Bukan Krisis Biasa, Sri Mulyani Sebut Luka Memar Akibat Pandemi Sangat Dalam

Kamis, 29 September 2022 - 13:28 WIB
loading...
Bukan Krisis Biasa, Sri Mulyani Sebut Luka Memar Akibat Pandemi Sangat Dalam
Menkeu Sri Mulyani. Foto/Dok Antara
A A A
JAKARTA - Pandemi COVID-19 yang menyapa sejak awal 2020 berdampak luas ke hampir semua sektor dan menyebabkan krisis yang luar biasa.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut krisis ini menorehkan luka dalam yang melebihi krisis-krisis yang pernah terjadi sebelumnya, seperti krisis moneter 1998 dan krisis ekonomi 2008. Kabar baiknya, kini pandemi sudah mulai bisa dikelola meski belum sepenuhnya pulih.

"Scarring effect atau luka memar yang diakibatkan pandemi ini sangat dalam, karena masalah utama di pandemi ini adalah terancamnya jiwa manusia," ujarnya dalam acara UOB Economic Outlook 2023 di Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Terlebih lagi, sambung dia, COVID-19 menjadi momok yang menakutkan karena pada waktu itu belum ditemukan obat dan juga vaksinnya.



Maka dari itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan pengetatan aktivitas masyarakat untuk mencegah penyebaran virus ini.

"Tetapi imbas pengetatan itu adalah lumpuhnya kegiatan ekonomi. Pembatasan-pembatasan tersebut sangat memukul industri dan bisnis di Indonesia, khususnya pelaku usaha kecil, apalagi Indonesia didominasi oleh perusahaan dan kegiatan sektor informal. Itu terpukul sangat dalam, jadi luka dari pandemi bukan hanya karena penyakit," tuturnya.

Menurut dia, hal ini menjadi pembeda yang jelas antara krisis akibat pandemi dengan krisis 1998 dan 2008. "Krisis keuangan di masa itu menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar. Neraca keuangan mereka terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok sehingga menyebabkan masalah pada sisi liability atau pinjaman," beber mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia.



Kendati penyebab dan masalahnya berbeda, dia menyebut pemerintah memiliki cara yang sama untuk menangani masalah yang terjadi, seperti memberikan relaksasi kredit.

"Karena kita menganggap para peminjam dari lembaga keuangan, terutama bank, pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," ucapnya.

Namun, lanjut dia, solusi ini saja tidak cukup untuk memulihkan luka memar pandemi yang sudah mendalam. Maka itu, pemerintah menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial ke masyarakat serta usaha kecil dan menengah. Misalnya, dengan menggelontorkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH)," urainya.

"Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako, bantuan terhadap UMKM, hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp5 juta sebulan,"imbuh Menkeu.



Sri menambahkan, langkah tersebut diambil pemerintah dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat tergantung pada arus uang harian, di mana arus uang ini sangat terpukul oleh pandemi.

"Ini yang kemudian Indonesia bisa mengendalikan COVID-19 dan bisa menjaga efek scarring-nya bisa diminimalkan. Indonesia tidak lockdown seperti di China, misalnya. Karena kalau sampai lockdown dilakukan secara penuh, dampaknya akan jauh lebih luas," tutup alumnus Universitas Indonesia itu.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2696 seconds (0.1#10.140)