Kreator Konten jadi Profesi Idaman tapi Tak Jaminan Cuan, Arief Muhammad: Perlu Wadah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kreator konten (content creator) menjadi profesi kekinian yang semakin populer di industri kreatif di Tanah Air. Tingginya penetrasi internet dan penggunaan media sosial membuat orang berlomba membuat konten, dari yang hanya iseng hingga yang profesional.
Daya tarik ngonten ini begitu kuat terutama di kalangan Gen Z. Merujuk survei YPulse, perusahaan riset dan insight yang memokuskan pada Gen Z dan milenial , pemengaruh (influencer) atau kreator konten merupakan pekerjaan impian paling populer keempat di antara Gen Z.
Dengan banyaknya pilihan platform digital dan potensi perolehan keuntungannya yang besar, wajar jika banyak masyarakat tergoda mengikuti tren menjadi kreator konten sukses.
Laporan terbaru dari firma yang sama juga menyebut bahwa mayoritas anak muda membuat konten untuk audiens di luar keluarga dan teman mereka.
Temuan-temuan tersebut sangat masuk akal, di mana kreator konten seringkali mencari nafkah sebagai pekerja kreatif independen.
Mereka yang murni bekerja sebagai kreator konten dapat memutuskan jadwal dan beragam aktivitas seperti mengajar hingga menghibur diri sendiri untuk mencari nafkah, serta mengekspresikan kepribadian, ide, kreativitas dan keunikan mereka untuk audiens di dunia maya.
Sayangnya, kreativitas yang diharapkan dapat membuahkan karya konten yang berkualitas dan bermanfaat acapkali ‘terganggu’ dengan pemikiran untuk menjadikan konten tersebut viral dan sensasional.
Seperti yang terjadi belum lama ini, di mana ada kreator konten yang sudah punya nama besar dan pengikut banyak, membuat konten hanya untuk viral tanpa menimbang empati dan dampaknya kepada masyarakat.
Sungguh miris ketika kesuksesan tidak lagi dilihat dari nilai kreativitas yang diekspresikan, melainkan dari sensasi kontroversial sehingga ramai diperbincangkan.
Padahal di sisi lain, ada banyak kreator-kreator konten pemula dan masih kecil yang masih harus berjuang membesarkan akunnya dengan segala tuntutan algoritma.
Seperti dikemukakan kreator konten Arief Muhammad yang baru-baru ini menyampaikan keresahannya akan industri kreator jaman sekarang.
Pria yang dikenal dengan akun Twitter @Poconggg itu mengaku kerap mendengar pengalaman teman-teman yang baru terjun menjadi content creator.
Banyak dari mereka yang merasa kesulitan untuk tetap konsisten membuat konten, namun harus tetap berusaha mencari pemasukan.
“Sering dapat curhatan dari temen2 yang baru terjun jadi content creator tentang struggle mereka untuk konsisten bikin konten, sementara di sisi lain harus tetap realistis mencari income,” ungkapnya melalui akun Instagram pribadinya, dikutip Rabu (26/10/2022).
Arief merasa di Indonesia belum ada sebuah wadah ekspresi yang benar-benar mendukung kreator dan followers untuk menyalurkan kreativitas sekaligus memperoleh penghasilan yang layak.
Menurut dia, wadah semacam ini akan semakin membuka peluang ekosistem ekonomi kreator di Indonesia terbentuk dan berpotensi besar memberikan dampak bagi perekenomian negeri.
“Mungkin nggak ya kalau bangsa kita bikin platform sendiri yang bisa lebih mendukung para kreator dan juga followers agar tetap produktif tapi tetep bisa making money dengan fair? Jadi sehat tuh ekosistemnya. Kreativitas bisa tersalur, dapur bisa tetap ngebul,” tutur pria yang menjadi brand ambassador sejumlah produk itu.
Arief pun berpesan kepada semua pihak yang terlibat di industri kreator untuk mulai bersama-sama menciptakan ekosistem yang sehat, di mana kreator, audiens, jenama (brand), dan regulator bisa saling mendukung dan bertumbuh bersama. Sehingga, ekonomi kreator terus bergulir.
“Ekosistem kreator di Indonesia punya potensi yang besar sekali. Apalagi kalau ada jaminan kreator bisa ‘hidup’ dari apa yang dikerjakannya,” tandasnya.
Dia menambahkan, perlu ada wadah untuk kreator, pengikut (followers), pihak swasta, maupun pemerintah untuk bisa saling dukung dalam membangun ekonomi kreator.
Mengutip laman East Ventures, ekonomi kreator telah tumbuh sejajar dengan apa yang dikenal sebagai model bisnis "social commerce" di industri e-commerce yang memanfaatkan platform media sosial untuk menjual produk.
Secara global, pasar kreator bernilai sekitar USD100 miliar, sedangkan di Asia Tenggara terdapat lebih dari 380 juta orang yang mengonsumsi konten media sosial selama 2-4 jam per hari.
