendalian pandemi COVID-19," terang Ryan.
Dengan kenaikan BI rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, memberikan indikasi bahwa langkah kebijakan pengetatan sudah dimulai. Maka sektor keuangan, termasuk perbankan, tentu akan meresponnya dengan hati-hati untuk tetap dapat menetapkan pricing atau suku bunga yang sesuai dan akomodatif dengan kondisi likuiditas masing-masing bank.
Di sisi pelaku dunia usaha tentunya juga akan melakukan kalkulasi ulang baik pada posisi penempatan dananya (sebagai deposan) maupun pada posisi selaku peminjam dana (obligor atau debitur).
"Peninjauan ulang terhadap pos-pos biaya atau pengeluaran tetap dan tidak tetap (variabel biaya) maupun pos-pos penerimaan (tetap dan tidak tetap) juga harus dilakukan agar laju arus kas, kondisi likuiditas dan profitabilitas tetap terjaga dengan baik dan berkelanjutan," tambah Ruan.
Intinya, pelaku sektor keuangan dan dunia usaha tetap harus tenang menyikapi kebijakan bank sentral yang kali ini menunjukkan sinyal pengetatan ini.
Sebab, bank sentral juga masih memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan non bunga, antara lain melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder (operation twist) untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah, melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada aspek profitabilitas bank.
Mendorong percepatan dan perluasan implementasi digitalisasi pembayaran di daerah melalui pemanfaatan momentum pelaksanaan dan penetapan pemenang Championship Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD).
"Dan mendorong akselerasi pencapaian QRIS 15 juta pengguna serta peningkatan penggunaan BI-FAST dalam transaksi pembayaran," pungkas Ryan.
(akr)