Konflik China-India Makin Panas, Bagaimana Nasib Indonesia?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konflik China-India tak lagi hanya berlangsung di perbatasan. Sengketa dua negara berpenduduk terbesar di dunia itu kini sudah merambah sektor perekonomian. Ini tentu bisa berdampak sangat serius bagi kedua negara. Perekonomian adalah jantung bagi kehidupan sebuah negara.
Tekanan ekonomi ini diawali oleh India yang menahan pengiriman barang asal Tiongkok di pos-pos pemeriksaan. Langkah itu lantas diikuti dengan melarang 59 aplikasi seluler termasuk yang terkenal di Tiongkok seperti ByteDance’s TikTok, Tencent WeChat, dan jaringan media sosial Weibo. New Delhi bahkan telah meminta Weibo menghapus akun Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi.
Sekadar informasi,Tik Tok, aplikasi video pendek yang populer tersebut berada di peringkat lima dalam 10 aplikasi gratis teratas pada platform Apple di India sebelum perselisihan antara pasukan India dan China meruyak awal Mei. Sebulan kemudian, TikTok turun ke nomor 10 di App Store.
India bukan satu-satunya negara yang menentang aplikasi China dengan alasan masalah privasi dan keamanan siber. Taiwan, juga Jerman, telah melarang beberapa aplikasi China. Sebelumnya, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat Robert O'Brian mengatakan semua aplikasi China berfungsi sebagai senjata Partai Komunis China (CPC) untuk memajukan agenda ideologis dan geopolitiknya.
TikTok yang popular di kalangan anak muda, memiliki jumlah pengguna sebanyak 611 juta. India tercatat sebagai pengunduh terbesar, diikuti oleh China dan AS. Pengguna TikTok melampaui angka 2 miliar pada kuartal pertama 2020.
Beijing sendiri bersikap hati-hati dalam menanggapi sikap India memboikot produk-produknya. “Sampai sekarang, Tiongkok hanya memantau situasi,” kata seorang profesor ekonomi di Institut Administrasi Publik India (IIPA) Geethanjali Nataraj. “Perang dagang tidak akan menguntungkan kedua negara,” ujarnya seperti dikutip CNN.
Namun jika perang dagang berlanjut, sesungguhnya yang bakal merugi adalah India. Banyak industri di Negeri Hindustan, termasuk elektronik, farmasi dan perangkat keras TI -sangat bergantung pada impor, terutama dari Tiongkok. Dari April 2019 hingga Maret 2020, India membeli barang senilai USD 65 miliar dari Tiongkok, terhitung hampir 14 persen dari total impornya. Sedangkan Tiongkok membeli barang senilai USD 16,6 miliar dari India. Tiongkok adalah mitra dagang terbesar kedua India untuk periode tersebut di belakang Amerika Serikat.
Bagi China, perdagangan dengan India hanya menyumbang 2,1 persen, sehingga tak terlalu siginifikan pengaruhnya. Komoditas impor dari India masih bisa digantikan negara lain.
India selama ini dikenal sebagai salah satu produsen farmasi terbesar dunia. Kekurangan bahan baku dari China bisa membuat ekspor obat India anjlok. Selain itu, Negeri Bollywood ini juga tak bisa lepas dari investasi China. Perang dagang dengan Beijing, tentu bisa membuat investasi luar negeri di India merosot. Total ada 225 perusahaan besar China yang berinvestasi langsung di India sepanjang tahun 2003 hingga 2020.
Investor terbesar asal China yakni perusahaan telekomunikasi seperti Huawei dan Xiaomi. Beberapa perusahaan raksasa lainnya dari China juga tengah menjajaki penambahan nilai investasi di India, termasuk membangun basis produksi. Mereka adalah ZTE, Benling, Dezan Shira, Wafangdian, dan Vivo.
Menurut Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu. Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut. Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.
Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India. Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30 persen. Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.
India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.
"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia. India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.
Indonesia Harus Meningkatkan Daya Saing
Lantas bagaimana dampak pergulatan India versus China terhadap Indonesia? Mengingat sengketa ini menyangkut gajah lawan gajah, tentu saja bisa membawa dampak serius. Konflik di perbatasan yang telah merambah ke bidang perekonomian bukan tak mungkin meningkat menjadi perang terbuka.
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Mei 2020 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,21 miliar, disusul ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$1,09 miliar dan ke Jepang sebesar US$0,83 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 41,82 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$0,89 miliar.
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Mei 2020 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$14,99 miliar (28,13 persen), Jepang US$5,35 miliar (10,04 persen), dan Singapura US$3,51 miliar (6,59 persen). Impor nonmigas dari ASEAN sebesar US$10.555,7 juta (19,81 persen), sementara dari Uni Eropa sebesar US$4.122,1 juta (7,73 persen).