Pasar e-commerce Indonesia sendiri diperkirakan akan mencapai Rp420,8 triliun (USD30 miliar) pada tahun 2022. Hal ini menandakan prospek bullish pada ekonomi kreator yang menyumbang Rp1,1 triliun terhadap PDB Indonesia dan menyerap 17 juta pekerja di 2020.
Daya tarik ngonten ini begitu kuat terutama di kalangan Gen Z. Merujuk survei YPulse, perusahaan riset dan insight yang memokuskan pada Gen Z dan milenial , pemengaruh (influencer) atau kreator konten merupakan pekerjaan impian paling populer keempat di antara Gen Z.
Dengan banyaknya pilihan platform digital dan potensi perolehan keuntungannya yang besar, wajar jika banyak masyarakat tergoda mengikuti tren menjadi kreator konten sukses.
Laporan terbaru dari firma yang sama juga menyebut bahwa mayoritas anak muda membuat konten untuk audiens di luar keluarga dan teman mereka.
Temuan-temuan tersebut sangat masuk akal, di mana kreator konten seringkali mencari nafkah sebagai pekerja kreatif independen.
Mereka yang murni bekerja sebagai kreator konten dapat memutuskan jadwal dan beragam aktivitas seperti mengajar hingga menghibur diri sendiri untuk mencari nafkah, serta mengekspresikan kepribadian, ide, kreativitas dan keunikan mereka untuk audiens di dunia maya.
Sayangnya, kreativitas yang diharapkan dapat membuahkan karya konten yang berkualitas dan bermanfaat acapkali ‘terganggu’ dengan pemikiran untuk menjadikan konten tersebut viral dan sensasional.
Seperti yang terjadi belum lama ini, di mana ada kreator konten yang sudah punya nama besar dan pengikut banyak, membuat konten hanya untuk viral tanpa menimbang empati dan dampaknya kepada masyarakat.
Sungguh miris ketika kesuksesan tidak lagi dilihat dari nilai kreativitas yang diekspresikan, melainkan dari sensasi kontroversial sehingga ramai diperbincangkan.
Padahal di sisi lain, ada banyak kreator-kreator konten pemula dan masih kecil yang masih harus berjuang membesarkan akunnya dengan segala tuntutan algoritma.
Seperti dikemukakan kreator konten Arief Muhammad yang baru-baru ini menyampaikan keresahannya akan industri kreator jaman sekarang.
Pria yang dikenal dengan akun Twitter @Poconggg itu mengaku kerap mendengar pengalaman teman-teman yang baru terjun menjadi content creator.
Banyak dari mereka yang merasa kesulitan untuk tetap konsisten membuat konten, namun harus tetap berusaha mencari pemasukan.
“Sering dapat curhatan dari temen2 yang baru terjun jadi content creator tentang struggle mereka untuk konsisten bikin konten, sementara di sisi lain harus tetap realistis mencari income,” ungkapnya melalui akun Instagram pribadinya, dikutip Rabu (26/10/2022).
Arief merasa di Indonesia belum ada sebuah wadah ekspresi yang benar-benar mendukung kreator dan followers untuk menyalurkan kreativitas sekaligus memperoleh penghasilan yang layak.
Menurut dia, wadah semacam ini akan semakin membuka peluang ekosistem ekonomi kreator di Indonesia terbentuk dan berpotensi besar memberikan dampak bagi perekenomian negeri.
“Mungkin nggak ya kalau bangsa kita bikin platform sendiri yang bisa lebih mendukung para kreator dan juga followers agar tetap produktif tapi tetep bisa making money dengan fair? Jadi sehat tuh ekosistemnya. Kreativitas bisa tersalur, dapur bisa tetap ngebul,” tutur pria yang menjadi brand ambassador sejumlah produk itu.
Arief pun berpesan kepada semua pihak yang terlibat di industri kreator untuk mulai bersama-sama menciptakan ekosistem yang sehat, di mana kreator, audiens, jenama (brand), dan regulator bisa saling mendukung dan bertumbuh bersama. Sehingga, ekonomi kreator terus bergulir.
“Ekosistem kreator di Indonesia punya potensi yang besar sekali. Apalagi kalau ada jaminan kreator bisa ‘hidup’ dari apa yang dikerjakannya,” tandasnya.
Dia menambahkan, perlu ada wadah untuk kreator, pengikut (followers), pihak swasta, maupun pemerintah untuk bisa saling dukung dalam membangun ekonomi kreator.
Mengutip laman East Ventures, ekonomi kreator telah tumbuh sejajar dengan apa yang dikenal sebagai model bisnis "social commerce" di industri e-commerce yang memanfaatkan platform media sosial untuk menjual produk.
Secara global, pasar kreator bernilai sekitar USD100 miliar, sedangkan di Asia Tenggara terdapat lebih dari 380 juta orang yang mengonsumsi konten media sosial selama 2-4 jam per hari.
Pasar e-commerce Indonesia sendiri diperkirakan akan mencapai Rp420,8 triliun (USD30 miliar) pada tahun 2022. Hal ini menandakan prospek bullish pada ekonomi kreator yang menyumbang Rp1,1 triliun terhadap PDB Indonesia dan menyerap 17 juta pekerja di 2020.
(ind)