4 Bulan Tak Ada Setoran, Dana Pungutan Ekspor Sawit Merosot jadi Rp34,5 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membeberkan adanya penurunan tajam dalam pendapatan dari pungutan ekspor sawit pada tahun 2022.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pendapatan dari pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada tahun ini sebesar Rp34,5 triliun. Jumlah tersebut anjlok dari tahun 2021 yang sebesar Rp71,64 triliun.
"Ini memang seolah terjadi penurunan yang cukup besar," ungkapnya dalam konferensi pers Capaian Kinerja Sektor Sawit di Jakarta, Kamis (21/12/2022).
Menurut Eddy, penurunan pungutan ekspor tersebut dikarenakan adanya kebijakan pelarangan ekspor pada April-Mei 2022. "Sehingga, di dalam periode tadi BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan yang berasal dari pungutan ekspor," tuturnya.
Selain itu, menurut Edy, pembebasan pajak pungutan ekspor yang diberlakukan mulai 15 Juli lalu juga menyebabkan pendapatan pungutan ekspor sawit tergerus.
Kebijakan tersebut merupakan langkah pemerintah untuk mengakselerasi kegiatan ekspor sawit agar dapat bersaing di pasar internasional setelah adanya larangan ekspor.
"Oleh karena itu pada tanggal 15 Juli lalu pemerintah menetapkan bahwa pungutan ekspor dibebaskan yang artinya nol persen. Itu kemudian berlaku terus sampai 15 November. Jadi, kurang lebih empat bulan BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan ekspor," bebernya.
Namun, sejak 16 November lalu berdasarkan PMK baru yang mengatur tarif pungutan ekspor pemerintah menetapkan kebijakan secara fleksibel. Di mana apabila harga sawit sudah mencapai USD800 per ton atau lebih maka pungutan ekspor berlaku lagi. "Ternyata pada 16 November lalu harga CPO sudah di atas USD800, sehingga pungutan ekspor kembali berlaku," tukasnya.
Lebih lanjut Eddy menyampaikan, pendapatan BPDPKS dari pungutan ekspor sepanjang 2022 sebesar Rp34,5 triliun itu nantinya akan digunakan untuk mendanai program-program BPDPKS pada tahun 2023. Mulai dari program peremajaan sawit rakyat (PSR), biodiesel, penelitian dan pengembangan sawit, hingga dana sosial masyarakat.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pendapatan dari pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada tahun ini sebesar Rp34,5 triliun. Jumlah tersebut anjlok dari tahun 2021 yang sebesar Rp71,64 triliun.
"Ini memang seolah terjadi penurunan yang cukup besar," ungkapnya dalam konferensi pers Capaian Kinerja Sektor Sawit di Jakarta, Kamis (21/12/2022).
Menurut Eddy, penurunan pungutan ekspor tersebut dikarenakan adanya kebijakan pelarangan ekspor pada April-Mei 2022. "Sehingga, di dalam periode tadi BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan yang berasal dari pungutan ekspor," tuturnya.
Selain itu, menurut Edy, pembebasan pajak pungutan ekspor yang diberlakukan mulai 15 Juli lalu juga menyebabkan pendapatan pungutan ekspor sawit tergerus.
Kebijakan tersebut merupakan langkah pemerintah untuk mengakselerasi kegiatan ekspor sawit agar dapat bersaing di pasar internasional setelah adanya larangan ekspor.
"Oleh karena itu pada tanggal 15 Juli lalu pemerintah menetapkan bahwa pungutan ekspor dibebaskan yang artinya nol persen. Itu kemudian berlaku terus sampai 15 November. Jadi, kurang lebih empat bulan BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan ekspor," bebernya.
Namun, sejak 16 November lalu berdasarkan PMK baru yang mengatur tarif pungutan ekspor pemerintah menetapkan kebijakan secara fleksibel. Di mana apabila harga sawit sudah mencapai USD800 per ton atau lebih maka pungutan ekspor berlaku lagi. "Ternyata pada 16 November lalu harga CPO sudah di atas USD800, sehingga pungutan ekspor kembali berlaku," tukasnya.
Lebih lanjut Eddy menyampaikan, pendapatan BPDPKS dari pungutan ekspor sepanjang 2022 sebesar Rp34,5 triliun itu nantinya akan digunakan untuk mendanai program-program BPDPKS pada tahun 2023. Mulai dari program peremajaan sawit rakyat (PSR), biodiesel, penelitian dan pengembangan sawit, hingga dana sosial masyarakat.
(ind)