Sedangkan dengan India, Indonesia sangat berkepentingan dalam memasarkan kelapa sawit. Pasar sawit India menjadi penting setelah adanya hambatan ekspor ke Uni Eropa dan menurunnya ekspor ke China akibat wabah virus corona. Selain meningkatkan ekspor sawit ke India, sebagai timbal baliknya Indonesia juga akan meningkatkan komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.
Dalam lima tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia dengan India menunjukan tren positif. Neraca perdagangan setiap tahun berkisar pada angka USD7-10 miliar, Perdagangan kedua negara didominasi sektor nonmigas.
Tahun lalu, perdagangan migas tercatat minus USD90,71 juta dan sektor nonmigas mencatat USD7,58 miliar. Total neraca perdagangan tahun itu mencapai USD7,49 miliar.
Komoditas yang berpengaruh banyak dalam perdagangan tersebut salah satunya crude palm oil (CPO). Pada 2017 lalu, CPO menguasai 32,48 persen dari total ekspor Indonesia ke India. Pada 2018, India merupakan importir CPO terbesar dari Indonesia. Dari total ekspor CPO Indonesia, India menjadi negara tujuan terbesar dengan 61,24 persen atau 4.011.713 ton.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industry (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Sinta Widjaja Kamdani, berpendapat dampak konflik China-India terhadap ekonomi Indonesia tergantung pada empat hal. Pertama, seberapa jauh China dan India mengembargo atau merstriksi kegiatan ekonomi bilateral mereka.
Kedua, seberapa jauh restriksi tersebut efektif menciptakan kekosongan pasar di China maupun di India. “Perlu ditekankan di sini bahwa baik China dan India adalah ekonomi dengan production scale & production base yang jauh lebih besar dari Indonesia sehingga bisa saja mereka self-sufficient dengan hanya meningkatkan investasi domestik terhadap production capacity-nya ketika pasarnya kehilangan produk asal China atau asal India,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (7/7) kemarin.
Alhasil untuk Indonesia sendiri, seberapa jauh bisa meningkatkan daya saing produk ekspor nasional di pasar China & India di antara para supplier domestik dan internasional lain yang ada di negara tersebut untuk mengisi kekosongan pasokan yang ditinggalkan oleh China maupun India di negara masing-masing.
Dan terakhir, bagaimana kemampuan Indonesia meningkatkan daya saing iklim investasi nasional di antara negara-negara kompetitor di ASEAN untuk menarik investasi asal China, India atau negara lain yang tadinya memiliki production base di China/India untuk berinvestasi di Indonesia.
Tekanan ekonomi ini diawali oleh India yang menahan pengiriman barang asal Tiongkok di pos-pos pemeriksaan. Langkah itu lantas diikuti dengan melarang 59 aplikasi seluler termasuk yang terkenal di Tiongkok seperti ByteDance’s TikTok, Tencent WeChat, dan jaringan media sosial Weibo. New Delhi bahkan telah meminta Weibo menghapus akun Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi.
Sekadar informasi,Tik Tok, aplikasi video pendek yang populer tersebut berada di peringkat lima dalam 10 aplikasi gratis teratas pada platform Apple di India sebelum perselisihan antara pasukan India dan China meruyak awal Mei. Sebulan kemudian, TikTok turun ke nomor 10 di App Store.
India bukan satu-satunya negara yang menentang aplikasi China dengan alasan masalah privasi dan keamanan siber. Taiwan, juga Jerman, telah melarang beberapa aplikasi China. Sebelumnya, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat Robert O'Brian mengatakan semua aplikasi China berfungsi sebagai senjata Partai Komunis China (CPC) untuk memajukan agenda ideologis dan geopolitiknya.
TikTok yang popular di kalangan anak muda, memiliki jumlah pengguna sebanyak 611 juta. India tercatat sebagai pengunduh terbesar, diikuti oleh China dan AS. Pengguna TikTok melampaui angka 2 miliar pada kuartal pertama 2020.
Beijing sendiri bersikap hati-hati dalam menanggapi sikap India memboikot produk-produknya. “Sampai sekarang, Tiongkok hanya memantau situasi,” kata seorang profesor ekonomi di Institut Administrasi Publik India (IIPA) Geethanjali Nataraj. “Perang dagang tidak akan menguntungkan kedua negara,” ujarnya seperti dikutip CNN.
Namun jika perang dagang berlanjut, sesungguhnya yang bakal merugi adalah India. Banyak industri di Negeri Hindustan, termasuk elektronik, farmasi dan perangkat keras TI -sangat bergantung pada impor, terutama dari Tiongkok. Dari April 2019 hingga Maret 2020, India membeli barang senilai USD 65 miliar dari Tiongkok, terhitung hampir 14 persen dari total impornya. Sedangkan Tiongkok membeli barang senilai USD 16,6 miliar dari India. Tiongkok adalah mitra dagang terbesar kedua India untuk periode tersebut di belakang Amerika Serikat.
