ACE Proyeksikan Energi Fosil Masih Jadi Idaman hingga 2050
loading...
A
A
A
JAKARTA - ASEAN Centre for Energy (ACE) merilis laporan prospek energi ASEAN edisi ke-7 (The 7th ASEAN Energy Outlook/ AEO7) pada 40th ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM). Publikasi tersebut untuk mendukung realisasi ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) melalui empat jalur berbeda hingga 2050 untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
Direktur Eksekutif ACE Dr. Nuki Agya Utama mengatakan bahwa ASEAN memiiliki prospek kepemimpinan di bidang energi masa depan. Hal itu dilihat dari hasil pengumpulan data, pemodelan, penulisan, dan diseminasi. Laporan prospek energi ini dikembangkan oleh ACE yang bekerja sama dengan pakar nasional dari Negara Anggota ASEAN dan dipandu oleh Jaringan Sub-sektor Kebijakan dan Perencanaan Energi Regional ASEAN (REPP-SSN).
Dukungan juga diberikan oleh Deutsche Gesellschaft fĂĽr Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui Program Energi ASEAN-Jerman (AGEP), Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang, dan ASEAN Climate Change and Energy Project (ACCEPT).
"ACE berhasil mencapai tonggak sejarah dengan melakukan pemodelan kerja in-house hingga 100% dalam pengembangan AEO7, yang kian memperkuat status ACE sebagai think tank ASEAN di bidang energi dan mewujudkan semangat 'dari ASEAN, oleh ASEAN, dan untuk ASEAN," kata Nuki dalam keterangan resminya, Rabu (28/9/2022).
Nuki mengatakan dalam upaya menjawab dinamika energi global dan mengeksplorasi inovasi teknologi yang ditulis dalam APAEC fase ke-2, kata dia, AEO7 memperkenalkan Skenario Optimalisasi Biaya Terkecil (Least-Cost Optimization/ LCO), yang memproyeksikan masa depan yang lebih realistis melalui cerminan semua teknologi yang berpotensi layak di negara berkembang seperti ASEAN.
"Kami yakin AEO7 dapat membuka jalan kesempatan untuk kemitraan yang lebih kolaboratif guna kemajuan, keamanan dan ketahanan energi di ASEAN," kata Nuki.
Adapun beberapa temuan-temuan yang dimuat dalam AEO7. Pertama, pertumbuhan permintaan energi di ASEAN akan terus meningkat hingga tahun 2050, diperkirakan meningkat tiga kali lipat dari tahun 2020. Bahan bakar fosil tetap menjadi komponen terbesar dari sistem energi.
Tanpa upaya yang signifikan, kawasan ini dapat menjadi net importir gas pada tahun 2025 dan net importir batubara pada tahun 2039. Transisi energi yang aman dan tangguh adalah kuncinya. Kedua, Upaya ASEAN saat ini menunjukan bahwa pangsa Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mengungguli target kapasitas terpasang sebesar 2,9% pada tahun 2025. Sebaliknya, bagian EBT dalam total pasokan energi akan berkurang sebesar 5,5% dan pengurangan intensitas energi berkurang sebesar 2,8%.
Ketiga, Skenario LCO menyoroti upaya alternatif diatas tahun 2025 yang hemat biaya, di mana sistem pembangkit listrik dapat menelan biaya USD174,7 miliar lebih rendah dari skenario target regional tahun 2021-2050 hal itu tak lain ialah untuk mengamankan wilayah yang dianggap sebagai jaringan listrik ASEAN dan sistem penyimpanan baterai dan energi.
Terakhir, penerapan EBT yang kuat dalam skenario kebijakan regional akan menghasilkan emisi sebesar 4,3 tCO2e/kapita (25% lebih rendah dari baseline), 5,5 juta pekerjaan pada tahun 2050, dan 8,8 juta hektar lahan yang dibutuhkan untuk biofuel.
Lihat Juga: ASEAN Women Entrepreneurs Conference 2024: Mendorong Berkelanjutan, Inklusif dan Tangguh
Direktur Eksekutif ACE Dr. Nuki Agya Utama mengatakan bahwa ASEAN memiiliki prospek kepemimpinan di bidang energi masa depan. Hal itu dilihat dari hasil pengumpulan data, pemodelan, penulisan, dan diseminasi. Laporan prospek energi ini dikembangkan oleh ACE yang bekerja sama dengan pakar nasional dari Negara Anggota ASEAN dan dipandu oleh Jaringan Sub-sektor Kebijakan dan Perencanaan Energi Regional ASEAN (REPP-SSN).
Dukungan juga diberikan oleh Deutsche Gesellschaft fĂĽr Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui Program Energi ASEAN-Jerman (AGEP), Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) Jepang, dan ASEAN Climate Change and Energy Project (ACCEPT).
"ACE berhasil mencapai tonggak sejarah dengan melakukan pemodelan kerja in-house hingga 100% dalam pengembangan AEO7, yang kian memperkuat status ACE sebagai think tank ASEAN di bidang energi dan mewujudkan semangat 'dari ASEAN, oleh ASEAN, dan untuk ASEAN," kata Nuki dalam keterangan resminya, Rabu (28/9/2022).
Nuki mengatakan dalam upaya menjawab dinamika energi global dan mengeksplorasi inovasi teknologi yang ditulis dalam APAEC fase ke-2, kata dia, AEO7 memperkenalkan Skenario Optimalisasi Biaya Terkecil (Least-Cost Optimization/ LCO), yang memproyeksikan masa depan yang lebih realistis melalui cerminan semua teknologi yang berpotensi layak di negara berkembang seperti ASEAN.
"Kami yakin AEO7 dapat membuka jalan kesempatan untuk kemitraan yang lebih kolaboratif guna kemajuan, keamanan dan ketahanan energi di ASEAN," kata Nuki.
Adapun beberapa temuan-temuan yang dimuat dalam AEO7. Pertama, pertumbuhan permintaan energi di ASEAN akan terus meningkat hingga tahun 2050, diperkirakan meningkat tiga kali lipat dari tahun 2020. Bahan bakar fosil tetap menjadi komponen terbesar dari sistem energi.
Tanpa upaya yang signifikan, kawasan ini dapat menjadi net importir gas pada tahun 2025 dan net importir batubara pada tahun 2039. Transisi energi yang aman dan tangguh adalah kuncinya. Kedua, Upaya ASEAN saat ini menunjukan bahwa pangsa Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mengungguli target kapasitas terpasang sebesar 2,9% pada tahun 2025. Sebaliknya, bagian EBT dalam total pasokan energi akan berkurang sebesar 5,5% dan pengurangan intensitas energi berkurang sebesar 2,8%.
Ketiga, Skenario LCO menyoroti upaya alternatif diatas tahun 2025 yang hemat biaya, di mana sistem pembangkit listrik dapat menelan biaya USD174,7 miliar lebih rendah dari skenario target regional tahun 2021-2050 hal itu tak lain ialah untuk mengamankan wilayah yang dianggap sebagai jaringan listrik ASEAN dan sistem penyimpanan baterai dan energi.
Baca Juga
Terakhir, penerapan EBT yang kuat dalam skenario kebijakan regional akan menghasilkan emisi sebesar 4,3 tCO2e/kapita (25% lebih rendah dari baseline), 5,5 juta pekerjaan pada tahun 2050, dan 8,8 juta hektar lahan yang dibutuhkan untuk biofuel.
Lihat Juga: ASEAN Women Entrepreneurs Conference 2024: Mendorong Berkelanjutan, Inklusif dan Tangguh
(nng)