Mengungkap 5 Penyebab Perlambatan Ekonomi China

Rabu, 05 Oktober 2022 - 09:48 WIB
loading...
Mengungkap 5 Penyebab Perlambatan Ekonomi China
Ekonomi china mengalami perlambatan, dan saat ekonomi terbesar kedua di dunia itu terus mengalami kontraksi, kemungkinan bisa meningkatkan ancaman resesi global. Intip 5 penyebabnya. Foto/Dok
A A A
BEIJING - Kebijakan zero-Covid menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi China , selain juga dipengaruhi oleh melemahnya permintaan global. Dijadwalkan pada minggu depan, China bakal merilis angka resmi pertumbuhan ekonomi secara kuartal untuk periode Juli-September 2022.



Jika ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengalami kontraksi, kemungkinan bisa meningkatkan ancaman resesi global . Para pejabat meragukan China mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi secara tahunan di angka 5,5%.

Ekonomi China pada kuartal II 2022 (year-on-year/yoy) tercatat hanya tumbuh 0,4% dan menjadi kinerja terburuk dalam dua tahun terakhir. Biro Statistik Nasional China mencatat kinerja tersebut jauh lebih rendah dari kinerja kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh 4,8%.

Angka itu juga meleset dari proyeksi ekonom dalam jajak pendapat Reuters, 1%. Jika dibandingkan kuartal I 2022, kinerja ekonomi periode April hingga Juni 2022 turun 2,6%.

Negara ini mungkin tidak sedang berjuang menghadapi lonjakan inflasi seperti AS (Amerika Serikat) dan Inggris. Tapi mereka punya masalah lain yakni banyak pabrik mengalami tekanan seiring anjloknya permintaan dan lebih sedikit pelanggan untuk produknya baik di dalam negeri maupun pasar internasional.



Ketegangan perdagangan antara China dan ekonomi utama seperti AS juga menghambat pertumbuhan. Sementara itu Yuan China berada di jalur terburuk dalam beberapa dekade usai anjlok terhadap dolar AS. Pelemahan mata uang Yuan menakuti investor, serta memicu ketidakpastian di pasar keuangan.

Kondisi ini juga mempersulit bank sentral untuk memompa uang ke dalam perekonomian. Semua terjadi ketika Presiden Xi Jinping mencoba mengamankan masa jabatannya untuk periode ketika yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kongres Partai Komunis (CPC) yang dimulai pada 16 Oktober.

Jadi apa sebenarnya yang salah?

1. Zero Covid Jadi Malapetaka

Wabah Covid di beberapa kota, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin telah mengganggu aktivitas ekonomi pada berbagai industri. Orang-orang tidak menghabiskan uang untuk hal-hal seperti makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, hingga menempatkan layanan utama di bawah tekanan.

Dari sisi manufaktur, aktivitas pabrik tampaknya telah naik kembali pada bulan September, menurut Biro Statistik Nasional. Rebound bisa terjadi karena pemerintah lebih banyak belanja infrastruktur.

Tapi hal tersebut terjadi setelah dua bulan di mana manufaktur tidak berkembang. Dan itu menimbulkan pertanyaan, terutama sejak survei swasta menunjukkan bahwa aktivitas pabrik sebenarnya turun pada bulan September, dengan permintaan memukul output, pesanan baru dan lapangan kerja.

Permintaan di negara-negara seperti AS juga telah menyusut karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi, inflasi dan perang di Ukraina. Para ahli sepakat bahwa Beijing dapat berbuat lebih banyak untuk merangsang ekonomi, tetapi tidak leluasa sampai kebijakan Zero-Covid berakhir.

"Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi, jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya," kata Kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings, Louis Kuijs.

2. Beijing Belum Berbuat Banyak

Beijing mulai bertindak, dimana pada bulan Agustus mengumumkan rencana 1 triliun yuan (USD203 miliar) untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur dan real estate. Tetapi para pejabat dapat berbuat lebih banyak untuk memicu pengeluaran agar bisa mencapai target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.