Bagi China, perdagangan dengan India hanya menyumbang 2,1 persen, sehingga tak terlalu siginifikan pengaruhnya. Komoditas impor dari India masih bisa digantikan negara lain.
India selama ini dikenal sebagai salah satu produsen farmasi terbesar dunia. Kekurangan bahan baku dari China bisa membuat ekspor obat India anjlok. Selain itu, Negeri Bollywood ini juga tak bisa lepas dari investasi China. Perang dagang dengan Beijing, tentu bisa membuat investasi luar negeri di India merosot. Total ada 225 perusahaan besar China yang berinvestasi langsung di India sepanjang tahun 2003 hingga 2020.
Investor terbesar asal China yakni perusahaan telekomunikasi seperti Huawei dan Xiaomi. Beberapa perusahaan raksasa lainnya dari China juga tengah menjajaki penambahan nilai investasi di India, termasuk membangun basis produksi. Mereka adalah ZTE, Benling, Dezan Shira, Wafangdian, dan Vivo.
Menurut Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu. Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut. Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.
Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India. Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30 persen. Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.
India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.
"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia. India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.
Indonesia Harus Meningkatkan Daya Saing
Lantas bagaimana dampak pergulatan India versus China terhadap Indonesia? Mengingat sengketa ini menyangkut gajah lawan gajah, tentu saja bisa membawa dampak serius. Konflik di perbatasan yang telah merambah ke bidang perekonomian bukan tak mungkin meningkat menjadi perang terbuka.
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Mei 2020 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,21 miliar, disusul ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$1,09 miliar dan ke Jepang sebesar US$0,83 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 41,82 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$0,89 miliar.
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Mei 2020 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$14,99 miliar (28,13 persen), Jepang US$5,35 miliar (10,04 persen), dan Singapura US$3,51 miliar (6,59 persen). Impor nonmigas dari ASEAN sebesar US$10.555,7 juta (19,81 persen), sementara dari Uni Eropa sebesar US$4.122,1 juta (7,73 persen).
Sedangkan dengan India, Indonesia sangat berkepentingan dalam memasarkan kelapa sawit. Pasar sawit India menjadi penting setelah adanya hambatan ekspor ke Uni Eropa dan menurunnya ekspor ke China akibat wabah virus corona. Selain meningkatkan ekspor sawit ke India, sebagai timbal baliknya Indonesia juga akan meningkatkan komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.
Dalam lima tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia dengan India menunjukan tren positif. Neraca perdagangan setiap tahun berkisar pada angka USD7-10 miliar, Perdagangan kedua negara didominasi sektor nonmigas.
Tahun lalu, perdagangan migas tercatat minus USD90,71 juta dan sektor nonmigas mencatat USD7,58 miliar. Total neraca perdagangan tahun itu mencapai USD7,49 miliar.
Komoditas yang berpengaruh banyak dalam perdagangan tersebut salah satunya crude palm oil (CPO). Pada 2017 lalu, CPO menguasai 32,48 persen dari total ekspor Indonesia ke India. Pada 2018, India merupakan importir CPO terbesar dari Indonesia. Dari total ekspor CPO Indonesia, India menjadi negara tujuan terbesar dengan 61,24 persen atau 4.011.713 ton.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industry (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Sinta Widjaja Kamdani, berpendapat dampak konflik China-India terhadap ekonomi Indonesia tergantung pada empat hal. Pertama, seberapa jauh China dan India mengembargo atau merstriksi kegiatan ekonomi bilateral mereka.
Kedua, seberapa jauh restriksi tersebut efektif menciptakan kekosongan pasar di China maupun di India. “Perlu ditekankan di sini bahwa baik China dan India adalah ekonomi dengan production scale & production base yang jauh lebih besar dari Indonesia sehingga bisa saja mereka self-sufficient dengan hanya meningkatkan investasi domestik terhadap production capacity-nya ketika pasarnya kehilangan produk asal China atau asal India,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (7/7) kemarin.
Alhasil untuk Indonesia sendiri, seberapa jauh bisa meningkatkan daya saing produk ekspor nasional di pasar China & India di antara para supplier domestik dan internasional lain yang ada di negara tersebut untuk mengisi kekosongan pasokan yang ditinggalkan oleh China maupun India di negara masing-masing.
Dan terakhir, bagaimana kemampuan Indonesia meningkatkan daya saing iklim investasi nasional di antara negara-negara kompetitor di ASEAN untuk menarik investasi asal China, India atau negara lain yang tadinya memiliki production base di China/India untuk berinvestasi di Indonesia.
(rza)