Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Rugikan Petani Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menolak rencana pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang akan menaikkan dan melakukan simplifikasi pemungutan cukai rokok pada 2021.
Kebijakan kenaikan dan simplifikasi (penyederhanaan) cukai hanya akan berdampak pada turunnya harga tembakau di Tanah Air yang merugikan masyarakat petani tembakau. Selain itu, kalau sampai diberlakukan simplifikasi cukai rokok hal itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan besar asing dan tentunya sangat merugikan para petani tembakau di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan pengurus APTI yang juga Ketua APTI Jawa Barat Suryana, usai memimpin organisasinya mengadakan pertemuan dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI yang diwakili oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari wilayah Jawa Timur Ibnu Multazam, di Gedung DPR RI, Kawasan Senayan Jakarta Pusat. Hadir pada kesempatan tersebut pengurus APTI Jawa Barat lainnya, antara lain Otong, Sambas, dan Sutarja. (Baca: Dihantam Pandemi, Industri Hasil Tembakau Butuh Dukungan Pemerintah)
“Efek kenaikan cukai tembakau yang dirasakan petani sangat terasa karena harga tembakau anjlok dengan turunnya permintaan pabrikan. Bahkan, pengusaha cenderung tidak mau membeli tembakau yang dihasilkan petani lokal,” kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana di Jakarta kemarin.
“Terkait hal itu diharapkan kedepannya pengusaha besar itu saling mengerti dengan para petani, di mana pengusaha besar tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada bahan baku dari petani. Begitu juga petani mengharapkan para pengusaha besar lebih maju karena otomatis akan berpengaruh terhadap penjualan tembakau dari petani lokal,” ungkapnya.
Lebih lanjut Suryana menjelaskan, berdasarkan pengalaman pada 2019, pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) tembakau masing-masing sebesar 23% dan 35% telah membuat hasil panen petani tembakau selama 6 bulan tidak ada yang membeli. Dari kasus tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan pertama ada penurunan harga jual tembakau dari petani, kedua adanya penurunan produksi, dan ketiga adanya penurunan volume. (Baca juga: Jadi Kontributor Kas Negara, Pemerintah Diminta Lindungi IHT)
“Kami sampaikan kepada (Fraksi PKB DPR RI) yang pertama kami menolak terhadap kenaikan cukai tahun 2021, karena dengan kenaikan cukai 23% & HJE 35% sangat memberatkan bagi para petani tembakau karena berimbas kepada penurunan harga jual tembakau,” tegas Suryana.
Sementara penolakan terhadap rencana simplikasi pemungutan cukai, menurut Suryana, dikarenakan kebijakan tersebut direncanakan dan hanya menguntungkan satu pabrikan atau perusahaan rokok besar asing yang ada di Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya akan sangat merugikan para petani tembakau dan pabrik rokok lainnya. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, SImak Kronologis Lengkapnya)
“Jadi kami berpandangan bahwa satu perusahaan besar asing itu menginginkan penerapan simplifikasi terkait persaingan penjualan dengan perusahaan skala menengah. Jadi menurut kami perusahaan besar tersebut merasa takut tersaingi. Bisa dibilang itu salah satu strategi perang dagang,” urainya. (Heru Febrianto)
Kebijakan kenaikan dan simplifikasi (penyederhanaan) cukai hanya akan berdampak pada turunnya harga tembakau di Tanah Air yang merugikan masyarakat petani tembakau. Selain itu, kalau sampai diberlakukan simplifikasi cukai rokok hal itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan besar asing dan tentunya sangat merugikan para petani tembakau di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan pengurus APTI yang juga Ketua APTI Jawa Barat Suryana, usai memimpin organisasinya mengadakan pertemuan dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI yang diwakili oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari wilayah Jawa Timur Ibnu Multazam, di Gedung DPR RI, Kawasan Senayan Jakarta Pusat. Hadir pada kesempatan tersebut pengurus APTI Jawa Barat lainnya, antara lain Otong, Sambas, dan Sutarja. (Baca: Dihantam Pandemi, Industri Hasil Tembakau Butuh Dukungan Pemerintah)
“Efek kenaikan cukai tembakau yang dirasakan petani sangat terasa karena harga tembakau anjlok dengan turunnya permintaan pabrikan. Bahkan, pengusaha cenderung tidak mau membeli tembakau yang dihasilkan petani lokal,” kata Ketua APTI Jawa Barat Suryana di Jakarta kemarin.
“Terkait hal itu diharapkan kedepannya pengusaha besar itu saling mengerti dengan para petani, di mana pengusaha besar tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada bahan baku dari petani. Begitu juga petani mengharapkan para pengusaha besar lebih maju karena otomatis akan berpengaruh terhadap penjualan tembakau dari petani lokal,” ungkapnya.
Lebih lanjut Suryana menjelaskan, berdasarkan pengalaman pada 2019, pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) tembakau masing-masing sebesar 23% dan 35% telah membuat hasil panen petani tembakau selama 6 bulan tidak ada yang membeli. Dari kasus tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan pertama ada penurunan harga jual tembakau dari petani, kedua adanya penurunan produksi, dan ketiga adanya penurunan volume. (Baca juga: Jadi Kontributor Kas Negara, Pemerintah Diminta Lindungi IHT)
“Kami sampaikan kepada (Fraksi PKB DPR RI) yang pertama kami menolak terhadap kenaikan cukai tahun 2021, karena dengan kenaikan cukai 23% & HJE 35% sangat memberatkan bagi para petani tembakau karena berimbas kepada penurunan harga jual tembakau,” tegas Suryana.
Sementara penolakan terhadap rencana simplikasi pemungutan cukai, menurut Suryana, dikarenakan kebijakan tersebut direncanakan dan hanya menguntungkan satu pabrikan atau perusahaan rokok besar asing yang ada di Indonesia. Hal tersebut pada akhirnya akan sangat merugikan para petani tembakau dan pabrik rokok lainnya. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, SImak Kronologis Lengkapnya)
“Jadi kami berpandangan bahwa satu perusahaan besar asing itu menginginkan penerapan simplifikasi terkait persaingan penjualan dengan perusahaan skala menengah. Jadi menurut kami perusahaan besar tersebut merasa takut tersaingi. Bisa dibilang itu salah satu strategi perang dagang,” urainya. (Heru Febrianto)
(ysw)