Termasuk di antaranya lebih banyak berinvestasi di infrastruktur, meringankan persyaratan pinjaman bagi individu, pengembang properti dan pemerintah daerah, serta keringanan pajak untuk rumah tangga.

"Respon pemerintah terhadap pelemahan ekonomi cukup sederhana dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama serangan pelemahan ekonomi sebelumnya," kata Kuijs.

3. Pasar Properti China Sedang Krisis

Lemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan tidak diragukan lagi memperlambat pertumbuhan.
Ini telah memukul ekonomi dengan keras karena properti dan industri lain berkontribusi besar, dimana menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

"Ketika kepercayaan lemah di pasar perumahan, itu membuat orang merasa tidak yakin tentang situasi ekonomi secara keseluruhan," kata Kuijs.

Para pembeli rumah telah menolak untuk melakukan pembayaran hipotek pada bangunan yang belum selesai dan beberapa ragu rumah mereka akan pernah selesai. Permintaan untuk rumah baru juga mengalami penurunan dan itu telah mengurangi kebutuhan impor komoditas yang digunakan dalam konstruksi.

Terlepas dari upaya Beijing untuk menopang pasar real estat, harga rumah di puluhan kota telah menurun lebih dari 20% tahun ini. Sedangkan pengembang properti di bawah tekanan, analis mengatakan pihak berwenang mungkin harus berbuat lebih banyak untuk memulihkan kepercayaan di pasar real estat.

4. Perubahan Iklim Memperburuk Keadaan

Cuaca ekstrem mulai berdampak jangka panjang pada industri China. Gelombang panas yang parah, diikuti oleh kekeringan melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing pada bulan Agustus.

Ketika permintaan AC melonjak, kondisi itu membanjiri jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air. Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti produsen iPhone Foxconn dan Tesla, terpaksa memangkas jam kerja atau tutup sama sekali.

Biro Statistik China mengatakan pada bulan Agustus bahwa keuntungan industri besi dan baja turun lebih dari 80% dalam tujuh bulan pertama tahun 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Beijing akhirnya datang untuk menyelamatkan dengan puluhan miliar dolar untuk mendukung perusahaan energi dan petani.

5. Raksasa Teknologi China Kehilangan investor

Tindakan keras regulasi terhadap raksasa teknologi China yang telah berlangsung dua tahun tidak membantu. Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir. Laba Tencent turun 50%, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.

Di sisi lain puluhan ribu pekerja muda kehilangan pekerjaan, menambah krisis sektor ketenagakerjaan di mana satu dari lima orang berusia 16 hingga 24 tahun menganggur. Hal ini dapat merugikan produktivitas dan pertumbuhan China dalam jangka panjang.

Investor juga merasakan pergeseran di Beijing, saat beberapa perusahaan swasta paling sukses di China telah mendapat sorotan yang lebih besar ketika cengkeraman Xi pada kekuasaan tumbuh. Ketika perusahaan milik negara tampaknya mendapatkan dukungan, investor asing mengambil uang dan memilih keluar.

Softbank Jepang menarik sejumlah besar uang tunai dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway milik Warren Buffet menjual sahamnya di produsen kendaraan listrik BYD. Tencent telah menarik investasi senilai lebih dari USD7 miliar pada paruh kedua untuk tahun ini saja.

Dan AS menindak perusahaan China yang terdaftar di pasar saham Amerika. "Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain," kata S&P Global Ratings dalam catatannya baru-baru ini.

Dunia menjadi terbiasa dengan kenyataan bahwa Beijing mungkin tidak terbuka untuk bisnis seperti dulu - tetapi Xi mempertaruhkan keberhasilan ekonomi yang telah mendukung China dalam beberapa dekade terakhir.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1143 seconds (0.1#10.140)