Meneropong Masa-masa Indah Terakhir dan Titik Balik Perpisahan dengan Batu Bara
loading...
A
A
A
JAKARTA - International Energy Agency (IEA) baru-baru ini merilis laporan Coal 2022 yang menyoroti tantangan global yang sangat kompleks dalam bertransisi dari energi batu bara ke energi bersih . Laporan ini juga menganalisis dampak strategi Indonesia sebagai produsen terbesar ketiga di dunia yang berencana terus memperluas produksi batu baranya.
Pada tahun ini pula, berdasarkan temuan laporan itu, penggunaan batu bara meningkat, tetapi tetap terkendali karena penggunaan energi terbarukan yang masif. Laporan ini juga menyoroti lanskap energi global yang terus bergerak mendekati puncak penggunaan bahan bakar fosil dan ke depan sebagian besar pertumbuhan akan berasal dari energi terbarukan . Batu bara akan menjadi sumber energi yang pertama menurun.
“Masa puncak penggunaan batu bara diproyeksikan semakin dekat. Ini dipercepat oleh beberapa faktor pendorong seperti penguatan komitmen iklim, volatilitas harga batu bara, geopolitik, krisis rantai pasokan global, dan keterjangkauan energi terbarukan. Kondisi ini akan menurunkan permintaan batu bara pada masa depan secara drastis, termasuk di negara berkembang,” ujar Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo.
Menurutnya, temuan laporan ini seharusnya menjadi sinyal positif bagi pemerintah untuk segera serius mengambil langkah transisi energi dan menerapkan kebijakan-kebijakan strategis.
Ironisnya, pada 2023 pemerintah Indonesia justru merencanakan peningkatan produksi batu bara tertinggi sepanjang sejarah dari semula 663 juta ton menjadi sebesar 694 juta ton.
“Negara berkembang seperti Indonesia yang sampai saat ini masih bersikeras untuk meningkatkan kuota produksi batu bara harus bersiap dan mulai mengubah orientasinya. Tingkat produksi batubara harus dikurangi secara signifikan pada fase transisi energi dan penurunan permintaan global, agar target iklim global tercapai dan membuka lebih banyak peluang untuk pengembangan energi terbarukan dalam sistem pembangkitan listrik,” imbuhnya.
Ia pun menekankan, meski belakangan ini, lanskap energi batubara terlihat sedang dalam fase gemilang dan banyak meraup keuntungan 'windfall', kondisi ini tidak boleh membuat pemerintah berpuas diri.
“Perlu disadari bahwa kondisi ini berpotensi menjadi masa-masa indah terakhir dan titik balik perpisahan dengan batu bara,” ucapnya.
Pada tahun ini pula, berdasarkan temuan laporan itu, penggunaan batu bara meningkat, tetapi tetap terkendali karena penggunaan energi terbarukan yang masif. Laporan ini juga menyoroti lanskap energi global yang terus bergerak mendekati puncak penggunaan bahan bakar fosil dan ke depan sebagian besar pertumbuhan akan berasal dari energi terbarukan . Batu bara akan menjadi sumber energi yang pertama menurun.
“Masa puncak penggunaan batu bara diproyeksikan semakin dekat. Ini dipercepat oleh beberapa faktor pendorong seperti penguatan komitmen iklim, volatilitas harga batu bara, geopolitik, krisis rantai pasokan global, dan keterjangkauan energi terbarukan. Kondisi ini akan menurunkan permintaan batu bara pada masa depan secara drastis, termasuk di negara berkembang,” ujar Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo.
Menurutnya, temuan laporan ini seharusnya menjadi sinyal positif bagi pemerintah untuk segera serius mengambil langkah transisi energi dan menerapkan kebijakan-kebijakan strategis.
Ironisnya, pada 2023 pemerintah Indonesia justru merencanakan peningkatan produksi batu bara tertinggi sepanjang sejarah dari semula 663 juta ton menjadi sebesar 694 juta ton.
“Negara berkembang seperti Indonesia yang sampai saat ini masih bersikeras untuk meningkatkan kuota produksi batu bara harus bersiap dan mulai mengubah orientasinya. Tingkat produksi batubara harus dikurangi secara signifikan pada fase transisi energi dan penurunan permintaan global, agar target iklim global tercapai dan membuka lebih banyak peluang untuk pengembangan energi terbarukan dalam sistem pembangkitan listrik,” imbuhnya.
Ia pun menekankan, meski belakangan ini, lanskap energi batubara terlihat sedang dalam fase gemilang dan banyak meraup keuntungan 'windfall', kondisi ini tidak boleh membuat pemerintah berpuas diri.
“Perlu disadari bahwa kondisi ini berpotensi menjadi masa-masa indah terakhir dan titik balik perpisahan dengan batu bara,” ucapnya.